Kapasitas Masyarakat Adat untuk Mempertahankan Hak Kelolanya Diperkuat
Kapasitas masyarakat adat dalam mempertahankan hak kelolanya diperkuat. Salah satunya dengan pelatihan negosiasi dan lobi.
Oleh
EMANUEL EDI SAPUTRA
·4 menit baca
PONTIANAK, KOMPAS — Ancaman ekspansi korporasi berbasis usaha ekstraktif masih mengintai wilayah kelola masyarakat adat di Kalimantan Barat. Karena itu, kapasitas mereka dalam mempertahankan hak kelola diperkuat.
Upaya memperkuat kapasitas masyarakat untuk melindungi hak kelola salah satunya dilakukan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Barat. Aktivis Walhi Kalbar, Hendrikus Adam, Rabu (19/2/2020), menuturkan, pada 11-12 Februari 2020, Walhi menggelar pelatihan lobi dan negosiasi di salah satu desa di Kabupaten Sintang, tepatnya di Desa Silit. Ada sekitar 30 orang yang mengikutinya.
”Kegiatan itu menjadi ruang bagi masyarakat adat untuk memiliki pengetahuan lobi dan negosiasi dengan pihak terkait. Dengan memiliki keterampilan itu, diharapkan mereka bisa mempertahankan wilayah kelola mereka,” kata Adam.
Daerah yang menjadi sasaran pelatihan itu merupakan wilayah dengan kekayaan alam masih terjaga. Namun, di balik itu ada ancaman dari ekspansi perusahaan berbasis usaha ekstraktif, misalnya sawit dan pertambangan. Sebab, wilayah itu menjadi incaran.
”Dengan pelatihan itu, mereka diharapkan bisa meyakinkan pembuat kebijakan bahwa jangan sampai ada investasi yang menggerus hak kelola mereka. Apalagi, mereka sedang berupaya menjadikan hutan di wilayahnya menjadi hutan adat,” kata Adam.
Dewan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalbar Stefanus Masiun menuturkan, AMAN sejak lama berupaya melindungi hak kelola masyarakat adat dengan pemetaan wilayah adat dan advokasi kebijakan. Buah dari perjuangan itu melahirkan peraturan daerah di sejumlah kabupaten tentang pengakuan masyarakat adat. Dengan adanya kebijakan itu, hak-hak masyarakat adat dilindungi.
”Meskipun demikian, ancaman terhadap hak kelola masyarakat adat masih sangat tinggi. Apalagi jika seandainya omnibus law diterapkan yang cenderung mengutamakan investasi. Misalnya, kalau masyarakat mempertahankan haknya dapat mengganggu investasi dan menjurus ke pidana. Ruang masyarakat adat untuk mempertahankan wilayahnya bisa lemah,” tutur Masiun.
Kepala Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Provinsi Kalimantan Barat Adi Yani menuturkan, pemerintah juga sudah berupaya melindungi hak kelola masyarakat adat dengan skema hutan adat. Sejumlah wilayah di Kalimantan Barat sudah disahkan menjadi hutan adat dalam beberapa tahun terakhir.
Bahkan, hutan adat itu akan terus ditambah. Penambahan itu bergantung pada kesepakatan masyarakat adat. Apalagi, ini menjadi program Presiden Joko Widodo. Hutan adat dan hutan desa perlu diperkuat karena di dalam area itu pengelolaan hutan dilakukan dengan tidak menebang kayu.
Cara memanfaatkan hutan bergantung pada masyarakat adat masing-masing. Sebagai contoh ekowisata atau diambil hasil hutan kayu seperti damar, garu, dan madu. Dengan cara itu, pemerintah ingin memperkuat desa agar bisa mandiri. Hal itu juga sejalan dengan visi Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat untuk menciptakan kemandirian desa. Hal itu juga didorong bersama lembaga swadaya masyarakat yang tergabung dalam kelompok kerja perhutanan sosial.
Catatan Kompas, pada 2018 Presiden Joko Widodo menyerahkan setidaknya tiga surat keputusan tentang hutan adat untuk Kalimantan Barat pada 2018. Hutan adat yang disahkan itu meliputi 2.189 hektar hutan adat Desa Tae, Kabupaten Sanggau, 651 hektar hutan adat Tembawang Tampun Juah, Sanggau, dan 100 hektar hutan adat Pikul, Kabupaten Bengkayang.
Penyerahan surat keputusan (SK) itu dilakukan pada Kamis (20/8/2018) di Jakarta kepada masyarakat hukum adat. Hutan adat yang disahkan adalah Masyarakat Hukum Adat Pikul Dusun Melayang, Bengkayang, SK 1300/MENLHK-PSKL/PKTHA-PSL-1/3/2018 pada tanggal 28 Maret 2018; Hutan Adat Tae oleh Ketemenggungan Tae, Sanggau dengan SK 5770/MENLHK-PSKL/PKTHA-PSL-1/9/2018 pada 7 September 2018; dan Hutan Adat Tembawang Tampun Juah oleh Masyarakat Hukum Adat Ketemenggungan Sisang Kampung Segumon dengan SK 5771/MENLHK-PSKL/PKTHA-PSL-1/9/2018 yang juga pada 7 September 2018.
Wilayah kelola masyarakat memang perlu diselamatkan karena selama ini penguasaan lahan di Kalimantan Barat memang timpang. Catatan Kompas, pada 2018 saja menunjukkan luas Kalimantan Barat 14,7 juta hektar. Sebanyak 11,7 juta hektar sudah terbebani berbagai izin: sawit 4,5 juta hektar, tambang 2,7 juta hektar, hak penguasaan hutan 1,3 juta hektar, dan hutan tanaman industri 3,2 juta hektar. Wilayah kelola masyarakat hanya tersisa 3 juta hektar.
Guru Besar Ilmu Ekonomi Universitas Tanjungpura, Pontianak, Eddy Suratman menuturkan, dampak negatif jika kepemilikan lahan timpang, masyarakat adat menjadi terpinggirkan. Kemudian, secara makro, ketimpangan ekonomi akan melebar.
Jika ada kelompok yang hanya menjadi ”penonton” di tengah kekayaan alam yang melimpah, mereka cenderung mudah terprovokasi. Hal itu akan berdampak pada stabilitas keamanan daerah. Maka, jangan sampai kepemilikan lahan masyarakat terus berkurang.