Hutan kemasyarakatan bisa menjadi salah satu solusi perlindungan hutan di Lampung.
Oleh
VINA OKTAVIA
·3 menit baca
TANGGAMUS, KOMPAS — Petani di Lampung berhasil merehabilitasi lahan kritis dengan mengelola hutan sosial. Pengelolaan dan pemanfaatan kawasan hutan secara tepat mampu pula meningkatkan kesejahteraan petani hutan.
Ketua Gabungan Kelompok Tani Mandiri Lestari, KPH Batu Tegi Kabupaten Tanggamus, Lampung, Eko P Juliana mengatakan, sebelum tahun 2009, para petani di daerahnya dianggap perambah karena tidak mempunyai izin pemanfaatan kawasan hutan dari pemerintah. Mereka juga kerap ketakutan saat mendengar informasi bahwa petugas kehutanan akan masuk ke dalam hutan untuk mengawasi.
Untuk itu, Eko bersama para petani lainnya membentuk kelompok dan mengurus izin pemanfaatan hutan kemasyarakatan. Setelah resmi mendapatkan izin, Eko dan rekan-rekannya melepas sebutan perambah menjadi pengelola hutan. Gapoktan Mandiri Lestari mengelola 1.400 hektar hutan yang masuk dalam Kesatuan Pengeloaan Hutan Lindung Batu Tegi, Tanggamus.
Saat ini, petani hutan didampingi pengelola KPH Batu Tegi dan International Animal Rescue (IAR) Indonesia menginisiasi pembentukan demplot agroforestry seluas 10 hektar yang dikelola Kelompok Tani Hutan Talang Sari. ”Demplot ini adalah lahan kritis bekas perambahan yang kini dikelola petani hutan,” ujar Eko, Kamis (20/2/2020).
Menurut dia, kawasan itu rawan perambahan karena berada di dekat Blok Lindung KPH Batu Tegi. Dengan pembentukan demplot, petani juga diharapkan dapat berperan dalam mengamankan hutan dari perambah, pembalak liar, dan pemburu satwa.
Saat peresmian demplot pada Rabu (19/2/2020), para petani berkumpul di dekat lokasi untuk menanam bibit jengkol dan petai yang telah disemai. Selain itu, pemerintah juga memberikan bantuan bibit tanaman buah lainnya, seperti avokad dan macadamia.
Ketua KTH Talang Sari Hermansyah mengatakan, sejak mengelola kawasan itu, petani telah menanam berbagai jenis tanaman kayu, seperti avokad, aren, pala, kopi, dan cengkeh. Setiap 1 hektar lahan yang dikelola, petani wajib menanam 400 pohon. Untuk kebutuhan hidup setiap bulan, petani masih diperbolehkan menanam sayur, cabai, jahe, atau lengkuas yang bisa dipanen lebih cepat. Dia berharap mendapatkan penghasilan yang lebih besar.
Kepala KPH Batu Tegi Yayan Ruchyansyah mengatakan, konsep agroforestry diyakini mampu meningkatkan pendapatan petani karena mereka tidak hanya mengandalkan satu jenis tanaman. Setelah lima tahun, petani bisa menikmati hasil panen petai, jengkol, dan avokad. Saat ada tanaman gagal panen, kerugian petani juga tidak terlalu besar karena masih ada tanaman lain yang bisa dipanen.
Kepala Bidang Rehabilitasi Hutan Lahan dan Pengeloaan Daerah Aliran Sungai Dinas Kehutanan Provinsi Lampung M Dwi Wicaksono mengatakan, selain peningkatan penghasilan, petani juga mendapatkan manfaat lain dari pengelolaan hutan secara tepat. Setelah petani menanam banyak pohon, sumber mata air di pegunungan mengeluarkan air yang jernih. Air tersebut dimanfaatkan warga untuk minum, mandi, dan mengairi kebun.
Perhutanan sosial dinilai merupakan skema pengelolaan hutan yang paling tepat bagi masyarakat yang bermukim di kawasan hutan. Pasalnya, saat ini luas kawasan hutan di Lampung hanya tersisa 1.004.735 hektar atau hanya 28,45 persen. Dengan cara itu, masyarakat mendapatkan manfaat dari hutan tanpa harus merusak hutan.
Kepala Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung Provinsi Lampung Idi Bantara mengatakan, saat ini masih ada sekitar 30.000 hektar DAS di kawasan hulu yang perlu direhabilitasi. Dia mengapresiasi langkah yang dilakukan petani hutan karena membantu pemerintah merehabilitasi lahan.