Seekor gajah sumatera jantan ditemukan terkena jerat di dalam kawasan perkebunan sawit di Desa Rantau Panjang, Kecamatan Simpang Jernih, Kabupaten Aceh Timur.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
IDI RAYEUK, KOMPAS — Seekor gajah sumatera (Elephas maximus sumatrensis) jantan ditemukan terkena jerat di dalam kawasan perkebunan sawit di Desa Rantau Panjang, Kecamatan Simpang Jernih, Kabupaten Aceh Timur, Aceh. Perburuan masih menjadi ancaman besar terhadap keberlangsungan hidup satwa liar.
Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh Agus Arianto, Jumat (28/2/2020), menuturkan, gajah itu ditemukan oleh tim patroli BKSDA, Conservation Response Unit (CRU), dan Forum Konsevasi Leuser (FKL) pada Kamis (27/2/2020). Pada kaki kirinya terlilit seutas tali nilon yang menyebabkan luka.
Tim mengobati luka gajah itu kemudian dilepasliarkan ke alam.
Diperkirakan, usia gajah itu 6 tahun dengan berat 1 ton. Hewan dilindungi itu diduga terkena jerat yang dipasang oleh pemburu. ”Tim mengobati luka gajah itu kemudian dilepasliarkan ke alam,” kata Agus.
Hasil observasi tim medis, gajah itu masih mampu berjalan dan layak dilepasliarkan. Proses penyembuhan alami juga lebih cepat daripada dikarantina. Namun, tim patroli tetap memantau keadaan gajah itu.
Perburuan dan alih fungsi habitat menyebabkan kehidupan gajah semakin terancam. Deretan kematian satwa payung itu terus terjadi di Aceh. Sepanjang 2016 hingga 2020, sebanyak 38 ekor gajah di Aceh mati. Bahkan, beberapa di antaranya gajah jinak.
Jerat yang dipasang oleh pemburu di jalur jelajah satwa adalah ancaman serius terhadap kelestarian gajah. Gajah yang terkena jerat sebagian ditemukan mati menyisakan tulang belulang.
Koordinator Wildlife Protection Team-Forum Konservasi Leuser (WPT-FKL) Dediansyah mengatakan, Ranger Forum Konservasi Leuser kerap menemukan jerat satwa di dalam kawasan hutan. Pada 2018, FKL melakukan patroli selama 302 kali (satu kali patroli durasi 15 hari) dengan menurunkan 26 tim. Selama setahun, tim patroli telah menempuh perjalanan 18.800 kilometer.
Selama setahun, tim menemukan 613 kasus perburuan, sebanyak 843 jerat dan perangkap, dan 176 kamp pemburu. Saat melakukan patroli, tim juga menemukan 38 pemburu yang sedang memasang perangkap dan ditemukan 96 bangkai satwa yang diduga mati karena diburu.
Pada 2017, tim patroli FKL menemukan 729 kasus perburuan dan 814 jerat satwa. Kata Dediansyah, meski ada penurunan penemuan kasus, perburuan masih sangat marak. ”Kami berhadapan langsung dengan pemburu di lapangan, mereka sebagian besar dari Aceh, tetapi ada juga dari Sumatera Utara dan Sumatera Barat,” katanya.
Jerat dan perangkap sengaja dipasang oleh pemburu. Bentuk jerat dan perangkap beragam. Ada yang terbuat dari baja sling, papan yang dipasangi paku, atau jeruji besi yang dilas. Satwa lindung yang diburu, kata Dediansyah, di antaranya gajah, harimau, rusa, beruang, rangkong, dan orangutan.
Dediansyah mengatakan, perburuan marak karena penegakan hukum dan perlindungan satwa di dalam kawasan hutan masih lemah. Pemburu dengan mudah masuk ke dalam kawasan dan memburu satwa lindung.
”Permintaan terhadap organ satwa di pasar gelap tinggi sehingga perburuan juga marak. Tanpa penegakan hukum yang tegas, satwa-satwa lindung ini akan punah,” katanya.