Sukses warga eks Timtim tergantung daya juangnya. Jika mau bekerja keras, akan ada jalan untuk hidup lebih baik. Meskipun demikian, kegagalan mayoritas warga eks Timtim lebih karena ketiadaan lahan pertanian.
Oleh
Kornelis Kewa Ama/ Frans Pati Herin
·3 menit baca
Kisah warga eks pengungsi Timor Timur tidak selamanya berkutat dalam belenggu kemiskinan. Asa akan hidup yang lebih baik, serta keinginan untuk ikut membangun negeri, turut menyalakan api semangat mereka untuk berjuang dan bangkit dari keterpurukan.
Pada Senin (17/2/2020) pagi, di depan rumah Luis Soares (64) di Atambua, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur, tiga laki-laki tampak sibuk memasukkan 12 koli barang kebutuhan rumah tangga ke dalam truk. Barang berupa perabot rumah tangga dan makanan siap saji, dengan berat total hampir 1 ton itu, siap diekspor ke Maliana dan Dili, dua kota di Timor Leste.
Tiga laki-laki itu anak dari Luis, warga eks pengungsi Timtim yang kini menjadi eksportir. Adapun Luis saat itu berada di Dili, Timor Leste, bernegosiasi bisnis dengan pengusaha setempat. Anak sulung Luis, Nino Marthin Soares (29), lantas membawa truk menuju Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Motaain, sekitar 35 kilometer dari rumah itu.
Kalau bapak tidak gigih merintis usaha ini, mungkin hidup kami melarat. Tidak bisa sekolah.
Di PLBN Motaain, barang-barang diperiksa dan Nino harus menyelesaikan kelengkapan administrasi di kantor Bea Cukai. Setelah melalui pemeriksaan, truk segera melenggang memasuki wilayah Timor Leste. Sekitar 2 jam perjalanan, truk tiba di Maliana, ibu kota Distrik Bobonaro. Di kota itu, mereka menurunkan sebagian barang di kios milik Luis. Sementara barang-barang lain langsung dibawa ke Dili, sekitar 4 jam dari Maliana.
Setiap bulan, minimal empat kali Luis dan anak-anaknya menjual barang-barang ke Timor Leste. Belasan tahun terakhir mereka menggeluti usaha itu. Pasca-penentuan pendapat tahun 1999 yang dimenangi kubu pro-kemerdekaan, Luis bersama keluarga meninggalkan tanah kelahiran mereka di Distrik Ermera. Awalnya, mereka bernasib sama seperti pengungsi lain yang menetap di kamp pengungsi Haliwen.
”Kalau bapak tidak gigih merintis usaha ini, mungkin hidup kami melarat. Tidak bisa sekolah,” ujar Minggu Soares (19), anak Luis yang keenam. Dari 10 anaknya, Luis bisa menyekolahkan tiga anaknya hingga perguruan tinggi di Malang, Jawa Timur.
Air minum kemasan
Kisah sukses warga eks pengungsi Timtim juga ditorehkan Antonio Soares lewat usaha air minum dalam kemasan ”Aquamor” di Baumata, Kabupaten Kupang. Usaha yang mulai berdiri tahun 2005 itu merupakan yang pertama di NTT. Dalam sehari, mereka memproduksi 2.000 galon dan 10.000 kardus air dalam kemasan gelas.
Perusahaan itu kini mempekerjakan 155 karyawan, termasuk 20 orang di antaranya warga eks pengungsi Timtim. ”Kami ingin tunjukkan bahwa kami juga berbuat dan membangun negara yang sama-sama kita cintai ini,” kata Antonio, anak mantan Gubernur Timtim Abilio Soares itu.
Di luar Luis Soares dan Antonio Soares, tidak sedikit warga eks pengungsi Timtim yang juga sukses dan mengabdi untuk negara. Ada yang menjadi pegawai negeri sipil, anggota DPRD, maupun kepala desa. Arthur Ximenes, Kepala Desa Manusak di Kecamatan Kupang Timur, Kabupaten Kupang, menjadi salah satu di antaranya.
Jika diberi peluang berupa lahan garapan, kondisi sosial yang kondusif, dan aspirasi yang tersalurkan, mereka dapat menggapai sukses itu.
Salah satu sosok warga eks pengungsi Timtim yang juga sukses meniti karier di pemerintah daerah adalah Kepala Satuan Polisi Pamong Praja Kota Kupang Felisberto Amaral. Meniti karier menjadi PNS sejak jenjang terendah, Amaral pernah juga menjabat Kepala Dinas Sosial Kota Kupang.
Bagi Amaral, sukses warga eks Timtim juga tergantung daya juangnya. Jika mau bekerja keras, ia meyakini, akan ada jalan untuk hidup lebih baik. Meskipun demikian, ia juga tidak memungkiri, kegagalan mayoritas warga eks Timtim lebih karena ketiadaan lahan pertanian.
Warga yang sebagian besar petani sulit keluar dari belenggu kemiskinan karena tidak memiliki lahan sendiri yang bisa diolah. Jika diberi lahan, mereka punya kesempatan untuk bangkit. ”Di mana-mana setiap orang punya keinginan dan semangat juang untuk maju dan sejahtera. Jika diberi peluang berupa lahan garapan, kondisi sosial yang kondusif, dan aspirasi yang tersalurkan, mereka dapat menggapai sukses itu,” kata Amaral.