Riuh Investasi Pulau Tabuhan di Banyuwangi
Pemerintah Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, telah menandatangani perjanjian kerja sama dengan pengembang asal Singapura, EBD Paragon, untuk mengembangkan Pulau Tabuhan sebagai tujuan wisata baru.
Pemerintah Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, telah menandatangani perjanjian kerja sama dengan pengembang asal Singapura, EBD Paragon, untuk mengembangkan Pulau Tabuhan sebagai tujuan wisata baru. Namun, rencana tersebut berbuah penolakan dari sebagian pihak yang khawatir dengan berbagai kemungkinan.
Pulau Tabuhan yang berada di Selat Bali letaknya lebih dekat dengan Kabupaten Banyuwangi jika dibandingkan dengan Kabupaten Jembrana di Pulau Bali. Hingga saat ini, pulau tak berpenghuni itu hanya sesekali dikunjungi wisatawan yang menyeberang dari sejumlah tempat penyeberangan di Banyuwangi.
Pulau Tabuhan menawarkan lanskap pemandangan yang indah saat fajar ataupun senja. Pulau itu dikelilingi pantai pasir putih yang cukup landai sehingga memungkinkan wisatawan bermain air di hamparan pesisir pantai.
Keindahan dan potensi di Pulau Tabuhan membuat EBD Paragon tertarik mengembangkan daerah tersebut menjadi tujuan wisata.
Wilayah perairan Pulau Tabuhan juga menjadi rumah terumbu karang dan aneka ikan hias warna-warni. Dengan anugerah keindahan itu, Tabuhan menjadi salah satu tempat penyelaman ataupun selam permukaan yang memesona. Namun, wilayah daratan Pulau Tabuhan memang belum tergarap. Sejumlah wisatawan kerap menjadikan wilayah daratan untuk berkemah semalam saja.
Kendati tidak dihuni manusia, Pulau Tabuhan kerap dipenuhi sampah. Menteri Kelautan dan Perikanan (2014-2019) Susi Pudjiastuti pernah geram melihat tumpukan sampah di sana. Ia mengunggah kekecewaannya di akun Instagram. Nelayan dan warga sekitarlah yang paling sering datang membersihkan sampah secara sukarela. Namun, tentunya tak bisa dilakukan setiap hari.
Keindahan dan potensi di Pulau Tabuhan membuat EBD Paragon tertarik mengembangkan daerah tersebut menjadi tujuan wisata. Perusahaan yang juga menjadi salah satu pengembang kawasan wisata Mandalika di NTB dan Labuan Bajo di NTT tersebut direncanakan akan membangun resor-resor di sekitar Tabuhan.
Sewa kelola
Dari paparan Pemerintah Kabupaten Banyuwangi tentang Pulau Tabuhan, pulau seluas 5,3 ha tersebut akan dibagi dalam lima zona. Zona pertama digunakan untuk kedatangan keberangkatan yang dilengkapi dermaga (jetty) untuk sandaran kapal. Zona kedua merupakan zona penerimaan yang dimanfaatkan resepsionis, restoran, kantor pengelola, dan pelayanan wisata air
Zona ketiga untuk hunian berupa cottage di atas permukaan air, sedangkan zona keempat menjadi zona konservasi berupa hutan. Adapun zona kelima merupakan zona utilitas untuk pengolahan air bersih, instalasi pengelolaan air limbah, dan pembangkit listrik tenaga surya.
Pada suatu kesempatan, Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Banyuwangi Samsudin menyebut, EBD Paragon akan mengelola Pulau Tabuhan dengan sistem perjanjian sewa. Pulau Tabuhan akan disewa untuk dikelola 20 tahun dengan evaluasi berkala lima tahun.
Nilai sewa yang disepakati Rp 250 juta per hektar per tahun. Dari total luas 5,3 hektar, yang disewakan seluas 4 ha. Dengan demikian, per tahun Pemerintah Kabupaten Banyuwangi mendapat Rp 1 miliar dari biaya sewa itu.
Sekretaris Daerah Banyuwangi Mudjiono mengatakan, ketika sudah dikelola oleh EDB Paragon, akan ada kawasan privat dan publik. Besaran kawasan privat itu 65 persen, sedangkan 35 persen sisanya untuk publik.
”Kendati demikian, publik masih bisa menikmati fasilitas air bersih atau listrik yang akan dibangun pengembang. Terkait privatisasi, bukan berarti wilayah itu khusus untuk asing, melainkan bagi siapa saja yang ingin menikmati fasilitas privat dengan membayar kepada pengelola,” tuturnya.
Mudjiono menyebut perjanjian kerja sama yang sudah dilakukan saat ini hanya berupa izin persiapan pengembang melakukan kajian. Pemerintah daerah Banyuwangi masih menunggu konsep dan desain yang diajukan pengembang. Jika disetujui, akan dilanjutkan dengan proses perjanjian selanjutnya untuk pembangunan.
Kendati pengembangan Pulau Tabuhan belum pasti dilaksanakan, muncul sejumlah penolakan. Sejumlah kelompok warga dan mahasiswa mulai rutin berdemonstrasi di Kantor Bupati dan DPRD Banyuwangi menolak rencana itu.
Salah satu yang getol menolak rencana pengembangan Pulau Tabuhan ialah Forum Masyarakat Banyuwangi (FMB). Koordinator FMB Danu Budiyono mengatakan, rencana pengembangan ini melukai rakyat Banyuwangi, khususnya warga Wongsorejo, karena muncul tiba-tiba tanpa pernah ada sosialisasi.
”Apa benar pengelolaan Tabuhan di tangan investor asing bisa meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Kami belum pernah dapat hitungan detail terkait PAD dan dampak bagi warga Wongsorejo. Mungkin yang terdampak hanya nelayan yang mengantar tamu ke Pulau Tabuhan,” ujarnya.
Danu juga mengkhawatirkan pengawasan wilayah Pulau Tabuhan ketika dikelola pengembang asing. Ia khawatir berbagai penyimpangan terjadi di sana, salah satunya narkoba karena menjadi kawasan tertutup. ”Pulau ini aset negara, kok, justru mau disewakan kepada investor asing,” ujarnya.
Polemik Pulau Tabuhan ini muncul karena kebijakannya ini dari atas, bukan dari bawah, sehingga banyak pemahaman yang berbeda-beda.
Dengan biaya sewa yang hanya Rp 1 miliar per tahun, Pemerintah Kabupaten Banyuwangi diminta mempertimbangkan menyerahkan pengelolaannya kepada investor lokal. FMB berharap Pemkab Banyuwangi membatalkan perjanjian dengan EDB Paragon dan mencari pengembang lokal yang ramah warga dan lingkungan.
”Ramah warga menjadi penting. Apakah ada jaminan selama disewa 20 tahun warga lokal bisa menikmati Pulau Tabuhan. Saya khawatir, warga lokal justru tidak bisa berkunjung ke Pulau Tabuhan,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua Asosiasi Nelayan Banyuwangi sekaligus Ketua Kelompok Nelayan Samudra Bhakti, Bangsring Ikhwan Arief, mendukung adanya pengembangan wisata di Pulau Tabuhan dengan berbagai catatan. Kebijakan pengembangan Pulau Tabuhan saat ini kebijakan dari pemerintah, tidak datang dari kebutuhan masyarakat.
”Polemik Pulau Tabuhan ini muncul karena kebijakannya ini dari atas, bukan dari bawah, sehingga banyak pemahaman yang berbeda-beda. Terkait privatisasi, terkait pemanfaatan dan banyak hal lainnya, banyak pemahaman yang berbeda-beda,” tuturnya.
Mewakili para nelayan, Ikwan berharap ada perjanjian yang jelas bagaimana nelayan dilibatkan mengembangkan wisata di Pulau Tabuhan. Selain itu, pemerintah dan pengembangan juga harus memberikan jaminan bahwa nelayan masih bisa beraktivitas di sekitar Pulau Tabuhan.
Akses publik
Kekhawatiran warga dan nelayan Banyuwangi terkait akses publik dapat dimengerti. Pada tahun 2018, sejumlah anggota DPRD Sumatera Barat dan Mentawai dilarang bersandar di salah satu resor di Pulau Simakakang, Sipora, Kepulauan Mentawai. Resor tersebut belakangan diketahui dikelola warga negara asing.
Mereka khawatir hal serupa terjadi pada diri mereka. Terlebih mereka merupakan nelayan, bukan pejabat daerah, seperti anggota DPRD.
Bagaimanapun, akses publik harus diperhatikan dalam sebuah pengelolaan wilayah kepulauan yang memiliki batas sempadan pantai. Berdasarkan lampiran Permen PU Nomor 40 Tahun 2007 Poin 3.25, sempadan pantai adalah daratan sepanjang tepian yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai, minimal 100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat.
Sementara itu, dalam lampiran Permen PU No 06 Tahun 2007 Bagian III huruf B angka 3.e.iii.5 dijelaskan, pantai dan laut merupakan bagian dari bentang alam. Selanjutnya bentang alam adalah ruang yang karakter fisiknya terbuka dan terkait dengan area yang dipergunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan publik, dan pemanfaatannya sebagai bagian dari alam yang dilindungi.
Jika demikian, pengelolaan Pulau Tabuhan seharusnya menempatkan wilayah pesisir atau sempadan pantai sebagai akses publik. Tak sejengkal pun wilayah di sepanjang pesisir pulau tabuhan yang diprivatisasi.
Dosen Kebijakan Publik Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi Niko Pahlevi menilai pemanfaatan Pulau Tabuhan harus dimaksimalkan untuk warga Banyuwangi, masyarakat luas, bahkan harus dapat dimanfaatkan untuk binatang-binatang dan tumbuhan.
Menurut Niko, ketika Pemerintah Daerah Banyuwangi menyewakan Pulau Tabuhan, harus ada nilai tambah kebermanfaatannya untuk warga Banyuwangi, masyarakat luas, serta flora dan fauna. Jangan sampai hanya salah satu pihak yang diuntungkan.
”Jangan sampai ada yang tercederai. Salah satu yang paling dikhawatirkan adalah terpinggirkannya masyarakat lokal atau kelompok sadar wisata (pokdarwis) sehingga pokdarwis dirugikan karena perannya digantikan investor,” katanya.
Kekhawatiran lain yang mungkin muncul, kata Niko, ialah eksploitasi lingkungan yang mengganggu keseimbangan ekosistem. Pemerintah daerah harus mampu meyakinkan investor agar mampu meningkatkan kebermanfaatan semua pihak tanpa menyingkirkan satu pihak pun.
Hingga Senin (24/2/2020), dukungan dan penolakan terhadap rencana pengembangan Pulau Tabuhan terus terjadi. Terakhir, puluhan orang mendatangi Kantor Bupati dan menyerukan penolakan terhadap pengembangan Pulau Tabuhan tersebut.
Pada suatu kesempatan, Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas
menyampaikan, dirinya masih sangat mungkin membatalkan perjanjian
kerja sama antara Pemkab Banyuwangi dan EDB Paragon. Namun, ia tidak
ingin disalahkan apabila hal itu justru menjadi kerugian bagi masyarakat Banyuwangi.
Pengembangan pariwisata haruslah bermuara kepada kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lingkungan.
Anas mengikuti perkembangan pro kontra terkait pengembangan Tabuhan ini hingga akhir Februari. Jika sampai akhir Februari masih ada penolakan, ia akan membatalkan perjanjian kerja sama dengan Paragon.
”Tapi, jangan salahkan saya kalau daerah Wongsorejo tidak pernah berkembang. Dulu (di Wongsorejo) mau dibangun industri, mereka tolak. Sekarang mau didorong sektor wisata juga ditolak. Momentumnya saat ini, saat ada pengembang ingin membangun Tabuhan. Kalau mau ditolak, ya, terserah,” ujarnya saat berpidato pada peresmian listrik untuk TN Alas Purwo dan Dusun Sukamade, Rabu (19/2).
Pada akhirnya, pengembangan pariwisata haruslah bermuara kepada kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lingkungan. Jika memang pengembangan Pulau Tabuhan benar-benar dapat meningkatkan kesejahteraan warga, Pemerintah Kabupaten Banyuwangi sepatutnya berusaha keras meyakinkan warga.
Sayang jika sesuatu yang sebenarnya potensial akhirnya terhenti sebelum terealisasi karena lemahnya komunikasi atau sosialisasi.