Dari 15 kasus penderita DBD meninggal hingga Februari 2020, Kota Semarang dan Kabupaten Banyumas merupakan dua daerah penyumbang terbanyak, yakni masing-masing dua orang.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
SEMARANG, KOMPAS — Sejak awal tahun hingga Februari 2020 tercatat 1.056 kasus demam berdarah dengue di Jawa Tengah dan 15 orang di antaranya meninggal. Kota Semarang dan Kabupaten Banyumas merupakan daerah dengan jumlah pasien meninggal terbanyak, masing-masing dua orang.
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Jateng Yulianto Prabowo, di Kota Semarang, Selasa (10/3/2020) sore, mengatakan, pendataan terus dilakukan karena penderita terus bertambah. Terlebih, merujuk pada tren tahun-tahun sebelumnya, Oktober hingga Maret merupakan periode puncak penyakit demam berdarah dengue (DBD).
Dari 15 kematian karena DBD di Jateng per Februari 2020, korban terbanyak terdapat di Kota Semarang dan Kabupaten Banyumas, masing-masing dua orang. Daerah lain yang ada korban meninggal akibat DBD di antaranya Kabupaten Cilacap, Purbalingga, Kebumen, Karanganyar, Rembang, Jepara, dan Temanggung.
Sebagai perbandingan, menurut data yang disiarkan di situs Dinas Kesehatan Jateng pada 1 Februari 2019, terdapat 1.250 kasus dengan jumlah kematian 12 orang. Saat itu, kasus tertinggi terdapat di Kabupaten Sragen dengan 200 kasus, disusul Grobogan 150 kasus, Pati 87 kasus, dan Jepara 78 kasus.
Yulianto menuturkan, pada 2019, incident rate atau tingkat kejadian DBD di Jateng 26 kasus per 100.000 penduduk. ”Tahun ini, saya pikir ada kecenderungan menurun karena Januari-Februari lebih rendah dibandingkan dengan 2019. Sementara itu, case fatality rate atau angka kematian kami terus upayakan di bawah 2 persen, bahkan di bawah 1 persen,” ujarnya.
Ia menambahkan, hal utama yang dilakukan dengan pencegahan, dengan melibatkan seluruh pihak, termasuk masyarakat. Sebab, penanganan paling tepat terkait dengan DBD secara promotif dan preventif, yakni pencegahan agar penderita penyakit itu tak terus bertambah.
Tahun ini, saya pikir ada kecenderungan menurun karena Januari-Februari lebih rendah dibandingkan dengan 2019. Sementara itu, case fatality rate atau angka kematian kami terus upayakan di bawah 2 persen, bahkan di bawah 1 persen. (Yulianto Prabowo)
”Kami mendorong pemberantasan sarang nyamuk atau tempat hidup jentik nyamuk. Maka dibutuhkan juru pemantau jentik di setiap rumah, sekolahan, kantor, dan institusi lainnya. Harus dipastikan setiap rumah, kantor, sekolahan dan lainnya tak ada satu pun jentik,” kata Yulianto.
Kepala Seksi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Dinas Kesehatan Jateng Anastasia Tri Yuli Susanti menambahkan, selain kesiapsiagaan juru pemantau jentik, warga juga perlu mengantisipasi dini. ”Seperti memakai obat anti-nyamuk, memasang kelambu dan mendaur ulang barang-barang yang sudah tak terpakai,” ujarnya.
Salah satu upaya pencegahan DBD di Kota Semarang melalui Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2010 yang memberikan sanksi denda bagi warga yang di rumahnya ada jentik. Juga ada kebijakan pada seragam sekolah. Siswa SMP dan SD memakai celana panjang untuk mengantisipasi gigitan nyamuk di bawah bangku sekolah (Kompas, 28 Februari 2019).
Sebelumnya, Direktur Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi menyatakan, upaya pemberantasan sarang nyamuk mendesak digiatkan di daerah dengan kasus DBD. Di Kabupaten Sikka, misalnya, pengasapan massal diperlukan untuk menekan jumlah nyamuk Aedes aegypti sebagai vektor penularan demam berdarah.
”Sebagian masyarakat belum sadar kebersihan lingkungan. Tampungan air yang jarang dibersihkan jadi tempat berkembangnya jentik nyamuk. Tingginya kasus DBD karena pencegahan terlambat,” ucapnya. (Kompas, 10/3)