Pemerintah Kabupaten Gunung Kidul, melarang sapi dan kambing dikirim ke luar daerah untuk mencegah penyebaran penyakit antraks. Kesadaran peternak secara rutin memeriksakan kesehatan hewan kini makin penting.
Oleh
Nino Citra Anugrahanto / Zulkarnaini
·5 menit baca
GUNUNG KIDUL, KOMPAS — Pemerintah daerah bersikap tegas melarang pengiriman atau lalu lintas ternak antarwilayah sementara waktu untuk mencegah penyebaran bakteri antraks. Ternak dari Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, dilarang dibawa ke daerah lain untuk mencegah penyebaran antraks.
Surat keterangan kesehatan hewan (SKKH), dokumen syarat perjalanan hewan antardaerah, belum akan dikeluarkan Dinas Pertanian dan Pangan Gunung Kidul karena penanganan antraks masih berlangsung. Sejak Desember 2019 hingga Februari 2020, dilaporkan 128 ekor sapi dan 62 ekor kambing mati mendadak di Kabupaten Gunung Kidul, DIY. Sampai 6 Februari 2020, tiga ekor sapi dan tiga ekor kambing mati dinyatakan positif terjangkit bakteri antraks.
Dua lokasi pengawasan lalu lintas ternak Pemerintah Kabupaten Gunung Kidul berada di Desa Bedoyo, Kecamatan Ponjong, dan Desa Sambirejo, Kecamatan Ngawen. Desa Bedoyo berbatasan langsung dengan Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah, sedangkan Desa Sambirejo berbatasan langsung dengan Kabupaten Klaten, Jateng. Pengawasan dilakukan oleh petugas gabungan dari pemerintah dan kepolisian.
Kepala Bidang Peternakan Dinas Pertanian dan Pangan Gunung Kidul Suseno Budi, Kamis (20/2/2020), menyampaikan, pengawasan lalu lintas ternak dilakukan di perbatasan antara DIY dan Jawa Tengah. Fokus penanganan kasus antraks masih berpusat pada penyuntikan antibiotik dan vaksinasi.
Bentuk zonasi
Dinas Pertanian dan Pangan Gunung Kidul juga telah membentuk zonasi radius 5 kilometer (km) dari titik kemunculan bakteri antraks, yakni Desa Gombang (Kecamatan Ponjong) dan Desa Pucanganom (Kecamatan Rongkop), yang terpaut jarak 1 km saja. Seluruh ternak sapi dan kambing dalam radius 5 km dari kedua desa tersebut diberikan antibiotik dan vaksinasi setiap enam bulan sekali selama 10 tahun.
Kepala Seksi Kesehatan Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner Dinas Pertanian dan Pangan Gunung Kidul Retno Widyastuti menyampaikan, syarat ternak bisa dibawa keluar dari daerah adalah memiliki SKKH. ”Kami sudah mengikuti pedoman pengendalian, seperti mengisolasi sementara daerah titik kemunculan bakteri antraks. Jadi, ternak belum boleh keluar dari Gunung Kidul. Kami masih fokus melakukan vaksinasi,” ujar Retno.
Sebanyak 1.850 ekor sapi dan 4.095 ekor kambing sudah divaksin. Antibiotik pun sudah disuntikkan ke 3.693 ekor sapi dan 8.972 ekor kambing. Kematian ternak akibat antraks membuat Jumilah (47), warga Desa Bejiharjo, belum berani memelihara sapi lagi. Bahkan, Jumilah dan sebagian peternak rakyat lain memilih menjual sapi mereka dengan harga murah karena khawatir terhadap antraks.
Semula Jumilah punya sepasang sapi. Sapi betina, yang sudah delapan kali beranak, mendadak mati. ”Dari anakan sapi saya dapat uang tambahan. Itu termasuk juga kebutuhan sekolah anak-anak saya yang terkadang mendadak,” kata Jumilah. Anakan sapi, kata Jumilah, biasanya dijual setelah berusia 7-8 bulan dengan harga Rp 7 juta-Rp 8 juta per ekor.
Begitu sapi betinanya mati, Jumilah menjual sapi jantan. Harganya pun anjlok dari Rp Rp 25 juta-Rp 30 juta jadi Rp 15 juta-Rp 17 juta saja. ”Sekarang, saya hanya berani memelihara kambing. Sapi belum berani,” kata Jumilah. Suseno mengatakan, pihaknya sudah meningkatkan pembinaan kesehatan ternak kepada kelompok peternak. Pembinaan termasuk penyuluhan mengenai penyakit-penyakit zoonosis, termasuk antraks.
”Tapi, memang cakupannya belum merata. Tingkat kesadaran masyarakat masih rendah untuk melakukan vaksinasi secara mandiri,” kata Suseno. Selain itu, Suseno mengatakan, terdapat kegiatan berupa Tempat Pelayanan Kesehatan Hewan (TPKH) dan Pelayanan Terpadu Hewan (Yanduwan) yang digelar setiap tiga bulan sekali. Kegiatannya berupa pemeriksaan hingga sosialisasi terkait permasalahan kesehatan hewan. Ada pula pemberian vitamin. Program ini berlangsung sejak tahun 1990-an.
Kesadaran pencegahan
Berbagai sosialisasi kesehatan hewan untuk mencegah penularan penyakit ternak sangat penting dilakukan. Kesadaran ini pula yang membuat Pemerintah Kabupaten Aceh Besar mengoptimalkan peranan pusat kesehatan hewan di setiap kecamatan. Petugas dapat melakukan deteksi dini penyakit ternak. Praksis tersebut dapat mengantisipasi terjadinya penyebaran wabah penyakit pada ternak.
Kepala Bidang Peternakan Dinas Pertanian Aceh Besar Eva Fitriani, Kamis (20/2/2020), menuturkan, pada September 2019, belasan ekor sapi di Kecamatan Indrapuri diserang penyakit Septicaemia epizootica atau penyakit ngorok, empat ekor sapi di antaranya mati. Namun, kata Eva, gerak cepat paramedis dan dokter hewan pusat kesehatan hewan dapat mencegah penyebaran virus itu. ”Cepat diatasi, sebab kami punya petugas di setiap kecamatan dan desa,” kata Eva.
Penyakit ngorok menjadi momok bagi peternak rakyat karena ternak yang terjangkit akan mati mendadak. Aceh Besar memiliki 24 dokter hewan dan 67 paramedis hewan. Mereka disebarkan di 23 kecamatan. Selain itu, Pemkab Aceh Besar dibantu mahasiswa Fakultas Kesehatan Hewan Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Banda Aceh. Akan tetapi, pihaknya masih membutuhkan penambahan paramedis kesehatan.
”Bukan hanya menangani kasus, petugas kami juga memberi edukasi kepada peternak cara merawat ternak yang baik,” kata Eva. Kabupaten Aceh Besar memiliki populasi sapi tertinggi di Aceh, yakni mencapai 78.000 ekor. Kepemilikan sapi itu dicatat dengan rinci nama dan alamat pemilik. Populasi sapi 78.000 ekor tersebut dimiliki oleh 60 persen kepala keluarga. Artinya, sebagian warga Aceh Besar memiliki sapi.
Peternakan merupakan sektor unggulan bagi Pemkab Aceh Besar. Pada tahun 2019, pendapatan asli daerah (PAD) dari sektor peternakan mencapai Rp 275 juta dan tahun 2020 ditargetkan menjadi Rp 500 juta. Untuk menambah populasi, pada tahun 2020, Aceh Besar dibebankan akseptor inseminasi buatan (IB) untuk sapi sebanyak 12.700 ekor dan kawin alam sebanyak 1.000 ekor.
Rutin diperiksa
Ahmad Bakri (61), peternak sapi di Desa Miruek Taman, Kecamatan Krueng Baroena Jaya, Aceh Besar, mengatakan, dirinya selalu melapor kepada petugas di pusat kesehatan hewan saat sapinya menunjukkan gejala tidak sehat. Bakri memiliki lima ekor sapi yang dipelihara secara tradisional. Namun, sapi miliknya diperiksa rutin oleh petugas pusat kesehatan hewan. ”Sapi saya tidak pernah terkena penyakit ngorok,” kata Bakri.
Usaha peternakan rakyat sangat membutuhkan pendampingan berkesinambungan dari pemerintah daerah. Dekan Fakultas Kesehatan Hewan Unsyiah Muhammad Hambal menuturkan, warga masih menganggap peternakan usaha sampingan. Padahal, bisnis peternakan di Aceh memiliki peluang besar berkat budaya mengonsumsi daging pada momen-momen tertentu, seperti menjelang bulan puasa dan Lebaran.