Bertumbangan karena Kebakaran Gambut Tanpa Solusi
Kebakaran hutan dan lahan gambut di Sumatera mengisahkan kegetiran dan kepedihan warga, termasuk anak-anak balita. Berulang setiap tahun, hampir tak ada solusi permanen.
Tahun lalu terasa paling memilukan bagi keluarga Sari (37). Kebakaran gambut yang memicu pekatnya kabut asap di desa memaksa seluruh keluarga itu mengungsi.
Sari ingat betul, kebakaran dahsyat menerjang desanya, Muara Sabak Barat, Tanjung Jabung Timur, Jambi, September 2019. Api mengepung sebagian areal perkebunan sawit dan akasia. Tak hanya kebun warga, lahan korporasi pun membara. Gara-gara musibah itu, kedua anaknya diopname di rumah sakit akibat peradangan selaput mata.
Selama sepekan warga mencoba bertahan di tengah asap. Namun, kedua anaknya tak kuasa bertahan. Si sulung, Fikri (8), mengeluh matanya perih kemerahan. Sehari kemudian pelupuk matanya berair. Saking parahnya, dari pelupuk mata menetes darah. Dalam kepanikan, Sari melarikan Fikri ke rumah sakit di Kota Jambi, sementara si bungsu Aisah (4) dititipkan kepada orangtua Sari di desa. ”Fikri sempat tak bisa melihat karena iritasinya parah,” kenang Sari.
Oleh dokter, si sulung didiagnosis mengalami konjungtivitis, yakni iritasi akibat peradangan pada selaput yang melapisi permukaan bola mata dan kelopak sisi dalam. Iritasi itu akibat paparan asap terus-menerus. Selama di rumah sakit, mata Fikri diperban. Dokter sewaktu-waktu membuka untuk meneteskan obat. Sepekan dirawat, mata Fikri membaik.
Namun, belum lega sepenuhnya, ia ditelepon aparat desa bahwa anak bungsunya juga mengalami iritasi mata. Ia langsung menjemput si kecil ke desa. Untuk kedua kalinya mereka menginap berhari-hari di rumah sakit, menunggui Aisah dirawat.
Sesuai data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) 2015, kebakaran hutan dan lahan serta kabut asap menelan korban jiwa 24 orang dan korban ISPA lebih dari 600.000 orang. Pekatnya asap waktu itu memapar sekitar 60 juta orang. Paparan asap tahun 2015 juga memicu 311 kasus pneumonia, 415 kasus asma, 689 iritasi mata, dan 1.850 iritasi kulit, sesuai laporan ”Di Balik Tragedi Asap” terbitan Asia Foundation dan Perkumpulan Skala.
Dari laporan itu terungkap bahwa masyarakat mengalami trauma sehingga tak ingin lagi tinggal di daerah yang terdampak kabut asap. Namun, karena tiada pilihan, mereka terpaksa menetap.
Kepedihan yang lebih kurang sama dialami Nawawi (63) tentang kengerian kebakaran lahan di Sumatera Selatan tahun 2019. Nyawanya hampir melayang, terjebak kepungan api di kebun karetnya. Tak hanya trauma, guratan bekas luka bakar di leher dan tangannya masih tersisa.
Sabtu (14/3/2020), ia mengisahkan lagi kala terjebak kepungan api, September 2019. Ketika itu, kebakaran hebat mengepung Desa Soak Batu, Kecamatan Indralaya Utara, Kabupaten Ogan Ilir, Sumsel. Api cepat merambat hingga mendekati kebun karetnya.
”Saya diberi tahu saudara bahwa kebun karet saya hampir terbakar. Jadi saya langsung ke kebun untuk memadamkan api,” kata Nawawi, yang memiliki dua hektar kebun yang baru saja berproduksi, sumber pendapatannya selain menjahit.
Hanya berbekal ember dan mengandalkan air di sekitar kebun, Nawawi dan adik iparnya, Syahroni, berjibaku membasahi lahan dan memadamkan api agar tak menjalar. Namun, arah angin berubah dan api malah mengitarinya. ”Bingung mau ke mana, akhirnya saya menembus api,” katanya.
Keputusan itu membuat dirinya tetap hidup. ”Kalau saya terlambat ambil keputusan 10 detik saja, mungkin saya tidak ada di sini sekarang,” kisahnya. Keselamatannya itu harus dibayar dengan luka bakar di leher dan tangannya. Sepeda motor yang dia beli 13 tahun lalu pun ludes terbakar.
Ia harus menghabiskan waktu tiga bulan untuk bisa sembuh dari lukanya.
Pascajadi korban kebakaran lahan, tak ada bantuan dari pemerintah. Ia harus mengeluarkan uang sekitar Rp 650.000 untuk mengobati luka bakar di tubuhnya. Beruntung anaknya bekerja di RS Bari Palembang. ”Jadi saya hanya membayar biaya obat, dokternya tidak meminta pungutan,” ungkapnya.
Namun, ia harus menghabiskan waktu tiga bulan untuk bisa sembuh dari lukanya. ”Sekarang pun masih terasa nyeri di leher,” katanya sembari memperlihatkan bekas guratan luka bakar di leher dan tangannya.
Adapun rangka motor yang ludes terbakar hanya laku dijual Rp 150.000. Kini, dirinya kesulitan ke kebun yang berjarak empat kilometer dari rumah. ”Saya sebenarnya hanya minta motor dari pemerintah yang jelek pun tak apa-apa,” harapnya.
Kejadian itu meninggalkan rasa trauma. Kalaupun nanti api mengarah ke kebunnya lagi, ia memilih diam karena tak mau lagi merasakan jilatan api. ”Saya harap tidak ada lagi kebakaran lahan. Saya trauma dan takut,” katanya.
Menjemur bayi
Rasa trauma juga dialami Karsono (41), warga Kelurahan Plaju Darat, Kecamatan Seberang Ulu II, Kota Palembang. September 2019, anak ketiganya lahir prematur. Dokter menyarankan menjemur bayinya. Ia bingung karena setiap pagi dan sore asap membubung. Bahkan, pukul 10.00 WIB saja sinar matahari masih belum terlihat, tertutup pekatnya asap.
Karena mata bayinya sudah menguning, ketika ada sedikit sinar matahari, Karsono terpaksa menjemur bayinya walau bau asap masih pekat terasa. ”Beruntung bayi saya sehat sampai sekarang,” ungkapnya.
Gubernur Sumsel Herman Deru mengungkapkan, kebakaran lahan 2019 sulit dikendalikan karena cuaca yang sulit diprediksi. ”Bahkan, satgas penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahan harus diperpanjang hingga dua kali,” katanya.
Parahnya asap juga membuat indeks standar pencemaran udara mencapai level berbahaya pada angka 391. ”Kami sudah berupaya maksimal dengan mengerahkan sumber daya dan peralatan. Hanya, kebakaran masih terjadi,” katanya.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sumsel mencatat kebakaran di Sumsel telah menghanguskan 428.356 hektar lahan, dengan 254.164 hektar berupa lahan gambut. ”Ini yang harus diantisipasi pada 2020,” katanya.
Sejumlah langkah akan dilakukan untuk penanggulangan kebakaran. BPBD Sumsel juga telah membangun sodetan sungai di Kabupaten Ogan Ilir untuk menjaga agar lahan gambut di sekitarnya tak mudah terbakar. ”Pembangunan sudah dilakukan, tinggal kita lihat di musim kemarau tahun ini. Efektif atau tidak,” ungkap Ansori, Kepala Bidang Penanganan Kedaruratan BPBD Sumsel. Selain di Ogan Ilir, pembangunan sodetan sungai juga akan dilakukan di Kabupaten Ogan Komering Ilir dan Musi Banyuasin.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumsel Hairul Sobri berpendapat, bencana hanya bisa dihentikan jika ada komitmen pemerintah untuk melindungi lahan gambut agar tetap sesuai fungsinya dan tidak memberikan izin lingkungan secara serampangan.
Ia juga menyarankan agar dalam upaya penanggulangan kebakaran, pemerintah juga melibatkan masyarakat sekitar karena merekalah ujung tombaknya.