Balai Veteriner Medan telah melakukan uji laboratorium terhadap sampel ternak babi yang mati di Nusa Tenggara Timur. Hasilnya pun telah dikirim ke Kementerian Pertanian dan Pemerintah Provinsi NTT.
Oleh
NIKSON SINAGA
·3 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Balai Veteriner Medan telah melakukan uji laboratorium terhadap sampel ternak babi yang mati di Nusa Tenggara Timur. Hasilnya pun telah dikirim ke Kementerian Pertanian dan Pemerintah Provinsi NTT. Hasil itu akan dianalisis lebih lanjut untuk melihat penyebab kematian babi apakah karena demam babi afrika (African swine feber/ASF) atau tidak.
”Kami telah melakukan uji laboratorium terhadap beberapa sampel babi yang mati yang dikirim dari NTT pekan lalu. Analisis lebih lanjut masih harus dilakukan untuk memastikan penyebab kematian babi,” kata Kepala Balai Veteriner Medan Agustia, Jumat (21/2/2020).
Namun, hasil uji laboratorium tidak bisa serta-merta menyimpulkan penyebab kematian apakah karena ASF atau tidak.
Agustia mengatakan, mereka melakukan uji polymerase chain reaction (PCR) terhadap beberapa sampel yang diambil dari babi yang mati di NTT. Namun, hasil uji laboratorium tidak bisa serta-merta menyimpulkan penyebab kematian apakah karena ASF atau tidak. Gejala klinis ternak babi yang mati di NTT masih harus dilihat di lapangan dan dibandingkan dengan kematian babi di Sumut yang sudah dinyatakan positif akibat ASF.
ASF pertama kali masuk ke Indonesia melalui Sumut pada September 2019. Kementerian Pertanian pun telah mendeklarasikan wabah ASF di 16 kabupaten/kota pada 12 Desember 2019. Wabah masih terus menyebar dan kini sudah menjangkit di 22 kabupaten/kota di Sumut.
Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara Azhar Harahap mengatakan, kematian babi masih terus terjadi selama enam bulan belakangan. ”Wabah terutama menjangkiti peternakan rakyat karena biosekuritinya yang tidak baik. Perusahaan besar yang menerapkan biosekuriti ketat masih aman dari ASF,” katanya.
Azhar mengatakan, jumlah kematian babi yang dilaporkan di Sumut kini sudah mencapai 47.143 ekor. ”Kematian babi pun masih terus terjadi, tetapi laju kematiannya sudah mulai menurun,” ujar Azhar.
Azhar mengatakan, penanggulangan ASF mereka lakukan dengan meningkatkan biosekuriti di daerah yang sudah terserang wabah ataupun yang belum. Lalu lintas ternak babi ditutup dengan cara tidak mengeluarkan surat keterangan kesehatan hewan.
Surat keterangan kesehatan hewan dibutuhkan untuk pengiriman ternak antardaerah. Namun, penjagaan di lapangan belum bisa dilakukan secara maksimal karena kekurangan anggaran.
Soean Siagian (65), peternak di Desa Helvetia, Kecamatan Sunggal, Kabupaten Deli Serdang, mengatakan, selama enam bulan diserang ASF, usaha peternakan mereka terpuruk. Ia pun kehilangan lebih dari 20 ternak babinya pada September–Oktober. ”Saat ini saya sudah mulai lagi memelihara ternak babi yang baru,” ujarnya.
Soean mengatakan, peternakan babi merupakan sumber ekonomi utama keluarga mereka. Karena itu, mereka tidak bisa berhenti beternak. Hingga kini, mereka juga belum mendapatkan penjelasan apa pun tentang wabah yang menyerang ternak mereka.
Di Desa Helvetia, hampir semua ternak babi yang dipelihara oleh sekitar 700 keluarga terserang ASF. Sebagian besar peternak di desa itu pun terpuruk. Harga babi kini hanya sekitar Rp 15.000 per kilogram, anjlok dari harga sebelum diserang ASF yang mencapai Rp 30.000 per kilogram.