Penyebaran konten intoleransi dan kekerasan di media sosial rentan mempercepat paparan radikalisme untuk mendorong seseorang menjadi pelaku teror. Media massa pun dituntut lebih berani membuat narasi kontraradikalisme.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·3 menit baca
CIREBON, KOMPAS — Penyebaran konten intoleransi dan kekerasan di media sosial rentan mempercepat paparan radikalisme untuk mendorong seseorang menjadi pelaku teror. Media massa pun dituntut lebih berani membuat narasi kontraradikalisme.
”Hasil studi kami terhadap 75 narapidana terorisme, waktu mereka terpapar radikalisme hingga menjadi pelaku teror kurang dari satu tahun. Pemicunya, konten kekerasan di media sosial,” ujar Solahudin, peneliti Pusat Pengkajian Terorisme dan Konflik Sosial Universitas Indonesia.
Hal itu disampaikan Solahudin dalam Workshop Jurnalistik bertema ”Peran Media dalam Menangkal Terorisme” di Kota Cirebon, Jawa Barat, Jumat (13/3/2020). Kegiatan yang digelar Fahmina Institute tersebut dihadiri belasan jurnalis dan pekerja media dalam jaringan, cetak, dan radio setempat dan nasional. Fahmina adalah organisasi nirlaba di Cirebon yang bergerak pada isu keindonesiaan, kemanusiaan, dan keadilan.
Menurut Solahudin, paparan radikalisme via media sosial tersebut jauh lebih instan dibandingkan dengan yang dialami pelaku teror 2002-2010 di Indonesia. ”Dulu mereka mayoritas menjawab membutuhkan waktu 5 sampai 10 tahun dari awal terpapar radikalisme hingga menjadi pelaku teror,” lanjutnya.
Saat itu, masa indoktrinasi paham radikal hanya rutin sekali sepekan melalui pertemuan langsung. Sementara saat ini paparan radikalisme melalui konten kekerasan dan intoleransi beredar luas di media sosial selama 24 jam tanpa henti.
Selama 2017-2019, pihaknya mengidentifikasi sekitar 50 channel atau saluran yang memuat konten radikal di Telegram. Diperkirakan ada lebih dari 200 saluran serupa. Konten yang dimaksud antara lain menolak pandangan keberagaman hingga mengajak melakukan kekerasan, termasuk kepada aparat pemerintah, dengan mengatasnamakan agama.
Setiap saluran, lanjut Solahudin, menyebarkan 80-150 pesan kekerasan setiap hari. Rata-rata seseorang yang terpapar berlangganan 5-10 saluran. ”Artinya, mereka dapat terpapar hingga 1.000 pesan berisi kekerasan per hari dari bangun pagi sampai tidur lagi,” ungkapnya.
Mereka dapat terpapar hingga 1.000 pesan berisi kekerasan per hari dari bangun pagi sampai tidur lagi.
Intensitas dan masifnya pesan tersebut mendorong seseorang menjadi radikal dan akhirnya menjelma pelaku teror yang melakukan tindak kekerasan. ”Meskipun mereka tidak sepakat dengan radikalisme, tetapi terpapar terus menerus ya jadi radikal,” ujarnya.
Selain mempercepat proses radikalisme, menurut Solahudin, media sosial juga memperluas jangkauan konten radikal. Siapa pun bisa membaca konten itu tanpa dibatasi jarak selama masih ada jaringan internet. Penyebaran melalui media sosial juga lebih murah dibandingkan dengan media cetak yang membutuhkan ongkos cetak dan distribusi. Keamanan di media sosial pun lebih terjamin karena isi percakapan bisa dihapus.
Narasi tandingan
Oleh karena itu, pengajar IAIN Syekh Nurjati, Cirebon, Marzuki Wahid, mengatakan, media bersama jurnalisnya perlu membuat narasi tandingan yang berisi toleransi dan mencegah radikalisme. ”Media harus membuat jaringan untuk menyuarakan antiradikalisme,” kata Marzuki yang juga salah satu pendiri Fahmina Institute.
Jika tidak, paham radikal terus-menerus mengisi media sosial, sementara masyarakat membutuhkan pandangan alternatif. ”Kontranarasi radikalisme ini penting di Cirebon karena sekitar 70 warga Cirebon dan sekitarnya ditangkap karena terkait terorisme,” ungkapnya.
Kontranarasi radikalisme ini penting di Cirebon karena sekitar 70 warga Cirebon dan sekitarnya ditangkap karena terkait terorisme.
Sejumlah peserta mengatakan masih membutuhkan pelatihan terkait penulisan bertema antiradikalisme. Alasannya, tidak sedikit media yang harus menghadapi perundungan, bahkan kekerasan secara fisik oleh kelompok radikal akibat hasil peliputan jurnalisnya.
Zahra Amin dari Mubaadalahnews, media di Cirebon yang bergerak pada relasi laki-laki dan perempuan dalam perspektif Islam, mengatakan, pihaknya sudah berupaya menangkal radikalisme. Misalnya, memuat konten Islam yang menghargai keberagaman lengkap dengan dalilnya.
”Saat kami menyebarkan di media sosial, ada pihak yang menuduh kami liberal dan lain-lain. Bahkan, banyak yang mem-bully,” ujarnya.
Direktur Fahmina Institute Rosidin mengatakan, media harus berani membuat narasi tandingan radikalisme. Pihaknya akan menghubungkan media, aparat, dan lembaga lain yang fokus untuk mencegah radikalisme.