Pembangunan PLTA Batang Toru di Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, mesti memperhatikan keberlanjutan hidup orangutan Tapanuli. Mitigasi mutlak disiapkan untuk menekan ancaman kepunahan terhadap habitat orangutan.
Oleh
NIKSON SINAGA
·3 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air Batang Toru di Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, mesti memperhatikan keberlanjutan hidup populasi orangutan Tapanuli. Mitigasi harus disiapkan agar pembangunan yang dilakukan di habitat orangutan Tapanuli itu berdampak minimal terhadap ancaman kepunahan.
”Setiap individu orangutan Tapanuli sangat penting. Populasinya kini kurang dari 800 ekor dan merupakan jenis kera besar yang paling terancam punah di dunia,” kata Direktur Konservasi PanEco dan Program Konservasi Orangutan Sumatera (SOCP) Ian Singleton dalam diskusi di Medan, Sumatera Utara, Rabu (19/2/2020).
Populasinya kini kurang dari 800 ekor dan merupakan jenis kera besar yang paling terancam punah di dunia. (Ian Singleton)
Diskusi bertema ”Kolaborasi dalam Konservasi” itu diselenggarakan PT North Sumatera Hydro Energy (NSHE) sebagai pemrakarsa PLTA Batang Toru. Hadir antara lain Penasihat Senior Presiden Direktur PT NSHE Emmy Hafild serta Penasihat Senior Bidang Lingkungan PT NSHE Agus Djoko Ismanto.
Ian mengatakan, sebagai pegiat konservasi orangutan, PanEco menjalin kerja sama dengan NSHE untuk memastikan kelestarian orangutan Tapanuli di Ekosistem Batang Toru. Orangutan Tapanuli dinyatakan sebagai spesies baru pada 2017 di tengah ancaman kepunahan akibat kerusakan dan fragmentasi habitat, alih fungsi hutan, perburuan, serta perdagangan ilegal.
Ian mengatakan, orangutan Tapanuli hidup di dua metapopulasi yang terpisah, yakni 400-600 individu di Batang Toru Barat dan 150-160 individu di Batang Toru Timur. Kedua populasi itu hidup di habitat seluas 105.000 hektar dengan laju kerusakan sekitar 200 hektar per tahun terutama akibat alih fungsi hutan.
Dalam setiap metapopulasi, satwa juga terpisah menjadi kelompok-kelompok yang dipisahkan perkebunan, permukiman, pertambangan, dan lainnya. Oleh karena itu, kata Ian, mereka memberikan masukan kepada NSHE agar pembangunan PLTA memperhatikan ketersambungan habitat.
PanEco dan SOCP pun meminta dibuat jembatan penyeberangan satwa di Sungai Batang Toru yang dibendung oleh NSHE, kemudian vegetasi hutan dibuat sampai ke pinggir jalan, serta saluran transmisi didesain lebih tinggi dari pohon agar satwa bisa melintas di bawahnya.
”Kalau NSHE mengimplementasikan semua kegiatan mitigasi yang direncanakan, dampaknya akan minimal,” kata Ian.
Ia mengatakan, saat ini ada sekitar 40 individu orangutan yang berada di hutan Cagar Alam Dolok Sibual-buali yang terpisah oleh Sungai Batang Toru dengan populasi lainnya di Batang Toru Barat. Jika fragmentasi habitat semakin lebar, populasi di Dolok Sibual-Buali akan terisolasi yang memicu penurunan mutu genetik akibat kawin sedarah.
Terkait hal itu, Emmy mengatakan, NSHE berkomitmen mengurangi dampak pembangunan PLTA terhadap keberlanjutan hidup populasi orangutan Tapanuli. ”Kami membuka lahan 371,68 hektar dan 285 hektar di antaranya bisa direstorasi kembali setelah proyek pembangunan PLTA selesai,” katanya.
Pekerjaan fisik proyek tersebut, kata Emmy, sudah dimulai dan sudah menyelesaikan tahap pembukaan dan pembersihan lahan. Jalan akses ke lokasi proyek pun sudah selesai dibangun. Selanjutnya akan dilakukan pembangunan dam.
Emmy mengatakan, PLTA tersebut rencananya akan menghasilkan listrik berdaya 510 megawatt yang bisa memenuhi kebutuhan sekitar 400.000 rumah tangga.
Agus menambahkan, NSHE berkomitmen membangun jembatan penyeberangan orangutan agar tidak terjadi fragmentasi habitat akibat pembukaan jalan atau pembendungan sungai. Menurut Agus, mereka selalu menekankan agar jangan ada satu pun individu orangutan yang terdampak akibat pembangunan PLTA tersebut.