Sentra peternakan babi di Desa Helvetia, berjarak kurang dari 10 menit dari kantor Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan Sumut. Enam bulan terpuruk karena demam babi Afrika dan belum ada solusi yang diberikan petugas.
Oleh
NIKSON SINAGA
·3 menit baca
Jumat (21/2/2020) siang, suasana di sentra peternakan babi di Desa Helvetia, Kecamatan Sunggal, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, sepi. Kandang-kandang babi di desa itu kosong. Ampas ubi dalam karung goni pakan campuran babi menumpuk tinggi hingga membusuk. Puluhan mobil pikap milik tauke diparkir di depan rumah. Warung pun tutup. Kondisi itu kontras dengan suasana desa sebelum wabah demam babi afrika (african swine fever/ASF) merebak sejak September 2019.
Perekonomian di desa perbatasan dengan Kota Medan itu digerakkan lebih dari 700 rumah tangga peternak babi. Kini, mereka terpuruk. Sebagian besar babi mati diserang virus ASF. Jurtini boru Siahaan (55) siang itu sibuk memasak pakan ternaknya yang tersisa. Pada September-Oktober 2019, 30 babinya mati terjangkit ASF. ”Seharusnya saya jual saat Natal dan Tahun Baru,” katanya.
Saya pikir wabahnya sudah reda. Kami harus beternak karena hanya ini jalan hidup kami.
Dengan harga daging Rp 30.000 per kilogram, ia mestinya bisa menjual ternaknya seberat 80-90 kg Rp 2,5 juta per ekor. Ia kehilangan potensi pendapatan Rp 75 juta. Ekonomi keluarga pun terpuruk. Beberapa minggu kosong, Jurtini kembali memasukkan 21 babi ke kandangnya pada Januari yang dibeli Rp 400.000 per ekor. Baru beberapa hari masuk kandang, lima di antaranya kembali terjangkit ASF dan mati.
”Saya pikir wabahnya sudah reda. Kami harus beternak karena hanya ini jalan hidup kami,” katanya. Kerugian akibat ASF juga dialami peternak lain, Nur Cahaya Siahaan (48). Ia menunggak uang sekolah anaknya beberapa bulan. Selain karena kematian babi, kerugian juga karena harga babi anjlok dari Rp 30.000 menjadi Rp 10.000 per kg. Sebagaimana peternak lain di Helvetia, Cahaya setiap hari mencari pakan ternak dari limbah makanan di restoran, rumah makan, hotel, dan perumahan.
Berangkat dari rumah pukul 17.00, ia baru pulang tengah malam. ”Semuanya sia-sia karena babi saya mati,” katanya. Para peternak di Helvetia sengaja mencari areal di dekat Kota Medan agar bisa mendapat limbah makanan. Mereka mencampurnya dengan ampas ubi. Di Medan, para peternak pencari limbah makanan itu biasa disebut parnasi babi atau pencari nasi babi.
Dibiarkan
Ketua Asosiasi Peternak Babi Sumatera Utara Hendri Duin Sembiring mengatakan, peran pemerintah menanggulangi wabah ASF tidak tampak. ”Peternak dibiarkan berjuang sendiri. Mereka sibuk rapat dengar pendapat,” ujarnya. Langkah peternak kembali memasukkan ternak babinya di tengah wabah yang belum pulih menunjukkan pemerintah tidak melakukan penyuluhan apa pun kepada peternak. Kandang seharusnya dikosongkan sampai wabah benar-benar pulih.
Peternak semakin terpukul karena wabah ASF disusul anjloknya harga babi. Hal itu karena konsumsi masyarakat menurun drastis sejak wabah ASF. Padahal, virus ASF tidak menular dari hewan ke manusia. Apalagi dimasak hingga lebih dari 70 derajat celsius. Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan Sumut Azhar Harahap mengatakan, penanggulangan ASF terkendala anggaran. Penanggulangan dilakukan dengan penutupan lalu lintas ternak babi dengan tidak mengeluarkan surat keterangan kesehatan hewan.
Azhar mengatakan, mereka tengah mengajukan anggaran ke Kementerian Pertanian agar bisa melakukan penanggulangan lebih maksimal. Kunjungan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo ke Sumut pada 20-21 Februari pun tidak membahas ASF. Jumlah kematian babi akibat ASF yang dilaporkan di Sumut mencapai 47.143 ekor di 22 kabupaten/kota. Namun, laju kematian ternak sudah menurun.
Secara nasional, ASF juga melanda ternak-ternak babi di sejumlah kabupaten di Bali hingga lebih dari 1.000 ternak mati. Seperti di Sumut, tidak ada langkah konkret dari pusat menangani ini. Di tengah ketidakjelasan penanganan, persoalan yang diduga sama juga melanda peternakan rakyat di Timor Tengah Utara, NTT, perbatasan dengan Timor Leste.