Atas Nama Pembangunan, Jejak Kejayaan Cirebon Itu Tertimbun
Petilasan perjuangan Sultan Matangaji melawan penjajah pada abad ke-18 di Kota Cirebon, Jawa Barat, rusak tertimbun tanah dan batang bambu. Belum ada tanda petilasan itu terselamatkan.
Petilasan penanda perjuangan Sultan Matangaji memerangi penjajah abad ke-18 di Kota Cirebon, Jawa Barat, kini rusak tertimbun tanah dan batang bambu. Situs kuno Keraton Kasepuhan itu diduga tergerus pembangunan perumahan.
Kurdi (61) menunjukkan bata merah berukuran sekitar 30 cm x 15 cm di ruang tamunya yang beralaskan tikar di Kampung Melangse, Kelurahan Karyamulya, Kecamatan Kesambi, Kamis (20/2/2020). Bata besar itu merupakan bagian dari petilasan Sultan Matangaji yang sempat ia selamatkan.
Tempat pertapaan dan dua sumur lainnya sudah tertimbun tanah dan ranting bambu. ”Petilasan ini rusak tiga minggu lalu terkena backhoe pembangunan perumahan. Saya enggak tahu siapa pengembangnya. Kami tidak pernah diajak bicara,” kata Kurdi yang 17 tahun terakhir mengurusi petilasan itu.
Bapak enam anak satu cucu ini merupakan generasi kedua penjaga petilasan setelah ayahnya, Bakri, berpulang. Konon, dari cerita orangtuanya, petilasan Melangse itu menjadi tempat persembunyian sekaligus pertapaan Sultan Matangaji, Sultan Sepuh V Keraton Kasepuhan.
Matangaji keluar sekitar 5,7 kilometer dari tembok keraton untuk mensyiarkan Islam sekaligus mengatur strategi melawan penjajah di kampung itu. ”Dulu, di sini hutan. Jadi, Belanda mengira enggak ada orang. Padahal, tempat ini dapur senjata. Pernah saya dapat peluru dan granat,” ungkapnya.
Kurdi menyesalkan penggusuran petilasan itu. Saking kepikirannya, kerusakan di petilasan merasuk ke dalam mimpinya. Alam pikirannya membawanya menyaksikan bola dunia (globe) berwarna hitam putih bocor.
”Lalu, Sultan Matangaji datang dan bilang ke saya, kamu enggak usah ikut campur. Ini urusan orang tua,” ujar Kurdi mengisahkan mimpinya sambil sesekali memegang pipi kirinya. Giginya sakit sejak semalam.
Baginya, mimpi itu menunjukkan lemahnya posisi hukum petilasan tersebut. Meskipun berusia sekitar 2 abad, petilasan itu belum terdaftar dalam cagar budaya Kota Cirebon. Lahan bakal perumahan, katanya, juga punya orang lain.
Di sisi lain, hanya warga kampung yang tahu keberadaan petilasan itu, sekitar 7 kilometer dari Balai Kota Cirebon. Warga yang masih dalam satu kelurahan tidak semuanya paham. Lokasinya memang berada di pinggir sungai yang dikenal warga sebagai urat gangga nadi. Di atas sungai terdapat lahan berupa tanah miring.
”Pekerja yang menguruk tanah dan merusak petilasan kabarnya sakit. Ada enam orang,” ujar Kurdi yang mengaku sempat melayani pasien terkena santet pada masa Orde Baru. Namun, bukan hanya hal mistik yang dikhawatirkan pria tidak tamat sekolah dasar ini.
Banjir melanda
Setelah kebun bambu dibabat, longsoran tanah turun ke sungai. Tidak ada tanggul yang menghambat laju penurunan tanah. Sungai selebar 4 meter itu pun dangkal. Sampah rumah tangga juga bertebaran. ”Waktu hujan deras beberapa minggu lalu, di sini banjir sampai segini (sekitar 1 meter),” katanya sambil memegang pinggang.
Tidak ada korban jiwa dalam banjir yang menurut Kurdi terparah selama ini. Meskipun airnya surut sekitar 30 menit, banjir masih mengintai puluhan rumah di daerah itu. Apalagi, kampung itu berada paling selatan, di bagian bawah. Jalan menuju kampung sudah beraspal dengan trek menanjak dan menurun.
Udara sejuk di kampung itu berangsur luruh. Dengan luas 2,5 kilometer persegi, Karyamulya memang menjadi tujuan pengembang. Apalagi, sederet kampus dan pondok pesantren berdiri di sana.
Tidak mengherankan, laju pertumbuhan penduduk melonjak dari 16.896 orang di tahun 2000 menjadi 26.339 orang pada 2018. Angka ini tertinggi dibandingkan empat kelurahan lainnya. Otomatis, permintaan tempat tinggal pun meningkat.
Saya minta dinas terkait (Kepemudaan, Olahraga, Kebudayaan dan Pariwisata) segera meninjau situs untuk menginventarisasi apa yang perlu diselamatkan.
Ironisnya, kiprah Sultan Matangaji yang ditandai dengan petilasan malah tergusur. Sultan Sepuh XIV Keraton Kasepuhan Pangeran Raja Adipati (PRA) Arief Natadiningrat menyesalkan peristiwa itu. Padahal, tanpa Sultan Matangaji, bukan tidak mungkin, warga Cirebon bahkan Indonesia sulit menikmati kemerdekaan.
”Beliau dulu dipanggil sultan ’gila’ oleh Belanda karena memberontak dan melawan penjajah. Beliau juga sulit dilacak karena membuat jalur persembunyiannya terhubung dengan Goa Sunyaragi (sekitar 2,7 kilometer dari petilasan),” ujar Arief. Goa Sunyaragi berupa batu karang itu kini kerap dikunjungi ratusan ribu wisatawan setiap tahun.
Sebenarnya, kata Arief, tanah Keraton Kasepuhan mencapai 337 hektar di kawasan Sunyaragi, termasuk petilasan Sultan Matangaji. Namun, peta itu tentu saja berbeda dengan milik Badan Pertanahan Nasional Kota Cirebon.
”Kami tidak menolak pembangunan. Tetapi, situs bersejarah jangan dihilangkan karena ini data primer. Kalau rusak atau hilang, nanti generasi selanjutnya akan meragukannya,” paparnya. Oleh karena itu, pihaknya mengirim surat kepada Wali Kota Cirebon agar merawat petilasan Sultan Matangaji.
Apalagi, kasus tersebut bukan kali ini saja terjadi. Situs Batu Lingga Watu Celek di Jalan Siliwangi, Kota Cirebon, misalnya, sempat dirusak dengan gergaji. Begitupun situs di Depok dan Megu, Kabupaten Cirebon.
”Kami punya lebih kurang 200 juru kunci situs di Cirebon, Indramayu, Majalengka, Kuningan, hingga Brebes (Jawa Tengah). Ini harus dijaga,” ujarnya.
Arief paham, ada sejumlah pihak yang tidak senang dengan keberadaan cagar budaya atau situs. Alasannya, situs tersebut bisa dijadikan tempat meminta nomor undian hingga jabatan. ”Sayangnya, situs yang merupakan benda mati ini kerap disalahkan. Padahal, yang salah oknum yang meminta-minta,” ungkapnya.
Wali Kota Cirebon Nasrudin Azis belum bisa berkomentar banyak. Katanya, kerusakan Situs Matangaji karena kecelakaan. ”Saya minta dinas terkait (Kepemudaan, Olahraga, Kebudayaan dan Pariwisata) segera meninjau situs untuk menginventarisasi apa yang perlu diselamatkan. Termasuk memastikan apakah itu cagar budaya atau bukan,” ujarnya.
Kepala Seksi Pemanfaatan Ruang di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Yusuf Wirahadi mengatakan, lokasi pembangunan perumahan sudah sesuai tata ruang. ”Namun, perumahan ini belum memiliki izin mendirikan bangunan. Kami berharap masyarakat juga turut mengawasi. Petugas kami terbatas,” ujarnya.
Saat ini, pihaknya telah menghentikan pembangunan perumahan komersial itu. Dengan luas lebih dari 12.000 meter persegi, perumahan itu direncanakan berisi 40 rumah dengan tipe 45 hingga 80. Saat ini, jalan dan lampu jalan telah terpasang.
Rusdi dari Humas PT Dua Mata Sejahtera, pengembang yang membangun perumahan di sekitar situs, menampik pihaknya merusak petilasan Sultan Matangaji. ”Itu tanah warga setempat. Bukan tanah kami. Rencananya, tanah itu mau kami beli untuk pengembangan perumahan,” ungkapnya.
Pihaknya mengakui belum memiliki izin mendirikan bangunan. ”Ada perubahan aturan tata ruang, jadi IMB belum keluar. Padahal, kami sudah mengurus sejak Juli tahun lalu. Kami taat terhadap hukum,” lanjutnya.
Mustaqim Asteja, pemerhati sejarah Cirebon, mengatakan, banyak situs belum terdaftar sebagai cagar budaya. Sayangnya, dari 51 bangunan cagar budaya yang ditetapkan Pemkot Cirebon pada 2011, sekitar 40 persen berubah bentuk dan tidak sesuai peruntukannya.
Padahal, Pemkot Cirebon berjanji mengandalkan sejarah dan budaya setempat untuk menarik wisatawan. Kalau sudah begini, siapa yang harus bertanggung jawab. Sampai kapan kita selalu tak peduli terhadap jejak jaya bangsa pada masa lampau.