Disabilitas Intelektual Rentan Jadi Korban Pelecehan Seksual
Dengan kondisi mereka yang tidak mampu berkomunikasi dengan baik dan benar, penyandang disabilitas intelektual justru menjadi sasaran empuk pelampiasan hasrat seksual dari orang-orang di sekitarnya.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·3 menit baca
TEMANGGUNG, KOMPAS- Warga, penyandang disabilitas intelektual, rentan menjadi korban pelecehan seksual. Dengan kondisi mereka yang tidak mampu berkomunikasi dengan baik dan benar, penyandang disabilitas intelektual justru menjadi sasaran empuk pelampiasan hasrat seksual dari orang-orang di sekitarnya.
Pelaksana Tugas Kepala Balai Besar Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Intelektual (BBRSPDI) Kartini, Temanggung, Jawa Tengah, Langgeng Setiawan, Selasa (10/3/2020) mengatakan kasus pelecehan seksual adalah kasus yang mendominasi masalah yang terjadi pada warga penyandang disabilitas intelektual. Dari 30 kasus yang menimpa warga penyandang disabilitas intelektual pada tahun 2019, 20 kasus diantaranya adalah kasus pelecehan seksual.
Kebanyakan korban pelecehan seksual adalah perempuan usia produktif, dengan rentang usia 18-30 tahun.
Kebanyakan korban pelecehan seksual adalah perempuan usia produktif, dengan rentang usia 18-30 tahun. Pelecehan seksual ini dilaporkan menimpa penyandang disabilitas intelektual di berbagai kota di Jawa.
Kepala Seksi Advokasi BBRSPDI Suratinah, mengatakan, pelecehan seksual tersebut, biasanya dilakukan oleh orang-orang terdekat korban. “Laporan kasus pelecehan seksual yang kami terima, ada yang dilakukan oleh tetangga, perangkat desa, dan bahkan ada yang dilakukan oleh ayahnya sendiri,” ujarnya.
Karena ketidakmampuan berkomunikasi dengan baik itulah, maka pengakuan penyandang disabilitas intelektual tentang tindak pelecehan seksual tersebut, seringkali diabaikan oleh warga sekitar. Warga, masyarakat sekeliling acapkali tidak mempercayai keterangan korban karena penyandang disabilitas seringkali dianggap tidak normal, dan menderita gangguan jiwa.
Kondisi inilah yang kemudian membuat, kasus pelecehan seksual yang dialami penyandang disabilitas intelektual seringkali berlangsung lama dan berlarut-larut.
“Warga sekitar biasanya baru percaya setelah penyandang disabilitas intelektual tersebut, hamil,” ujarnya. Dari 20 kasus pelecehan seksual yang terjadi di tahun 2019, delapan korban diantaranya hamil.
Dari 20 kasus pelecehan seksual yang terjadi di tahun 2019, delapan korban diantaranya hamil.
Selain masalah ketidakmampuan komunikasi, Suratinah mengatakan, kasus tersebut biasanya terpendam, dan tidak terungkap, karena sebagian penyandang disabilitas intelektual kemudian justru tidak menganggapnya sebagai kasus pelecehan dan justru menikmati sebagai bentuk kebutuhan biologisnya.
Menurut dia, kondisi tersebut juga terjadi pada warga penyandang disabilitas intelektual asal Temanggung yang menjadi korban pelecehan seksual oleh ayahnya sendiri hingga hamil. “Saat dipisah dan ayahnya dibawa untuk menjalani hukuman penjara, korban justru sedih, berhari-hari mengurung diri,” ujarnya.
Pelaku atau ayah korban menjalani proses hukum dan dipenjara, sedangkan korban menjalani program pendampingan dan pelatihan ketrampilan di BBRSPDI Kartini Temanggung. Adapun, anak yang dilahirkannya, kemudian diadopsi oleh kerabatnya di Semarang.
Ketidakmampuan intelektual seringkali juga menjadi dimanfaatkan oleh orang lain untuk melakukan tindak kejahatan dan kekerasan. CA (16), warga Kecamatan Butuh, Kabupaten Purworejo, yang memiliki tingkat kecerdasan di bawah normal, beberapa waktu lalu juga menjadi korban kasus perundungan yang dilakukan oleh rekan-rekannya sendiri.
Dar (72), nenek CA, mengaku kecewa karena kasus perundungan yang sebenarnya sudah terjadi lama ini tidak ditanggapi serius oleh guru kelasnya sendiri. “Salah seorang gurunya bahkan pernah menyebut cucu saya mengalami gangguan mental atau gila,” ujarnya.