Berbatasan dengan Timor Leste, Provinsi NTT memiliki beban ganda. Daerah ini bergulat dengan ketertinggalan dan di sisi lain kehadiran warga eks Timor Timur menambah tantangan sosial, ekonomi dan keamanan wilayah itu.
Oleh
Antonius Purwanto
·5 menit baca
Pasca-pengumuman penentuan pendapat tahun 1999, wilayah Indonesia di Pulau Timor menjadi tempat penampungan pengungsi asal Timor Timur (Timtim). Saat itu, terdapat 15 kamp penampungan pengungsi yang tersebar di 14 kabupaten kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Rentang dua dekade kemudian, ribuan warga eks Timtim masih bermukim di sejumlah wilayah di NTT, seperti di Kabupaten Belu dan Kabupaten Kupang.
Sebagian besar dari mereka hidup dalam keterbatasan dan ketidakpastian. Salah satu persoalan sosial yang tak pernah terselesaikan, bahkan hingga hari ini, adalah kepastian hukum atas lahan pemukiman kembali (resettlement) yang mereka tempati, serta ketersediaan lahan untuk bertani. Ketiadaan akses terhadap lahan berhubungan erat dengan kemiskinan serta ketimpangan sosial.
Hal itulah yang menyebabkan mereka tetap bergelut dalam kemiskinan dan tentunya menjadi beban sosio-ekonomi bagi NTT. Di sisi lain, NTT masih menanggung ketertinggalan di berbagai aspek pembangunan. Kendati angka kemiskinan cenderung turun dalam 20 tahun terakhir, tetapi jumlah penduduk miskin di NTT masih terhitung tinggi. Dari semua provinsi di Indonesia, NTT tercatat sebagai provinsi termiskin ketiga setelah Papua dan Papua Barat.
Ketiadaan akses terhadap lahan berhubungan erat dengan kemiskinan serta ketimpangan sosial.
BPS menyebutkan sekitar seperlima penduduk di NTT termasuk dalam kategori miskin. Jumlah penduduk miskin pada September 2019 tercatat 1.129.460 orang atau 20,62 persen dari total penduduk, sedangkan rata-rata tingkat kemiskinan nasional 9,22 persen. Indeks Kedalaman Kemiskinan untuk NTT ialah 4,15 persen yang menunjukkan 47.754 penduduk memiliki pengeluaran untuk kebutuhan jauh dari garis kemiskinan.
Gambaran kemiskinan daerah ini juga bisa dilihat dari aspek pendapatan rata-rata masyarakatnya yang pada tahun 2018 hanya sekitar Rp 12,2 juta per tahun. Hal itu berarti sangat jauh dari tingkat nasional yang mencapai Rp 56 juta per tahun. Mayoritas penduduknya bekerja tetapi pendapatan mereka kecil, antara Rp 300.000 hingga Rp 1 juta per bulan. Pekerja informal masih mendominasi status pekerjaan di NTT yakni 78 persen, sementara pekerja di sektor formal hanya 22 persen.
Pendidikan dan Kesehatan
Di tengah fakta kemiskinan itu, NTT kerap dililit persoalan mendasar dalam pembangunan daerah. Tingkat pendidikan masyarakat NTT terhitung rendah apabila dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia. Bahkan, NTT berada di peringkat tiga terendah dalam kualitas pendidikan setelah Papua dan Papua Barat.
Pada tahun 2018, mayoritas penduduk NTT usia 15 tahun ke atas atau 33,4 persen tidak mempunyai ijazah, baik karena tidak pernah mengenyam pendidikan sekolah dasar (SD) maupun tidak menyelesaikan pendidikan SD/sederajat. Angka putus sekolah pada semua jenjang pendidikan juga tercatat cukup tinggi dan sebagian besar berada di jenjang SMA/sederajat.
Tercatat lebih banyak anak laki-laki yang putus sekolah dibandingkan anak perempuan. Dari aspek kesehatan, NTT termasuk salah satu daerah yang memiliki angka penderita stunting atau tengkes terbesar di Indonesia. Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, NTT menempati posisi stunting tertinggi se-Indonesia yaitu sebesar 42,6 persen.
Kekeringan dan rawan pangan merupakan persoalan yang rutin dialami warga NTT.
Angka itu jauh lebih tinggi dibandingkan rata-rata nasional sebesar 30,8 persen. Sebanyak 269.658 balita dari 633.000 balita di NTT tercatat mengalami stunting (pendek) dan 12 persen atau 75.960 balita di antaranya mengalami wasting (kurus) Gambaran ketertinggalan NTT tampak pula dari minimnya fasilitas umum. Banyaknya pulau-pulau di NTT menjadikan akses antardaerah menjadi lebih sulit.
Tercatat ada 42 pulau berpenghuni dari 566 pulau di NTT. Berbagai fasilitas umum di sana sangat minim, khususnya fasilitas kesehatan. Fasilitas pendidikan pun belum memadai. Banyak sekolah memiliki bangunan tidak layak. Jumlah tenaga pengajar pun kurang. Sanitasi lingkungan masih menjadi masalah bagi warga NTT. Saat kemarau panjang, warga kesulitan mendapatkan air bersih. Kekeringan dan rawan pangan merupakan persoalan yang rutin dialami warga NTT.
Peluang
Sesungguhnya NTT memiliki sumber daya alam (SDA) yang cukup besar dan beragam, serta tak kalah jauh dari provinsi lain. Ada beberapa sektor unggulan yang potensial di daerah ini, yakni pariwisata, peternakan, pertanian, perikanan, dan pertambangan.
Akan tetapi, sampai saat ini potensi setiap sektor tersebut belum optimal memberikan nilai tambah untuk menyejahterakan masyarakat dan wilayah NTT. Kompleksitas serta kendala masalah geografi di NTT, dibarengi minimnya kemampuan pemanfaatan aneka potensi alamiah, menjadi problem besar wilayah itu. Akan tetapi, persoalannya memang tak semudah yang dibayangkan.
Dari 47.349,9 kilometer persegi luas wilayah NTT, hanya 1,43 persen di antaranya berupa sawah. Tata guna lahan terluas untuk semak dan alang-alang 36,9 persen, hutan belukar 20,69 persen, dan hutan lebat 10,63 persen. Peluang lain, potensi pengembangan usaha seluas 34,5 persen dari luas total wilayahnya untuk padang penggembalaan ternak.
Peternakan itulah yang saat ini menjadi andalan sumber ekonomi tradisional rumah tangga masyarakat NTT.
Provinsi ini pernah tercatat sebagai provinsi pemasok sapi potong dengan tingkat populasi ternak terbesar di Indonesia pada era 1990-an. Populasi sapi di NTT pada tahun 2018 mencapai satu juta ekor. Padahal, pada awal tahun 2008, sekitar 450.000 ekor, lalu awal 2013, ada 600.000 ekor. Peternakan itulah yang saat ini menjadi andalan sumber ekonomi tradisional rumah tangga masyarakat NTT. Sektor perkebunan NTT sesungguhnya juga menjanjikan.
Catatan statistik tahun 2018 menyebut NTT memiliki 37.424 hektar kopi, terutama di Kabupaten Manggarai dan Sumba Barat. Peluang lain adalah pengembangan wisata. Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Provinsi Nusa Tenggara Timur telah mengidentifikasi 1.181 obyek wisata yang tersebar di 22 kabupaten dan kota, baik berupa alam, budaya, maupun buatan.
Sedikitnya ada tujuh kawasan wisata baru yang mulai dikembangkan, antara lain Pantai Liman di Pulau Semau, Kabupaten Kupang, Perairan Mulut Seribu di Kabupaten Rote Ndao, wisata alam dan budaya Fatumnasi di Kabupaten Timor Tengah Selatan. Selain itu, ada Kampung Adat Praimadita di Kabupaten Sumba Timur, Pantai Moru di Kabupaten Alor, dan wisata alam di sekitar Taman Nasional Kelimutu di Kabupaten Ende, Pulau Flores.
Jalan keluar
Beragam potensi tersebut semestinya bisa dimanfaatkan dan didayagunakan untuk menyejahterakan masyarakat NTT dan keluar dari perangkap kemiskinan serta ketertinggalan. Pembangunan bisa difokuskan pada potensi-potensi yang ada di setiap wilayah di NTT.
Sebanyak 30 persen produk domestik regional bruto NTT berasal dari sektor perikanan dan pertanian. Dua sektor itu perlu ditingkatkan dan diprioritaskan sehingga menjadi kunci kesejahteraan warga lokal. Khusus untuk warga eks Timtim di NTT, pemerintah perlu lebih peduli dengan nasib mereka yang masih jauh dari kata sejahtera.
Caranya, membuka peluang dan kesempatan agar mereka secara bertahap mandiri secara ekonomi. Kepedulian pemerintah terhadap nasib ribuan warga eks Timtim diperlukan agar mereka tidak menjadi beban sejarah dan beban ganda bagi NTT. (Litbang Kompas)