Kesetiaan Wayang Melintasi Zaman di Era Disrupsi
Wayang di Nusantara kini tengah melintas zaman. Warisan budaya bangsa ini belum menyerah membawa beragam pesan baik di era disrupsi yang semakin kencang.
Wayang di Nusantara kini tengah melintas zaman. Warisan budaya bangsa ini belum menyerah membawa beragam pesan baik di era disrupsi yang semakin kencang.
Jemari Meilia Afkarina Pitaningrum (23) bergerak lincah. Dalang wayang potehi ini terlatih menghidupkan tokoh yang ia bawakan siang itu dalam rangkaian kegiatan Road to Bandung Wayang Festival 2020 di Cihampelas Walk, Bandung, Sabtu (8/2/2020).
Bandung Wayang Festival merupakan salah satu kegiatan akbar yang akan digelar pertengahan tahun ini di Kota Bandung. Mendatangkan lebih dari 400 dalang, festival bertema wayang kali ini mengedepankan nilai-nilai keberagaman wayang. Di hadapan para pengunjung mal, tangan Meilia sigap mengganti dari satu tokoh ke tokoh dalam lakon Sie Jin Kwie, sebuah kisah kepahlawanan dari negeri China.
Sie Jin Kwie adalah tokoh ksatria. Dia sangat loyal terhadap Kerajaan Tong Tya. Konflik dimulai saat ia mendapat tugas berat dari Tio Su Kwie, salah satu pejabat kerajaan yang tidak menyukainya. Sie Jin Kwie ditugaskan masuk ke dalam lubang misterius. Di dalam lubang tersebut Sie Jin Kwie bertemu musuh bebuyutannya, naga kejam, yang terjebak di sana.
Pertarungan melawan naga itu terjadi. Sie Jin Kwie menang. Namun, dia tidak membunuh naga malang itu. Sie Jin Kwie justru membebaskan naga dari lubang. Hal itu didengar Hian Li Nio Nio, dewi yang kerap memberi pertolongan bagi pahlawan di medan peperangan. Dari sang dewi, Sie Jin Kwie mendapatkan lima pusaka yang digunakan untuk melawan musuh-musuhnya kelak.
Anak-anak belia yang jadi penontonnya dibuat bahagia. Setiap Sie Jin Kwie mengeluarkan kesaktiannya, para monster dan musuhnya lari terbirit-birit. Beberapa kali Meilia tampak melambungkan boneka monster saat sang tokoh utama mengeluarkan kesaktiannya. Meski dibawakan dengan kocak dari balik bilik mini yang jadi panggungnya, pesan yang disampaikan Meilia tak sederhana.
Ada nilai-nilai keberanian, kecerdikan, dan kesetiaan Sie Jin Kwie yang diutarakan kepada anak-anak dan pengunjung mal lain yang menonton pertunjukannya. ”Ceritanya unik. Sederhana tetapi memiliki makna yang tidak kecil. Wayang potehi mengedukasi nilai-nilai besar seperti kemurahan dan kejujuran dalam kehidupan sehari-hari,” tutur Meilia.
Meilia aktif dalam Komunitas Rumah Cinta Wayang (Cinwa) dan kerap menjadi dalang wayang potehi. Mahasiswi yang mengambil jurusan sastra Jawa di Universitas Indonesia ini mengenal wayang potehi sejak 2015. Saat itu, kampusnya dikunjungi tamu dari China. Tamu itu menunjukkan wayang potehi miliknya. Bentuknya kecil, tapi memiliki peran dan fungsi sama seperti banyak wayang yang ia kenal sebelumnya.
Hasratnya sebagai dalang membuncah. Lahir dari keluarga dalang, ia mengaku kesulitan memainkan wayang kulit yang biasa digunakan ayahnya. ”Bapak saya dalang wayang kulit. Sejak kelas IV SD saya sering ikut beliau dan ingin menjadi dalang. Namun, dengan badan sekecil ini saya tidak bisa mengendalikan wayang kulit yang besar, apalagi semalam suntuk. Jadi, saat melihat wayang potehi, saya langsung tertarik,” ujarnya.
Menurut Meilia, wayang potehi sangat relevan menyampaikan pesan sosial kepada setiap lapisan masyarakat. Meski tidak bisa dikatakan membeludak, masih banyak penonton yang menantikannya. Tak sepopuler wayang golek atau kulit, tetapi setiap melakukan pertunjukan wayang, banyak orang yang menghampiri dan memperhatikannya memainkan setiap boneka.
”Banyak penonton menghampiri saya dan bertanya belajar dari mana. Pernah juga seorang kakek menghampiri saya dan mengatakan terakhir melihat wayang potehi di kelenteng semasa kecil,” tuturnya. Misalnya, Abrisam (5) bersama ayahnya, Seno Isa (38), menghampiri Meilia seusai penampilan di Cihampelas Walk. Bersama ayahnya, Abrisam menyalami Meilia dan mengucapkan terima kasih.
Meilia menyambutnya dengan senyum lebar lalu mengajak foto bersama. ”Anak saya sangat menyukai wayang. Apalagi kalau ada ksatrianya. Semoga saja, nilai-nilai kebaikan dari wayang bisa menular ke pada Abrisam,” kata Seno. Bahkan, ketertarikan terlihat tidak hanya dari penonton, tetapi juga akademisi. Meilia memaparkan, Komunitas Cinwa yang dia ikuti kerap didatangi mahasiswa tingkat akhir untuk menjadikan wayang potehi sebagai tugas akhir sampai tesis.
”Anggota yang aktif dalam komunitas ini sudah lebih dari 30 orang. Kalau mahasiswa yang mengambil data terkait wayang bisa lebih dari itu. Mereka sangat tertarik,” papar Meilia.
Keragaman
Ketertarikan masyarakat, terutama kaum milenial, ini bukan tanpa alasan. Menurut Direktur Bandung Wayang Festival Hermawan Rianto, fenomena ini menunjukkan perubahan dalam siklus budaya populer di masyarakat. Wayang menjadi alternatif dalam hiburan masyarakat yang jenuh dengan budaya arus utama (mainstream).
”Jadi, ada siklus yang berputar. Dulu, generasi muda mencari hiburan yang identik dengan budaya barat. Kemudian, hal tersebut berubah dalam beberapa tahun terakhir. Namun, semua tidak bisa diberikan begitu saja. Tetap juga harus disesuaikan dengan kebutuhan mereka,” paparnya. Hermawan menuturkan, wayang berevolusi dengan caranya sendiri. Beberapa tradisi dalam wayang tetap dipertahankan.
Cerita epos Mahabharata ataupun Ramayana tetap menjadi menu utama. Namun, beberapa wayang memberikan variasi untuk menarik minat masyarakat, mulai dari durasi yang dipercepat hingga bentuk wayang yang unik. Variasi tersebut menjadi warna dalam Bandung Wayang Festival 2020. Perhelatan ini akan mendatangkan berbagai jenis wayang, terutama yang menggambarkan keanekaragaman.
Jenis tersebut di antaranya Wayang Wahyu yang menceritakan turunnya Yesus Kristus, hingga Wayang Menak yang menggambarkan budaya Islam pada masa para Sunan. ”Festival tahun ini memiliki kurasi yang mengedepankan keberagaman dalam wayang. Sekitar 400 dalang dari Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Selatan, dan beberapa daerah di Indonesia timur akan kami undang. Mereka akan membawakan wayang sesuai identitas budaya masing-masing,” paparnya.
Variasi dan perubahan ini bukan untuk menggerus tradisi yang lama. Hermawan berujar, variasi ini justru memberi warna dalam perkembangan budaya wayang Indonesia. ”Evolusi ini bukan terpaksa. Semua bentuk seni akan menyesuaikan diri dengan zamannya. Tinggal dipertahankan mana yang terbaik, mana yang tidak,” tuturnya.
Setelah Meilia menularkan energi milenialnya, giliran Muhammad Tavip (55) menawarkan keunikan wayang. Dia punya wayang yang diberi titel sesuai namanya, wayang tavip. Dikembangkan sejak 1993 untuk memenuhi tesisnya, Tavip menawarkan banyak rasa baru. ”Wayang tavip boga pakem sorangan (punya pakem sendiri). Kami tidak mengobok-obok tradisi lama yang memang sudah ada untuk mengedukasi dan kritik politik dari zaman dahulu.
Wayang ini mampu mengisi konteks yang sudah ada,” tuturnya. Bahan pembuatan wayang tavip berbeda. Dibuat dari plastik bekas, tokoh hingga latar panggung dibuat sedemikian rupa. Di tangannya, bahkan sampah diajak menjadi guru yang baik untuk manusia penikmat wayang. Dalam lokakarya wayang tavip yang dilakukan di hari yang sama, Tavip mengubah sampah plastik padat menjadi bentuk sederhana dari properti wayang.
Contohnya, dia membuat badan tokoh wayang dari potongan plastik keras bekas kemasan. Namun, untuk membuat tokoh secara utuh, dia mengaku butuh waktu beberapa hari sehingga tokoh tersebut layak dimainkan. Beberapa kali Tavip melakukan lokakarya untuk anak-anak belia.
Mereka cenderung menyukai hal-hal yang membangun kreativitas dan imajinasi mereka. Dari wayang yang dibuat anak-anak ini tidak jauh dari gambaran tokoh favoritnya sehari-hari. ”Kalau masalah karya, jangan lihat dari biaya, tetapi dari gagasan dan kreativitasnya. Buktinya, anak-anak juga senang belajar bersama,” tuturnya.
Dinamis
Meski berbahan sampah plastik, pertunjukan wayang tavip punya nilai mulia. Sabtu malam, Tavip naik panggung. Di sana, ada layar besar. Panjangnya lebih kurang 10 meter dengan tinggi 2 meter. Lakonnya Jakartarum dan Lima Bidadari. Kisahnya mirip cerita Jaka Tarub yang memperdaya tujuh bidadari yang turun ke bumi.
Akan tetapi, Tavip memodifikasi ceritanya. Nama tokoh menjadi Jakartarum gabungan dari nama ibu kota Jakarta dengan Sungai Citarum yang mengalir di Jawa Barat. Sungai terpanjang di Jawa Barat yang kini tercemar itu menjadi sumber vital air bersih dan pasokan listrik bagi Jakarta. Sementara bidadari berubah dari tujuh menjadi lima, melambangkan Pancasila.
Pesan-pesan yang terikat simbol tersebut dimainkan secara jenaka. Berlatar gedung bertingkat, lima bidadari turun ke Bumi, lalu mandi di telaga yang ternyata berubah menjadi kolam renang milik Jakartarum. Di sana, Jakartarum memperdaya lima bidadari dengan menyembunyikan kotak sakti milik mereka. Tanpa itu, para bidadari tidak bisa kembali ke Kahyangan.
Berjanji tidak akan membuka kotak tersebut, Jakartarum meminta para bidadari untuk memindahkan istananya. Namun, di perjalanan, dia tidak mengembalikan kotak tersebut. Akhirnya, salah satu bidadari meminta tolong kepada sahabatnya, Sangkuriang. Berkat keberanian Sangkuriang, kotak berhasil diambil. Ternyata, isi kotak yang diperebutkan itu adalah telepon seluler.
Tavip menuturkan, cerita tersebut memiliki pesan, kotak berisi ponsel itu adalah bentuk ketergantungan masyarakat terhadap gawai. Sama seperti bidadari, manusia tidak bisa apa-apa tanpanya. Sentuhan modern dengan teknik sinematografi semakin membuat penonton terpana. Dengan permainan lampu latar, dia menambah efek memperbesar dan memperkecil bayangan (zoom in-zoom out) untuk dramatisasi pertunjukan.
Latar gedung bertingkat, lingkar awan, dan pepohonan terlihat lebih hidup memberi warna pertunjukan kuat. Yadi (24), salah seorang pengunjung, tampak antusias menyaksikannya. Selama pertunjukan, Yadi hanya menatap ponselnya kurang dari 10 kali. Selebihnya, matanya fokus menonton lakon Jakartarum.
Sesekali Yadi tertawa bersama pengunjung lainnya saat setiap wayang melakukan gerakan ataupun dialog satir yang menyiratkan kondisi masyarakat saat ini. Tawa dan kagum bercampur dalam riuh tepuk tangan di akhir kisah. Mereka puas. ”Saya baru pertama kali melihat wayang tavip. Saya pikir semua cerita wayang itu sama, tetapi ini dikemas dengan cara baru. Penggunaan latar dan cahayanya tidak membosankan,” tuturnya antusias.
Contohnya, saat lima bidadari turun ke Bumi. Latar langit begitu dinamis dengan kumpulan awan yang bergerak, lalu di saat bidadari mendekati bumi, latar belakang berubah menjadi pegunungan dan berhenti di area perkotaan. Para penonton pun tergelak saat kelima bidadari diminta berhenti polisi saat di udara untuk menunjukkan surat izin terbang, selayaknya ada razia lalu lintas.
Dengan segala keunikan dan daya tahannya, wayang dan manusia yang terlibat di dalamnya belum menyerah pada perubahan zaman. Alih-alih terkubur dalam era kekinian, mereka memilih menunggangi zaman membimbing manusia setia pada jalan kebaikan semesta.