Pemanfaatan Gas Rawa di Grobogan Jadi Percontohan Mandiri Energi
Sejumlah keluarga di Desa Rajek, Kecamatan Godong, Grobogan, Jawa Tengah, telah memanfaatkan gas rawa dari fosil hewan dan tumbuhan untuk keperluan rumah tangga. Hal ini jadi percontohan kemandirian energi.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
GROBOGAN, KOMPAS — Sejumlah keluarga di Desa Rajek, Kecamatan Godong, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, lebih dari dua tahun terakhir memanfaatkan gas rawa, yang terbentuk dari fosil hewan dan tumbuhan untuk keperluan rumah tangga. Daerah itu menjadi percontohan dan diharapkan terus berkembang.
Grobogan merupakan salah satu daerah di Jawa Tengah yang memiliki banyak kantong gas rawa. Fenomena gas rawa pun kerap terjadi saat warga mengebor tanah untuk pembuatan sumur, seperti yang terjadi di Desa Karanganyar, Kecamatan Purwodadi, Sabtu (29/2/2019). Saat itu, terjadi semburan air dan lumpur dengan gas.
Adapun pemanfaatan gas rawa untuk keperluan rumah tangga seperti memasak di Desa Rajek dimulai pada 2017. Mereka mendapat bantuan dari Pemprov Jateng terkait penelitian, tabung pemisah air dan gas, serta pemipaan. Kini, sudah ada lima titik sumber yang dimanfaatkan 39 keluarga.
Pengelola dari Kelompok Mandiri Gas Desa Rajek, Sarmadi, menjelaskan, sekitar tahun 2016, titik pertama ditemukan saat salah seorang warga membuat sumur. Ketika itu, gas hanya digunakan untuk keperluan pribadi. Setelah itu, pemanfaatan berkembang kepada warga lain seiring terpasangnya saluran pipa bantuan pemerintah.
Ia menjelaskan, saat ini, terdapat tiga instalasi pemisahan air dan gas. ”Di setiap tempat pemisahan ada dua tabung, yakni gas yang masih bercampur air dan gas murni. Dari tabung gas murni lalu disalurkan dengan paralon tiga perempat inci ke rumah-rumah warga. Aliran gas masih bagus sampai sekarang,” kata Sarmadi.
Ia menuturkan, kelembagaan yang mengurusi pelayanan gas rawa ke rumah-rumah masih dimatangkan, di bawah koordinasi pemerintah desa. Hal itu terutama terkait pengelolaan, permintaan, serta ketersediaan sambungan gas rawa.
Sutini (51), warga Desa Rajek, mengatakan, sudah dua tahun tak menggunakan elpiji. ”Awalnya memasak dengan tungku. Tapi sekarang, gas langsung ke kompor. Tak jauh berbeda dengan elpiji, hanya menyalakannya mesti dengan api sendiri,” katanya.
Tenaga ahli pada penelitian Dinas ESDM Jateng di Desa Rajek, yang juga dosen Jurusan Teknik Geologi dan Pertambangan Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya, Handoko Teguh Wibowo, menuturkan, Grobogan memiliki potensi gas rawa terbanyak di antara daerah lain di Jateng.
”Menurut saya, ini menjadi rezim baru. Selama ini, kan, perusahaan migas mengebor hingga kedalaman 1.000 meter lebih. Sementara gas rawa ini, sekitar 0-100 meter. Namun, ini justru bisa dimanfaatkan. Di Desa Rajek, akan dikembangkan hingga satu desa bisa menikmati. Ini jadi percontohan,” katanya.
Handoko, yang juga Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Jawa Timur, menambahkan, untuk pengembangan, yang perlu dilakukan adalah pemetaan potensi-potensi gas rawa. Selanjutnya, juga perlu disiapkan legalitas karena sumber daya ini merupakan potensi baru yang bisa dimanfaatkan masyarakat banyak.
Ia menjelaskan, gas rawa, yang berupa gas metan, dipastikan aman karena keberadaannya pada kedalaman tak lebih dari 100 meter. Berbeda dengan misalnya, gas yang didapat dengan mengebor sedalam 400 meter atau hingga ribuan meter. Namun, warga tetap harus hati-hati karena karakter gas langsung tersulut saat kena api.
Semburan berhenti
Pada Minggu sekitar pukul 02.00, semburan air di panti asuhan Yayasan Yatama, Desa Karanganyar, yang hingga Sabtu malam masih setinggi 6 meter, sudah berhenti. Sebelumnya, semburan air sempat bercampur lumpur hingga ketinggian 15 meter yang menyebabkan sawah jelang panen dengan radius 10 meter terdampak.
Dalam catatan Kompas, semburan gas pernah terjadi di kompleks Yayasan Yatama pada 2012. Saat itu, juga sedang ada pengeboran sumur air. Gas tersebut keluar saat bagian patahan tersentuh bor sumur pada kedalaman 32 meter. (Kompas, 26 Juli 2012).
Sekretaris Yayasan Yatama, Kahar, menuturkan, pengeboran pada Rabu-Jumat (26-28/2/2020) dilakukan oleh pelaksana dari pihak donatur yang membantu pembuatan sumur guna memenuhi kebutuhan air bersih. ”Sumur akan ditutup oleh pelaksana pada Senin. Penggantian kerusakan sawah juga oleh mereka,” ujarnya.
Kepala Desa Karanganyar Teguh Wijanarko mengungkapkan, selama ini, kebanyakan warga yang mengebor untuk mencari air tanah menggunakan alat bor manual, bukan mesin dengan kedalaman berkisar 14-18 meter. Diakuinya, warga umumnya mengebor tanah tanpa izin. Sumur biasanya dibuat warga yang tak terjangkau saluran PDAM.
Sementara itu, Kepala Dinas ESDM Jateng Sujarwanto menuturkan, kejadian serupa juga pernah terjadi di sekitar Kecamatan Wirosari dua bulan lalu. ”Masyarakat, perangkat desa dan camat sudah kami minta agar pengeboran air tanah didahului dengan izin ke PTSP (Pelayanan Terpadu Satu Pintu) Jateng yang kemudian akan direkomendasikan Dinas ESDM Jateng,” katanya.