Kemunculan antraks di Kabupaten Gunung Kidul, memupus asa peternak rakyat. Ternak yang menjadi harta dan tabungan tak berdaya didera antraks. Kalaupun hidup, harga jual ternak terpuruk dan mencari pembeli sangat sulit.
Oleh
Nino Citra Anugrahanto
·3 menit baca
Kesedihan masih tergurat di wajah Jumilah (47), warga Desa Bejiharjo, Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Masih lekat di ingatannya, sapi betina miliknya mendadak mati akibat antraks. Sapi yang pernah beranak hingga delapan kali itu sangat berjasa untuk menopang kebutuhan hidup sehari-hari dan biaya sekolah anak-anaknya.
”Dari anakan sapi itu saya dapat uang tambahan. Itu termasuk juga kebutuhan sekolah anak-anak saya yang terkadang mendadak,” kata Jumilah.
Anakan sapi biasa dijual setelah berusia 7-8 bulan. Harga normalnya Rp 7-8 juta per ekor. Setelah sapi betinanya mati, Jumilah langsung menjual seekor sapi jantan dewasa yang tersisa. Gara-gara isu antraks, sapi itu hanya laku Rp 15 juta. Padahal harga normalnya Rp 25 juta-Rp 30 juta.
”Sekarang, saya hanya berani memelihara kambing. Buat sapi belum berani. Ya, memang sudah tidak ada lagi kasus sapi mati mendadak di desa kami. Tapi, tetap saja, saya belum berani,” kata Jumilah. Isu antraks juga membuat harga ternak kambing anjlok. Sudarni (36), warga Desa Pucanganom, terpaksa menjual ternaknya untuk membayar utang ke warung.
Ada ramai-ramai soal antraks jadi semua ternak ikut anjlok harganya.
Empat ekor kambing, terdiri atas dua induk dan dua anakan, dijual dan hanya laku Rp 2,2 juta. ”Biasanya, empat ekor begini ya bisa dapat lebih dari Rp 3,5 juta. Ada ramai-ramai soal antraks jadi semua ternak ikut anjlok harganya,” kata Sudarni. Butuh waktu tiga hari untuk menjual kambingnya di pasar. Padahal, sebelum antraks menyerang, pedagang ternak hampir tiap hari datang untuk kulakan.
Sudarni berharap, pemerintah bisa menangani antraks dengan baik sehingga harga ternak bisa kembali merangkak naik. Kini, ia masih mempunyai seekor sapi dan dua ekor kambing. Namun, dua kambing itu akan dijual untuk biaya sekolah anak yang hendak masuk TK.
”Saya punya dua anak, yang kecil tahun depan masuk TK. Yang besar sudah kelas IV SD. Dulu, waktu si sulung masuk TK dan SD, saya menjual kambing untuk biayanya. Nantinya anak saya yang kedua juga begitu,” katanya.
Pukulan akibat wabah penyakit ternak juga dialami peternak babi di Bali. Wabah kian meluas, melanda sedikitnya tujuh daerah di Bali.
Hingga Senin (24/2/2020), Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Bali mencatat, 1.735 babi di mati akibat penyakit demam babi afrika (ASF). ”Kami juga meminta agar pemerintah mengontrol lalu lintas ternak agar ternak babi yang sakit tidak dijual ke tempat lain,” kata Ketua Gabungan Usaha Peternakan Babi Indonesia (GUPBI) Gupbi Bali Ketut Hari Suyasa.
Penanganan kasus kematian ternak akibat wabah penyakit sepatutnya menjadi perhatian serius dari pemerintah. Tidak hanya menyangkut ketahanan pangan terkait ternak, tetapi juga memengaruhi nasib ribuan peternak rakyat dan anggota keluarganya. (COK)