Lima Bulan Terakhir, Halaman Sekolah Dasar di Padang Pariaman Jadi Kebun Pisang
Halaman SDN 10 Patamuan, Nagari Tandikek Selatan, Kecamatan Patamuan, Padang Pariaman, Sumatera Barat, lima bulan terakhir berubah menjadi kebun pisang.
PADANG PARIAMAN, KOMPAS — Halaman SDN 10 Patamuan, Nagari Tandikek Selatan, Kecamatan Patamuan, Padang Pariaman, Sumatera Barat, lima bulan terakhir berubah menjadi kebun pisang. Siswa dan guru resah dengan kondisi sekolah yang tak lagi kondusif untuk belajar-mengajar.
Guru kelas VI SDN 10 Patamuan, Desmawati, di Padang Pariaman, Rabu (26/2/2020), mengatakan, protes ahli waris lahan itu berlangsung sejak Oktober 2019. Kondisi itu membuat siswa kehilangan ruang bermain dan mengganggu proses belajar-mengajar.
”Lima bulan terakhir, siswa tak dapat lagi bermain di halaman sekolah. Praktik olahraga, upacara bendera, senam, dan kegiatan ekstrakurikuler juga tak dapat dilaksanakan,” kata Desmawati.
Luas halaman yang disulap jadi kebun itu sekitar 150 meter persegi. Rabu siang, setidaknya 21 batang pisang, 8 kelapa, dan puluhan ketela pohon masih berdiri. Salah satu pohon pisang bahkan sudah berbuah dan siap panen.
Irma Suryani (42), salah satu keluarga ahli waris, mengatakan, pihaknya keberatan tidak dilibatkan dalam proses sertifikasi tanah sekolah. Padahal, urusan wakaf tanah sekolah itu, menurut keluarga ahli waris, belum tuntas.
”Tanpa ada musyawarah, duduk bersama dengan ninik mamak kami, mereka (petugas Kantor Pertanahan Padang Pariaman) main ukur-ukur saja untuk sertifikat. Mereka bilang tanah sekolah sudah diwakafkan nagari. Padahal, urusan wakaf dengan kami belum ada yang tuntas,” kata Irma.
Menurut Irma, sebelum SD Inpres itu dibangun tahun 1977, ada perjanjian antara Kodoh Datuak Tunaro, mamak (tetua) suku Piliang di nagari itu, dan pemerintah.
Lihat juga: Mengurangi Paparan Polusi Udara di SDN 07 Pagi Cilincing
Isi perjanjian itu antara lain mengangkat anggota keluarganya sebagai pegawai sekolah, memakamkam Datuak Tunaro di sekitar sekolah jika meninggal, dan membayar uang silih ganti (sejenis ganti rugi) terhadap puluhan pohon kelapa di lahan seluas 2.330 meter persegi itu.
Kata Irma, hanya poin pertama dan kedua yang terwujud, sedangkan yang ketiga dianggap belum tuntas. Di lahan yang didirikan sekolah, setidaknya ada 70-90 pohon kelapa yang terimbas. Satu batang kelapa setara satu emas (sekitar 2,5 gram emas). Pohon kelapa termasuk harta berharga pada zaman itu. Namun, dalam praktiknya, hanya sekitar tiga emas yang dibayarkan.
Ditambahkan Irma, selama berpuluh-puluh tahun keluarganya tidak pernah mempermasalahkan ganti rugi yang belum dibayarkan itu selagi tidak mengusik hak mereka. Namun, karena telanjur sakit hati dengan tindakan pengukur tanah, keluarganya sekarang menuntut ganti rugi agar permasalahan ini selesai.
Irma pun berharap agar pemerintah kabupaten segera membayarkan ganti rugi agar masalah ini tidak berlarut-larut. Namun, jika permintaan ahli waris tidak kunjung dituruti, Irma dan keluarga mengancam akan berbuat lebih besar.
”Kalau tidak kunjung selesai, akan kami tambah. Bangun kandang sapi, kandang ayam, kandang itik pun di situ,” ujarnya.
Kalau tidak kunjung selesai, akan kami tambah. Bangun kandang sapi, kandang ayam, kandang itik pun di situ.
Dampak
Menurut Desmawati, para guru kewalahan dengan kondisi sekolah saat ini. Kurangnya ruang di pekarangan sekolah membuat siswa bermain ke luar. Sementara itu, sekolah tidak dapat mengurung siswa di pekarangan.
Desmawati mengatakan, sejumlah siswa bermain ke sungai, sawah, kebun, surau tua, ataupun warung. Hal itu membuat guru kesulitan dalam mengontrol siswa. Sejumlah siswa juga dilaporkan merokok saat bermain di luar sekolah.
”Kenakalan siswa meningkat. Ada kasus siswa duduk di warung, lalu mencuri rokok hingga 20 bungkus. Mereka merokok di surau tinggal atau di tepi sungai. Pemilik warung melapor ke guru minta ganti rugi,” kata Desmawati.
Leni Marlinda, guru agama Islam SDN 10 Patamuan, mengatakan, beberapa orangtua juga khawatir dengan kondisi anak mereka sejak aksi protes itu. Sebagian kecil dari mereka memilih memindahkan anak ke sekolah lain karena kondisi SDN 10 Patamuan tak lagi kondusif.
”Sebelum ditanami pisang, jumlah siswa kami 161 orang. Sekarang tinggal 159 orang. Ada tiga orang siswa yang pindah sekolah,” kata Linda.
Para guru kesulitan dan menanamkan pendidikan karakter kepada siswa, seperti peduli lingkungan dan kebersihan. Desmawati bingung mengajarkan karakter itu karena halaman sekolah dipenuhi semak dan sampah dedaunan.
Bermain di luar sekolah, kata Desmawati, membuat sejumlah siswa juga kelelahan. Siswa sering menempuh perjalanan jauh saat bermain. Sehabis jam istirahat, siswa sering mengantuk dan tidak fokus belajar.
Frustrasi
Kondisi sekolah itu membuat para guru frustrasi. Apalagi, sejak 30 Januari 2020, kepala sekolah pindah tugas dan belum ada pengganti. Para guru seperti anak ayam kehilangan induk, tak punya tempat bertanya dan mengadu.
Para guru tidak tinggal diam. Beberapa hari setelah penanaman pisang, para guru yang resah memilih mogok kerja. Mereka berharap permasalahan tanah sekolah segera diselesaikan. Aksi itu, kata Desmawati, hanya berlangsung sehari karena guru kasihan dengan siswa.
Berbagai surat dan permohonan agar ada solusi dari pihak terkait juga telah dilayangkan. Kepala dinas pendidikan, anggota DPRD Komisi I, dan Kepala Satpol PP di Kabupaten Padang Pariaman juga pernah berkunjung ke sekolah. Dalam kesempatan itu, para guru meminta ”kebun pisang” tersebut disingkirkan.
”Sampai saat ini, kondisi sekolah masih seperti ini. Kami tidak tahu harus berbuat apa lagi,” ujar Desmawati.
Sampai saat ini, kondisi sekolah masih seperti ini. Kami tidak tahu harus berbuat apa lagi.
Sertifikasi ulang
Kepala Dinas Pendidikan Padang Pariaman Rahmang mengatakan, pemerintah kabupaten saat ini sedang mengurus penerbitan ulang sertifikat tanah sekolah. Dinas Lingkungan Hidup, Perumahan dan Kawasan Permukiman, dan Pertanahan Padang Pariaman sudah mengumumkan melalui media massa terkait sertifikat yang hilang.
”Sudah lima hari diumumkan. Butuh waktu sebulan setelah pengumuman agar Kantor Pertanahan Padang Pariaman bisa menerbitkan sertifikat baru,” kata Rahmang.
Menurut Rahmang, awalnya pemerintah kabupaten tidak tahu bahwa tanah sekolah telah disertifikasi. Oleh sebab itu, petugas mengukurnya. Namun, seiring berlangsungnya konflik dengan ahli waris, pemerintah kabupaten mengetahui bahwa tanah itu telah disertifikasi sejak tahun 1997 atas nama Pemerintah Daerah Tingkat I Provinsi Sumbar.
Rahmang mengatakan, informasi itu disampaikan oleh kepala sekolah terdahulu. Sayangnya, sertifikat itu tidak ditemukan. Maka, pemerintah kabupaten sedang mengupayakan untuk mengurus penerbitan sertifikat pengganti.
Dengan sertifikat itu, kata Rahmang, pemerintah kabupaten punya dasar yang kuat. Penegak hukum pun punya pegangan dalam melakukan eksekusi lahan.
Ditambahkan Rahmang, pemerintah kabupaten tidak mungkin memberikan ganti rugi. Dengan telah terbitnya sertifikat, berarti proses perpindahan kepemilikan tanah sudah tuntas.
”Kami sangat prihatin dengan situasi ini. Aktivitas siswa di luar kelas dan proses belajar-mengajar jadi terganggu. Kami terus mengupayakan agar ahli waris mau mencabut pohon yang mereka tanam agar siswa semakin lama terdampak,” ujar Rahmang.
Barozen, pelapor kehilangan sertifikat sekaligus pegawai bidang administrasi pertanahan Dinas Lingkungan Hidup, Perumahan dan Kawasan Permukiman, dan Pertanahan Padang Pariaman, mengatakan, tanah itu sudah dihibahkan oleh pemiliknya ke pemda sejak 1975 dan telah bersertifikat sejak 1997.
Menurut Barozen, permintaan ganti rugi oleh ahli waris sebanyak 70-90 batang kelapa tidak berdasar. Sebab, tidak ada dokumen yang menguatkan soal perjanjian ganti rugi itu.
”Masalah ganti ruginya dulu kami tidak tahu. Surat perjanjiannya juga tidak ada. Namun, tidak masuk akal juga ada pohon kelapa sebanyak itu di atas tanah seluas 2.330 meter persegi. Tidak mungkin dibayar karena dasarnya tidak ada,” ujar Barozen.
Baca juga: Atap SDN di Malang Lapuk, Keselamatan Siswa dan Guru Terancam