Cukur Gundul Tersangka Susur Sungai di Sleman Keinginan Pribadi
Publik mengkritik penggundulan tersangka dari kasus susur Sungai Sempor di Sleman. Publik ingin profesi mereka tetap dihargai meski berstatus tersangka. Meski begitu, penggundulan diakui mereka atas keinginan sendiri.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·3 menit baca
SLEMAN, KOMPAS — IYA (36), R (58), dan DDS (58), tersangka tragedi susur Sungai Sempor di Kecamatan Turi, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, yang menewaskan 10 murid tampil dengan kepala gundul di hadapan media. Hal itu memantik kritik publik terutama karena mereka guru dan pembina pramuka. Meski begitu, penggundulan itu diakui mereka atas keinginan sendiri.
Kepala Biro Advokasi, Perlindungan Hukum, dan Penegakan Kode Etik Persatuan Guru Republik Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta (PGRI DIY) Andar Rujito, di Kepolisian Resor Sleman, Kabupaten Sleman, DIY, Rabu (26/2/2020) petang, mengatakan, pihaknya bersama Dinas Pendidikan Sleman mengecek kondisi ketiga tersangka di Polres Sleman. Mereka ingin meluruskan viralnya perbincangan di media sosial tentang penggundulan ketiga tersangka.
Andar menyatakan, awalnya, dirinya terkejut dan marah sewaktu mendengar informasi awal yang viral di media sosial. Informasi itu soal penggundulan yang diduga dilakukan secara paksa. Namun, ketiganya mengaku menginginkan sendiri penggundulan itu.
Hal tersebut diakui IYA, R, dan DDS. IYA menginginkan potongan gundul agar tampak sama seperti tahanan lainnya. Dengan potongan gundul, ia merasa lebih aman. Segala konsekuensi sudah siap diterimanya pascainsiden susur sungai yang terjadi akibat kelalaiannya bersama dua tersangka lain.
”Pada dasarnya, alasan kami demi keamanan. Kalau saya tidak gundul, banyak yang lihat saya bentuknya berbeda. Di dalam itu gundul semua. Jadi itu permintaan kami,” kata IYA kepada perwakilan Dinas Pendidikan Sleman dan PGRI DIY.
Ketua Lembaga Konsultasi Bantuan Hukum DIY Sukirno mengatakan, pihaknya sedang membentuk tim yang akan mendampingi ketiga tersangka hingga ke pengadilan. Koordinasi pembentukan tim tersebut telah dijalin. Selain itu, surat penangguhan penahanan juga tengah disusun. Harapannya, ketiga tersangka tidak perlu ditahan.
”Mudah-mudahan diizinkan untuk pengajuan penangguhan penahanan atas mereka (ketiga tersangka). Jadi teman-teman kami tidak harus di sini,” kata Sukirno.
Kepala Polres Sleman Ajun Komisaris Besar Rizky Ferdiansyah mengungkapkan, penyidikan dilakukan dengan sangat hati-hati. Ia menyadari, kasus itu menjadi perhatian nasional. Semua penyidikan ditempuh dengan prosedur yang sudah ditetapkan. Ia menjamin proses pemeriksaan dilakukan dengan manusiawi.
”Kami bisa seperti ini karena guru. Tidak mungkin kami memperlakukan guru tidak manusiawi. Kami tetap pada koridor dan aturan yang ada. Mudah-mudahan ini bisa clear,” ucap Rizky.
Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polda DIY telah diterjunkan guna mengecek apabila ada kesalahan prosedur pemeriksaan di Polres Sleman. Penyelidikan sedang berjalan. Hasil penyelidikan diharapkan dapat memperjelas persoalan prosedur pemeriksaan itu.
Sementara itu, Dekan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Sigit Riyanto menegaskan, pemeriksaan terhadap tersangka harus tetap mengedepankan kemanusiaan. Perlakuan yang merendahkan derajat kemanusiaan itu dilarang. Terlebih lagi, apabila proses hukum tersebut masih berjalan dan belum ada keputusan hukum tetap.
”Perlakuannya harus manusiawi. Harus menghormati martabat kemanusiaannya. Setiap orang, kan, tidak boleh diperlakukan sewenang-wenang,” kata Sigit.
Hal tersebut diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan, atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusawi, atau Merendahkan Martabat Manusia.