Siap Diresmikan Maret, Kapasitas PLTSa Benowo Jadi 11 Megawatt
Kapasitas pembangkit listrik tenaga sampah di Tempat Pembuangan Akhir Benowo, Surabaya, akan meningkat dari 2 megawatt menjadi 11 megawatt. PLTSa ini akan mengolah sampah hingga 1.000 ton per hari.
Oleh
IQBAL BASYARI
·3 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Kapasitas pembangkit listrik tenaga sampah di Tempat Pembuangan Akhir Benowo, Surabaya, akan meningkat dari 2 megawatt menjadi 11 megawatt. Pembangkit listrik dari energi baru terbarukan itu mampu mengolah sampah hingga 1.000 ton per hari atau 75 persen sampah di TPA Benowo.
Kepala Bidang Sarana dan Prasarana Dinas Kebersihan dan Ruang Terbuka Hijau Surabaya Arif Sugiarto di Surabaya, Jawa Timur, Rabu (19/2/2020), mengatakan, Surabaya sudah mulai mengolah sampah menjadi listrik sejak 2015. Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) yang menggunakan metode sanitary landfill itu mampu memproduksi listrik 2 megawatt (MW).
”Sebanyak 1,65 MW di antaranya dibeli PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) dan sisanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan listrik di TPA (Tempat Pembuangan Akhir) Benowo,” katanya.
Arif mengatakan, mulai Maret 2020, kapasitas di PLTSa Benowo akan meningkat dari 2 MW menjadi 11 MW. Pembangunan fasilitas PLTSa dengan kapasitas 9 MW yang menggunakan metode gasifikasi ini segera rampung dan bisa dioperasikan.
Sebanyak 1,65 MW di antaranya dibeli PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) dan sisanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan listrik di TPA Benowo. (Arif Sugiarto)
Seperti pemanfaatan listrik pada PLTSa tahap pertama, listrik yang dihasilkan pada pembangunan PLTSa tahap kedua ini juga akan dibeli PT PLN. Perusahaan BUMN itu akan memanfaatkan listrik sebanyak 8,31 MW dan sisanya digunakan untuk sumber energi di kawasan tersebut.
”Jika pengolahan listrik sudah mencapai 11 MW, sampah di TPA Benowo yang bisa diolah mencapai sekitar 1.000 ton per hari atau sekitar 75 persen dari timbunan sampah di TPA ini,” ujar Arif.
TPA Benowo seluas 37,4 hektar setiap hari menerima sekitar 1.300 ton hingga 1.500 ton sampah yang dihasilkan sekitar 3,3 juta warganya. Sampah yang dikirim ke TPA tersebut merupakan timbunan sampah yang tidak bisa dikelola oleh warga dan pusat daur ulang setelah melalui tahap pemilahan di tingkat rumah tangga dan bank sampah.
Dalam pengolahan sampah menjadi listrik di Surabaya, ada dua metode yang digunakan. Pertama sanitary landfill untuk PLTSa yang berkapasitas 2 MW. Untuk menghasilkan listrik, sampah ditutup dengan membran hingga mengeluarkan gas metana atau CH4 yang digunakan untuk menggerakkan mesin pembangkit listrik. Saat ini ada sekitar 90 titik pembusukan sampah di TPA Benowo.
Kemudian di PLTSa berkapasitas 9 MW menggunakan metode gasifikasi. Metode itu dilakukan dengan membakar sampah yang menghasilkan gas. Gas itu digunakan untuk menggerakkan mesin pembangkit listrik. Metode gasifikasi ini dinilai lebih efektif mengolah sampah karena limbah sisa pembakaran bisa digunakan untuk pembuatan bata ringan.
Pemasukan
Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini menambahkan, pengolahan sampah menjadi listrik di TPA Benowo dilakukan swasta, yakni PT Sumber Organik. Kerja sama kedua belah pihak berupa Build Operate Transfer (BOT) selama 20 tahun. Setiap tahun, Pemkot Surabaya mendapatkan pemasukan Rp 3 miliar dari sewa tanah untuk PLTSa.
”Pengolahan sampah menjadi listrik sejalan dengan Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan,” ujarnya.
Risma menambahkan, pengolahan sampah menjadi listrik tidak hanya dilakukan di TPA Benowo. Di Surabaya, ada beberapa taman dan pusat daur ulang sampah yang mengolah sampah menjadi listrik sebagai sumber energi untuk kawasan tersebut.
Saat ini, setidaknya ada empat lokasi PLTSa lain yang berada di Taman Flora, Kebun Bibit Wonorejo Pusat Daur Ulang Sampah Jambangan serta di Osowilangun. Listrik diolah dari sampan menggunakan metode gasifikasi dan dimanfaatkan untuk menggerakkan alat-alat pengolah sampah serta lampu di kawasan tersebut sehingga bisa menghemat biaya operasional.