Hentikan Konflik, Seekor Harimau di Subulussalam Direlokasi
Harimau sumatera kian terancam. Mereka terusir dari habitat karena alih fungsi lahan dan perambahan. Di Subulussalam, Aceh, harimau sumatera akan direlokasi ke habitat yang lebih baik.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
SUBULUSSALAM, KOMPAS — Untuk meredam konflik satwa dengan manusia di Kecamatan Sultan Daulat, Kota Subulussalam, Provinsi Aceh, seekor harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) ditangkap dan, menurut rencana, direlokasi ke habitat yang lebih baik. Namun, masih ada dua harimau yang berkeliaran di kawasan permukiman.
Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh Agus Arianto, Sabtu (7/3/2020), mengatakan, satu harimau betina digiring masuk dalam kandang jebakan pada Jumat (6/3/2020). ”Ini sebagai upaya penanganan konflik yang terjadi sejak Februari hingga Maret,” katanya.
Kandang jebakan itu dipasang pada 26 Februari 2020. Sebelumnya, petugas memantau gerakan harimau dengan kamera tersembunyi (camera trap). Kamera pengintai itu merekam tiga harimau berkeliaran di kawasan permukiman. Mereka terdiri dari satu harimau dewasa dan dua harimau pra-dewasa. Satu ekor harimau itu terluka di kaki depan yang diduga terkena jerat pemburu.
Agus mengatakan, harimau yang masuk ke kandang jebakan itu kini diperiksa kesehatannya oleh tim medis. Menurut rencana, harimau itu akan dilepasliarkan ke kawasan hutan yang jauh dari permukiman penduduk. Keberadaan harimau di kawasan permukiman itu meresahkan warga.
Pada awal Februari, dua sapi milik warga mati diterkam harimau. Keberadaan harimau menyebabkan warga tidak berani ke kebun. Warga juga membatasi aktivitas di luar rumah. Adapun dua harimau yang sempat terekam kamera juga akan direlokasi.
Berdasarkan The IUCN Red List of Threatened Species, satwa yang hanya ditemukan di Pulau Sumatera ini berstatus critically endangered atau spesies kritis, berisiko tinggi untuk punah di alam liar. Agus mengajak para pihak melindungi satwa kunci tersebut di Aceh. Kerusakan hutan memicu konflik karena satwa kehilangan habitat.
Satwa yang hanya ditemukan di Pulau Sumatera ini berstatus critically endangered atau spesies kritis, berisiko tinggi untuk punah di alam liar.
Harimau termasuk satwa paling diburu untuk diperjualbelikan. Organ tubuh harimau, mulai dari kulit, tulang, hingga gigi harimau, diperjualbelikan. Populasi harimau di Aceh diperkirakan 197 ekor. Populasi terbanyak berada di Kawasan Ekosistem Leuser.
Sebelumnya, Koordinator Wildlife Protection Team-Forum Konservasi Leuser (WPT-FKL) Dediansyah mengatakan, perburuan masih menjadi ancaman utama keberlangsungan satwa lindung di Leuser.
Pada 2018, tim Forum Konservasi Leuser melakukan patroli selama 302 kali (satu kali patroli durasi 15 hari) dengan menurunkan 26 tim. Selama setahun, tim patroli telah menempuh perjalanan 18.800 kilometer. Dalam rentang waktu sama, tim menemukan 613 kasus perburuan, 843 jerat dan perangkap, dan 176 camp pemburu.
Saat melakukan patroli, tim juga menemukan 38 pemburu yang sedang memasang perangkap dan ditemukan 96 bangkai satwa yang diduga mati karena diburu. Adapun pada 2017, tim patroli FKL menemukan 729 kasus perburuan dan 814 jerat satwa.
”Kami berhadapan langsung dengan pemburu di lapangan, mereka sebagian besar orang Aceh, tetapi ada juga dari Sumatera Utara dan Sumatera Barat,” kata Dediansyah.
Jerat dan perangkap sengaja dipasang pemburu. Bentuk jerat dan perangkap beragam. Ada yang terbuat dari baja sling, papan yang dipasangi paku, dan jeruji besi yang dilas. Satwa lindung yang diburu di antaranya gajah, harimau, rusa, beruang, rangkong, dan orangutan.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh M Nur mengatakan, pemulihan habitat satwa tidak pernah dilakukan sehingga eskalasi konflik kian meningkat. Kematian lima gajah terkena setrum di kebun sawit warga menunjukkan, habitat gajah telah berubah menjadi kawasan budidaya.
”Kepentingan ekonomi dengan konservasi sering berbenturan. Selama habitat tidak dipulihkan, konflik tidak akan berakhir,” kata Nur.