Dana Desa di Aceh Mayoritas untuk Biayai Infrastruktur
Kini saatnya pengelolaan dana desa porsinya lebih besar untuk pemberdayaan warga dan badan usaha milik desa. Dengan demikian, dana desa akan efektif meningkatkan kesejahteraan.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Dana desa yang dikucurkan lima tahun terakhir di Aceh mayoritas masih untuk pembangunan infrastruktur. Kini saatnya dana desa dipakai untuk pemberdayaan warga dan badan usaha milik desa. Dengan demikian, dana desa akan efektif meningkatkan kesejahteraan dan mengurangi kemiskinan.
Direktur Pemberdayaan Masyarakat Desa Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Moch Fachri seusai rapat kerja pengelolaan dana di desa, di Banda Aceh, Selasa (18/2/2020), menuturkan, dana desa sangat efektif untuk menurunkan angka kemiskinan di pedesaan. Oleh sebab itu, dana desa kini didorong untuk kegiatan yang produktif.
Rapat kerja tersebut dihadiri sekitar 1.500 kepala desa di Aceh, camat, dan kepala dinas pemberdayaan masyarakat di 23 kabupaten/kota di Aceh.
Sejak 2015 hingga 2020 total alokasi dana desa untuk 6.497 desa di Provinsi Aceh sebesar Rp 24,9 triliun. Di samping dana desa, Aceh juga mendapatkan dana otonomi khusus pada 2015-2020 sebesar Rp 47,5 triliun. Dalam lima tahun, jumlah penduduk miskin menurun dari 17,11 persen menjadi 15,01 persen. Namun, Aceh masih menjadi provinsi dengan penduduk miskin tertinggi di Pulau Sumatera dan nomor enam di tingkat nasional.
Fachri mengatakan, pemerintah provinsi hingga aparatur desa harus kreatif dan serius mengelola dana desa agar mampu membuat warga Aceh sejahtera. ”Utamakan pemenuhan kebutuhan dasar dan dorong aktivitas ekonomi. Dana desa harus mampu menuntaskan kemiskinan,” ujar Fachri.
Persentase penggunaan dana desa sejauh ini paling dominan untuk pembangunan infrastruktur atau fisik, yakni 68,19 persen. Adapun untuk pemberdayaan warga hanya 11,84 persen, pembinaan kemasyarakatan 13,17 persen, untuk penyelenggara desa 6,33 persen, dan penanggulangan bencana 0,48 persen.
”Mulai 2020 hingga 2024, akhir periode kedua Presiden Joko Widodo, sudah saatnya diarahkan pada pemberdayaan masyarakat,” ujar Fachri.
Selain pemberdayaan warga, diharapkan semua desa di Indonesia memiliki badan usaha milik desa (BUMDes). Kehadiran BUMDes akan membuka lapangan pekerjaan, menghidupkan aktivitas ekonomi, dan menambah pendapatan asli desa sehingga pada saat transfer dana desa dihentikan desa sudah mandiri.
Pada 2019, pendapatan asli desa di Provinsi Aceh baru Rp 25 miliar. Hal ini disebabkan belum semua desa menghidupkan BUMDes-nya. Masih ada 200 desa di Aceh yang belum memiliki BUMDes.
Fachri mengatakan, masih banyak desa di Aceh yang status indeks desa membangun (IDM) masih kategori tertinggal. Dari 6.497 desa, sebanyak 2.858 status IDM tertinggal dan 308 statusnya IDM sangat tertinggal.
Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat Gampong Aceh Azhari Hasan menuturkan, sebagian besar desa telah memiliki BUMDes, tetapi hanya sedikit yang sudah mandiri dan menghasilkan pendapatan asli desa.
”Tahun ini 10 BUMDes percontohan yang kami bentuk. Kami berharap ini menjadi contoh bagi desa-desa lain,” kata Azhari.
Salah satu BUMDes percontohan adalah Desa Balee Hakim Bujang, Kecamatan Lut Tawar, Kabupaten Aceh Tengah. Desa ini berhasil mengelola obyek wisata konservasi dan kini mampu mengumpulkan pendapatan asli desa Rp 400 juta per tahun.
Reje/Kepala Desa Balee Hakim Bujang Misriadi menuturkan, warga desa sangat antusias mengelola kawasan hutan lindung di desanya menjadi obyek wisata. Obyek wisata yang diberi nama Bur Telege itu mampu menampung sekitar 50 pekerja.