”Covid Antiseptic”, Cairan Pembersih Tangan ala SMK Prajnaparamita
Di tengah kelangkaan barang, SMK Prajnaparamita Kota Malang memproduksi ”hand sanitizer” buatan sendiri dengan harga bersahabat. Cairan pembersih tangan ini dijual bebas kepada warga yang membutuhkan.
Oleh
DEFRI WERDIONO
·4 menit baca
Di kala rak tempat hand sanitizer di toko ritel dan apotek kosong, apa yang dilakukan SMK Prajnaparamita di Jalan Serayu, Kota Malang, Jawa Timur, seolah menjadi oase. Sejak tiga hari lalu, SMK ini memproduksi hand sanitizer buatan sendiri dengan harga bersahabat.
Kamis (5/3/2020) siang, sejumlah siswa dan guru SMK Prajnaparamita sibuk dengan aktivitas masing-masing di dalam ruang Laboratorium Farmasetika. Ada yang menakar alkohol dan bahan lain menggunakan gelas ukur dan labu erlenmeyer, ada yang menyiapkan botol-botol kecil dari plastik untuk mengemas produk, ada pula yang memotong kertas label yang bertuliskan merek ”Covid Antiseptic”.
Di atas meja, beberapa jeriken berisi alkohol 96 persen tertata bersanding dengan aquades dan Aloe vera (lidah buaya). Dengan ukuran tertentu, bahan-bahan itu akan dicampur dengan hidrogen peroksida, gliserin, ekstrak vitamin E, dan minyak esensial menjadi cairan pembersih tangan atau hand sanitizer.
”Meski kadar alkohol yang dipakai tinggi, yakni 96 persen, hand sanitizer ini tidak menyebabkan iritasi di tangan. Aloe vera, gliserin, dan vitamin E ini yang menjadi penyeimbang sehingga aman di kulit,” ujar Sri Wahyuningsih, salah satu guru Jurusan Farmasi Klinis SMK Prajnaparamita.
Kendati mereka sudah bersentuhan dengan pembuatan hand sanitizer atau cairan pembersih tangan sejak lima tahun lalu, produksi cairan pembersih tangan dalam jumlah massal oleh SMK ini baru dilakukan sejak Selasa (2/3/2020). Kelangkaan cairan pembersih tangan dan masker di pasaran menjadi pertimbangan mengapa cairan ini diproduksi massal.
Dari situlah, SMK Prajnaparamita mencoba mencari formula yang pas (menyesuaikan kondisi) hingga akhirnya memproduksi dalam jumlah banyak.
Alhasil, upaya itu mendapat respons positif masyarakat. Jika sebelumnya produk ini hanya dipakai untuk kalangan sendiri, yakni oleh siswa dan keluarganya, maka dengan maksud untuk membantu masyarakat yang membutuhan–terkait merebaknya virus korona–akhirnya hand sanitizer itu merembet keluar.
Konsumen dari luar Malang pun banyak yang memesan, seperti Bali dan Jakarta. Bahkan, ada juga apotek yang turut memesan produk ini. Dampaknya jumlah cairan pembersih tangan yang diproduksi juga meningkat. Jika hari pertama (Selasa) hanya memproduksi 20 botol, dua hari terakhir (Rabu dan Kamis) dibuat 550 botol.
Satu botol cairan pembersih tangan berisi 60 mililiter dihargai Rp 13.000 jika untuk dipakai sendiri dan Rp 15.000 jika untuk dijual lagi. Harga ini tidak terpaut jauh dengan produk serupa di pasaran saat kondisi normal.
Kepala Jurusan Farmasi Klinis SMK Prajnaparamita Daniar Wulandari mengatakan, ”Covid” mampu menyapu kuman, bakteri, dan virus. Dia pun membandingkan cairan pembersih buatan SMK Prajnaparamita yang punya kadar alkohol tinggi dengan produk serupa di pasaran yang hanya mengandung alkohol 70 persen.
”Sebenarnya alkohol 70 persen sudah teruji secara klinis efektif membunuh kuman dan bakteri. Namun, virus Covid-19 sudah merebak sehingga kami memakai 96 persen. Dari hasil uji coba kami, ternyata (alkohol 96 persen) membuat tangan terasa kasar. Oleh karena itu, kami mencampurkan Aloe vera gel dan gliserin supaya di tangan bisa lebih lembut,” katanya.
Menurut Daniar, permintaan terhadap cairan pembersih tangan buatan sekolahnya saat ini cukup besar. Dari produksi 550 botol, semua sudah ludes dipesan oleh konsumen. Padahal, produk itu mulai diiklankan melalui media sosial sehari sebelumnya (Rabu, 4/3/2020).
Order yang datang pada Kamis (5/3/2020), selepas pukul 11.00, akan dilayani dengan produk yang dibuat pekan depan. Menurut rencana, Senin pekan depan, akan diproduksi lagi 500 botol.
Pihak sekolah sengaja membatasi jumlah produksi dengan pertimbangan agar proses belajar siswa tidak terganggu. Setiap kali produksi dibutuhkan waktu tiga jam, yakni pukul 11.00-14.00. Itu pun hanya dengan melibatkan 10-12 siswa secara bergantian dari total siswa Jurusan Farmasi Klinis di SMK Prajnaparamita yang berjumlah 32 anak.
Meski produksinya masih terbatas, apa yang dilakukan SMK Prajnaparamita kiranya bisa menjadi contoh dan menggugah sekolah atau lembaga lain–yang punya hasil penelitian terkait dengan upaya mengeliminasi dampak penyebaran virus tertentu–untuk berbuat hal serupa.
Berbuat sesuatu, meskipun manfaatnya kecil, kiranya lebih baik ketimbang hanya berpangku tangan menunggu aksi dari pemerintah.