Jumlah lahan kritis di Sumsel hingga tahun 2020 mencapai 700.000 hektar dari total 3,46 juta hektar hutan. Upaya pemulihan pun dilakukan oleh pemerintah dan warga.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·3 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Jumlah lahan kritis di Sumatera Selatan hingga tahun 2020 mencapai 700.000 hektar dari total 3,46 juta hektar hutan. Proses pemulihan lahan terus dilakukan utamanya dengan melibatkan penduduk yang tinggal di sekitar hutan.
Hal ini disampaikan Kepala Dinas Kehutanan Sumatera Selatan (Sumsel) Panji Tjahjanto saat menghadiri peringatan Hari Bakti Rimbawan ke-37 di Taman Wisata Alam Punti Kayu, Palembang, (12/3/2020). Dalam peringatan itu, ditanam 200 tanaman buah-buahan, seperti duku, durian, kelengkeng, jambu biji, dan sirsak.
Panji mengatakan, ada beberapa penyebab lahan kritis di antaranya alih fungsi lahan dan penebangan liar. ”Upaya pemulihan terus dilakukan salah satunya dengan melakukan rehabilitasi lahan,” ungkap Panji.
Untuk tahun 2019, sejumlah pihak telah merehabilitasi sekitar 20.000 hektar lahan kritis. Caranya dengan menanaminya dengan tanaman kayu dan buah. Tahun 2020, ada sekitar 6.000 hektar lahan kritis yang akan ditanami. ”Tentu prosesnya harus dilakukan secara bertahap,” katanya.
Hal ini penting dilakukan karena keberadaan hutan sangat berpengaruh bagi kehidupan, tidak hanya bagi masyarakat yang ada di dalam kawasan, tetapi juga di luar kawasan hutan. ”Upaya penegakan hukum dengan operasi dan sosialisasi terkait pentingnya keberadaan hutan terus dilakukan,” ucapnya.
Kepala Balai Pengolahan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung (BPDAS-HL) Musi Siswo mengatakan, upaya rehabilitasi terhadap lahan kritis di Sumsel sangat masif dilakukan dalam lima tahun terakhir. DAS Musi menjadi satu dari 15 DAS prioritas nasional karena pengaruhnya yang sangat luas, yakni mencakup Bengkulu, Sumsel, dan Lampung.
Bahkan, kesadaran masyarakat untuk melakukan rehabilitasi secara mandiri semakin tinggi. ”Saat ini, kami kewalahan untuk memenuhi permintaan tanaman dari masyarakat,” ungkapnya.
Siswo mengakui, saat ini permintaan terhadap bibit tanaman buah mencapai 2 juta batang per tahunnya. Adapun stok yang tersedia kurang dari itu. ”Dulu kami yang kampanye sekarang, masyarakat yang datang sendiri meminta benih,” ucapnya.
Dulu kami yang kampanye sekarang, masyarakat yang datang sendiri untuk meminta benih.
Kesadaran warga meningkat. Sebagian dari mereka sudah memahami pentingnya menjaga hutan. Siswo menerangkan kritisnya lahan hutan, terutama di kawasan hulu dapat berdampak pada sejumlah bencana ekologis, seperti banjir dan longsor.
Dalam proses penanaman tanaman hutan, ujar Siswo, pihaknya melibatkan masyarakat sekitar hutan. ”Tanaman yang ditanam memang memberikan nilai ekonomis bagi masyarakat sehingga mereka mau menjaga tanaman tersebut,” ungkapnya.
Selain melibatkan masyarakat, ungkap Siswo, peran dari instansi terkait juga diperlukan. Misalnya melalui proses pengerukan dan pendalaman sungai dan mengoptimalkan penyerapan di kawasan hulu.
Nelsi adelina, Kepala Balai Perbenihan Tanaman Hutan Wilayah I, mengatakan, pihaknya sudah menyiapkan 2,5 benih tanaman hutan yang bisa dimanfaatkan masyarakat secara gratis. Benih ini dapat dimanfaatkan secara perseorangan ataupun komunitas.
Keberadaan benih ini diharapkan dapat berdampak bagi perekonomian masyarakat dengan memanfaatkan komoditas nonkayu yang ada dari tanaman tersebut. Ada 18-20 jenis tanaman hutan yang dapat dimanfaatkan. ”Dengan cara ini, diharapkan kerusakan hutan atau lahan kritis dapat diminimalisasi,” katanya.