Bonifansius Mali (29) bersama tiga saudaranya memikul kelor seusai panen dari kebun menuju tempat penimbangan. Kelor campuran tangkai dan daun seberat 110 kilogram tersebut dijual Rp 550.000 atau Rp 5.000 per kilogram.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·5 menit baca
Bonifansius Mali (29) bersama tiga saudaranya memikul kelor seusai panen dari kebun menuju tempat penimbangan. Kelor campuran tangkai dan daun seberat 110 kilogram tersebut dijual Rp 550.000 atau Rp 5.000 per kilogram. Harga tinggi untuk ukuran tanaman liar yang dulunya hanya jadi makanan sapi di perbatasan Indonesia-Timor Leste itu.
”Lumayan,” ujar Mali sambil melihat lembaran rupiah di tangan. Kelor yang dibawa Mali, warga Desa Kufeu, Kecamatan Io Kufeu, Kabupaten Malaka, Nusa Tenggara Timur, Sabtu (22/2/2020), itu telah melewati proses panjang.
Sebelum benih kelor ditanam, lahan diperiksa inspektorat yang juga melibatkan anak-anak muda desa itu. Mereka terbentuk dalam kelompok Maspete. Merekalah yang memastikan lahan bebas dari pestisida. Tanah, daun, dan akar tanaman diperiksa di laboratorium.
Inspektorat beberapa kali memeriksa kondisi tanaman sebelum 4.554 pohon kelor milik Mali dipanen. Pemeriksaan itu memastikan kelor benar-benar organik. Kelor yang cocok tumbuh di tanah berpasir dan sedikit berbatu itu sudah bisa dipanen setelah enam bulan ditanam. Panen berikutnya setiap dua minggu. Satu pohon kelor bisa produktif hingga 50 tahun.
Dalam prosesnya, seusai ditimbang, kelor dicuci, lalu daunnya dirontokkan secepat mungkin. Mereka hanya punya waktu empat jam terhitung sejak panen hingga daun kelor masuk rumah pengering. Lewat empat jam, daun kelor akan menguning, kualitasnya anjlok, sehingga tak bisa digunakan sebagai bahan baku produksi. Khasiatnya dianggap hilang.
Dua perempuan siaga di pintu rumah pengering berukuran 15 meter x 9 meter itu. Selesai dirontokkan, daun mereka gelar di atas rak. Setiap tiga jam, daun dibalik selama tiga-empat hari dalam suhu 24-38 derajat celsius. Mereka bergantian membalik daun di ruangan berkapasitas 350 kg daun kelor itu.
Mereka lalu membawa daun kelor ke rumah produksi. Bahan baku itu di antaranya diolah menjadi teh kelor, sabun kelor, dan hand and body lotion. Produk organik kian diminati konsumen, termasuk dari Timor Leste. Khasiat kelor membuat para pembeli mendatangi desa di pedalaman Pulau Timor itu sekalipun harus melewati jalanan rusak parah.
Teh kelor, misalnya, diyakini punya khasiat, di antaranya menurunkan kolesterol, menjaga daya tahan tubuh, dan menetralkan kadar gula darah.
Siklus produksi, mulai dari penanaman hingga pengolahan, dalam pengawasan ketat Maspete, kelompok yang beranggotakan warga dari kampung itu. Mereka dilatih mengembangkan kelor sejak 2014, jauh sebelum Pemerintah Provinsi NTT mengampanyekan gerakan tanam kelor di daerah itu dua tahun lalu.
”Kami baru tahu khasiat dan berharganya daun kelor. Kalau dulu dibuang begitu saja dan jadi makanan sapi,” kata Brigita Lon (29), pengelola rumah pengering kelor. Petani bersemangat menanam kelor. Mereka mendaftarkan lahan dan mengikuti persyaratan yang ditetapkan, yakni tanpa menggunakan pestisida.
Dari awalnya sembilan petani yang bergabung, kini bergabung 178 petani dari enam desa. Selain Kufeu di Kecamatan Io Kufeu, telah bergabung petani dari Desa Ikantuanbeis, Tunmat, Tunabesi, dan Biau. Sementara dari kecamatan tetangga Sasitamean telah bergabung Desa Naibone.
Total lahan yang didaftarkan mencapai 86 hektar, sedangkan yang lolos inspeksi ada 64 hektar. Penerima manfaat dari pengolahan kelor di daerah itu mencapai 1.000 orang. Kini, anak-anak petani miskin mulai berani bercita-cita. Sejumlah wilayah di Pulau Timor, termasuk daerah itu, merupakan kantong kemiskinan di NTT. Persentase kemiskinan NTT sekitar 21 persen atau tertinggi ketiga nasional. Banyak anak putus sekolah karena terkendala biaya.
Kehadiran pengolahan kelor organik yang kini bernaung di bawah Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Kufeu menyerap anak-anak muda dan para ibu rumah tangga yang tidak memiliki pekerjaan tetap. Sebanyak 17 orang bekerja di sana. Ini setidaknya menutup ruang mereka menjadi tenaga kerja secara legal ataupun ilegal di Malaysia. Bagi banyak orang di NTT, menjadi TKI di Malaysia adalah jalan mengubah nasib.
Setiap tahun, selalu saja ada tenaga kerja asal Pulau Timor yang meninggal di negara lain. Terhitung sejak Januari hingga awal Maret 2019, ada 27 TKI asal NTT meninggal di Malaysia. Tahun 2018, TKI asal NTT yang meninggal 102 orang. Jumlah ini tak termasuk TKI yang tidak melapor kepada KBRI atau Konjen RI di Malaysia.
Juara nasional
Kisah pengembangan kelor ini membawa Kufeu menyabet penghargaan bergengsi nasional tahun 2019. Desa Kufeu menjadi juara kategori inovasi desa, sedangkan produk kelor masuk peringkat ketiga produk unggulan desa.
”Dari tepian kami menyapa dunia,” ujar Nina Purwiyantini, koordinator kelompok Maspete. Perempuan berdarah Jawa itu mengabdikan dirinya untuk kegiatan sosial di NTT sejak 2003.
Nina mengatakan, kendala saat ini adalah modal untuk membeli kelor dari petani. Sebab, semakin banyak petani yang membudidayakan kelor. ”Makanya, diprioritaskan mereka yang membutuhkan uang untuk sekolah anak atau berobat. Petani sudah tahu kondisi kami dan mereka memahami itu. Ini memang bisnis, tetapi sosial tetap dikedepankan,” ujarnya.
Kharistoforus A Kali, tenaga ahli pendamping desa yang menangani kelor, mengatakan, pihaknya mendorong penyertaan modal dari desa untuk usaha kelor. Tahun lalu, Rp 100 juta digelontorkan ke Maspete melalui BUMDes. Tahun 2020 akan ada lagi penyertaan modal yang sedang dibahas dalam penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa.
Kepala Dinas Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa Kabupaten Malaka Agustinus Nahak mengapresiasi gerakan ekonomi perdesaan yang terus tumbuh lewat pemanfaatan potensi lokal. Desa Kufeu dinilai berhasil. Pihaknya akan memberikan dukungan bagi kegiatan pengolahan kelor, seperti menambah rumah pengering, mesin produksi, dan bantuan uang tunai untuk modal.
Saat ini, Maspete sedang menunggu proses sertifikasi oleh tim dari Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Jepang yang akan datang April mendatang. Jika sukses, pengembangan bisnis kelor semakin bergairah.
Produk kelor dari pedalaman Pulau Timor itu akan melenggang ke pasar dunia. Petani akan terus memanen rupiah dari setiap daun kelor yang tumbuh. Itu suatu kepastian sehingga tak ada lagi pelesetan NTT sebagai ”nasib tidak tentu”.