Gempa berpusat di darat berpotensi memicu kerusakan besar. Kesadaran hidup di jalur sesar aktif sangat penting untuk memitigasi gempa sehingga dapat meminimalkan risiko bencana.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
BANDUNG, KOMPAS — Gempa berpusat di darat berpotensi memicu kerusakan besar. Kesadaran hidup di jalur sesar aktif sangat penting untuk memitigasi gempa sehingga dapat meminimalkan risiko bencana.
Kerusakan akibat gempa dipengaruhi sejumlah faktor, seperti kekuatan gempa, jarak ke pusat gempa, intensitas, faktor geologi, dan kualitas bangunan. Pengetahuan masyarakat terhadap faktor-faktor itu dapat menjadi komponen mitigasi untuk mengurangi kerusakan.
”Karena jaraknya lebih dekat ke permukiman, gempa di darat berpotensi lebih merusak. Apalagi jika kondisi tanahnya bersifat lepas sehingga memperkuat guncangan,” ujar Kepala Subbidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami Wilayah Barat pada Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi Akhmad Solikhin di Kota Bandung, Jawa Barat, Kamis (12/3/2020).
Dalam sepekan terakhir setidaknya terjadi delapan gempa darat yang dirasakan di sejumlah wilayah Indonesia. Dua di antaranya berlokasi di Jabar.
Gempa bermagnitudo 3,7 mengguncang Kabupaten Bandung Barat dan Purwakarta, Rabu (11/3/2020) pukul 21.41. Pusat gempa berkedalaman 2 kilometer itu berada di 21 kilometer timur laut Cianjur.
Gempa dirasakan di Cikalong Wetan (Bandung Barat) dengan skala I-II MMI (Modified Mercalli Intensity) dan di Plered (Purwakarta) dengan skala II-III MMI. Belum ada laporan kerusakan berarti akibat gempa tersebut.
Gempa darat juga mengguncang Kabupaten Sukabumi, Selasa (10/3/2020) pukul 17.18. Ratusan rumah di Sukabumi dan Kabupaten Bogor rusak akibat gempa berkekuatan M 5 tersebut.
Berdasarkan lokasi episenter dan kedalaman hiposenternya, gempa ini merupakan jenis gempa dangkal akibat aktivitas sesar lokal. Analisis mekanisme sumber menunjukkan gempa memiliki mekanisme pergerakan mendatar. Menurut Solikhin, gempa tersebut disebabkan aktivitas sesar Citarik. Sesar ini berjarak sekitar 13 kilometer dari sesar Cimandiri.
Solikhin mengatakan, ancaman gempa darat patut diwaspadai. Apalagi di Jabar terdapat sejumlah patahan aktif, di antaranya sesar Baribis, Lembang, Cimandiri, dan Garut Selatan.
Ancamannya semakin besar karena banyak warga bermukim di jalur sesar. Dalam beberapa kejadian gempa, bangunan di atas jalur sesar mengalami kerusakan parah.
Solikhin mencontohkan gempa M 7,7 di Palu, Sulawesi Tengah, pada September 2018. Pergerakan sesar Palu-Koro itu terlihat dengan pergeseran tanah di permukaan.
Kerusakan akibat gempa dipengaruhi sejumlah faktor, seperti kekuatan gempa, jarak ke pusat gempa, intensitas, faktor geologi, dan kualitas bangunan.
”Bangunan sekuat apa pun yang berada persis di jalur sesar akan hancur. Seperti kejadian di Palu, bangunan rusak parah dan bergeser hingga 5 meter,” ucap Solikhin.
Oleh sebab itu, penting mengetahui ancaman bencana di jalur sesar. Di beberapa negara seperti Amerika Serikat dan Selandia Baru terdapat peraturan tidak mendirikan bangunan di radius 25 meter hingga lebih dari jalur sesar.
Peraturan ini belum diterapkan di Indonesia. ”Salah satu tantangannya adalah menetapkan jalur sesar secara detail di permukaan. Hal ini dibutuhkan untuk merekomendasikan jarak mendirikan bangunan,” ujarnya.
Kualitas bangunan yang tidak standar tahan gempa turut meningkatkan potensi kerusakan. Masih banyak bangunan tanpa kolom sehingga rawan ambruk saat diguncang gempa.
Peneliti Pusat Penelitian Mitigasi Bencana Institut Teknologi Bandung, Nuraini Rahma Hanifa, mengatakan, gempa di darat dapat memicu guncangan lebih besar dibandingkan gempa di laut dengan kekuatan yang sama. Gempa darat patut diwaspadai, terutama bagi masyarakat di sekitar jalur sesar.