Program tol laut tidak sekadar memberikan subsidi pada pelayaran untuk menurunkan disparitas harga. Tol laut merupakan model logistik untuk distribusi barang, konektivitas antarmoda, dan pengendalian harga barang.
Oleh
Frans Pati Herin/ Fabio M Lopes Costa
·3 menit baca
DARUBA, KOMPAS — Angkutan balik tol laut dari daerah ke Pulau Jawa masih minim, sekitar 6,7 persen per tahun. Pemerintah daerah diminta membantu masyarakat memanfaatkan angkutan balik tol laut untuk mengirim hasil perikanan dan perkebunan. Tol laut menjadi jembatan untuk memasarkan komoditas lokal di Pulau Jawa dengan harga lebih tinggi.
Di Kabupaten Pulau Morotai, Maluku Utara, misalnya, muatan balik didominasi kopra yang menjadi komoditas andalan daerah. Harga kopra di Morotai sempat menyentuh Rp 2.000 per kilogram, tetapi kini mulai membaik menjadi Rp 4.100 per kg. Meski begitu, jika dibandingkan dengan era tahun 2000, harga kopra sempat melampaui Rp 10.000 per kg.
Kenaikan harga kopra itu menyusul kehadiran pengusaha dari Surabaya yang datang ke Morotai. Komoditas yang dibeli diangkut menggunakan kapal tol laut. Saat ini harga kopra di pasaran Surabaya sekitar Rp 7.100 per kg. ”Seharusnya peran ini bisa diambil pengepul lokal dengan harga lebih baik lagi.
Pemerintah daerah bisa mendorong dan mengawasinya,” ujar Supriono Ahmad, dosen ilmu perikanan pada Universitas Pasifik Morotai, Selasa (10/3/2020). Selain kopra, komoditas perikanan juga perlu didorong. Morotai, yang ada di bibir Pasifik, kaya akan ikan kelas ekspor, seperti tuna dan kerapu. Oleh karena itu, pemberdayaan nelayan lokal diperlukan untuk meningkatkan produksi.
Di Maluku, Ketua Program Studi Sumber Daya Perikanan Universitas Pattimura, Ambon, Ruslan Tawari berpendapat, konsep pembangunan gugus pulau yang dicanangkan pemerintah provinsi cocok untuk penguatan komoditas berbasis keunggulan lokal yang dapat dikirim ke Pulau Jawa menggunakan kapal tol laut.
Sejumlah pelabuhan yang disinggahi kapal tol laut berada pada titik strategis. Kapal tol laut yang masuk Pelabuhan Namrole di Pulau Buru, misalnya, bisa mengangkut pala, cengkeh, dan minyak kayu putih. Di Pelabuhan Moa, Maluku Barat Daya, ada komoditas domba, sapi, dan kerbau. Di Kepulauan Aru, kapal mengangkut ikan, udang, dan teripang.
Di Pelabuhan Jayapura, Papua, pada 2019 hanya 20 persen dari sekitar 4.000 peti kemas yang keluar balik ke Jawa dalam kondisi penuh. Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, UKM, dan Tenaga Kerja Papua Laduani Ladamay mengatakan, sejumlah pemerintah daerah di Papua menyiapkan komoditas unggulan untuk mengisi muatan balik kapal tol laut. Salah satunya komoditas sagu di Merauke.
Upaya untuk memanfaatkan arus balik tol laut juga dilakukan Pemerintah Kabupaten Biak Numfor. Kepala Dinas Perikanan Biak Numfor Effendi Igrissa menyatakan, daerahnya memiliki potensi ikan tuna, tongkol, cakalang, dan kerapu yang mencapai 604.046 ton. Pemkab juga sudah memiliki gudang pendingin ikan berkapasitas 200 ton.
Dua koperasi nelayan dari Bandung dan daerah setempat digandeng untuk mengelola gudang pendingin ikan. ”Kedua koperasi ini dapat memanfaatkan kapal tol laut untuk mengangkut ikan tuna ke luar Biak. Tujuannya, biaya operasional pengangkutan ikan lebih murah dan nelayan semakin termotivasi menangkap ikan,” katanya.
Direktur Lalu Lintas dan Angkutan Laut Kementerian Perhubungan Wisnu Handoko mengatakan, tingkat keterisian muatan tol laut dari Pulau Jawa rata-rata 74,6 persen. Sedangkan muatan balik hanya 6,7 persen.
Menurut dia, program tol laut tidak sekadar memberikan subsidi pada pelayaran yang bertujuan menurunkan disparitas harga. Lebih dari itu, tol laut merupakan model logistik nasional untuk kelancaran distribusi barang, konektivitas antarmoda, dan pengendalian harga barang.