Persoalan konflik manusia dan satwa di Sumatera tak terlepas dari degradasi hutan yang menjadi habitat satwa. Tercatat deforestasi di Sumatera tahun 2016-2017 mencapai 127.223 hektar atau hampir dua kali luas Jakarta.
Oleh
Tim Kompas Biro Sumatera
·4 menit baca
Kelestarian satwa endemik di Sumatera penting untuk mempertahankan keseimbangan ekosistem. Ironisnya, yang terjadi justru konflik manusia dan satwa yang mengancam kelestarian satwa.
KOMPAS/FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
Ritual mendamaikan manusia dan harimau sumatra (Panthera tigris sumatrae) oleh pawang harimau yang digelar BKSDA Aceh di kebun sawit di Singgersing, Sultan Daulat, Kota Subulussalam, Aceh, Kamis (23/1/2020).
MEDAN, KOMPAS — Konflik manusia dan satwa di Sumatera kian masif akibat degradasi hutan yang menjadi habitat satwa. Selain mengancam keselamatan warga, sejumlah satwa endemik yang dilindungi juga terancam punah.
Konflik terjadi dengan sejumlah satwa, seperti gajah sumatra (Elephant maximus sumatranus), harimau sumatra (Panthera tigris sumatrae), orangutan sumatra (Pongo abelii) dan orangutan tapanuli (Pongo tapanuliensis), serta badak sumatra (Dicerorhinus sumatrensis). Berdasarkan data yang dihimpun Kompas dari sejumlah pihak, hingga Minggu (16/2/2020), ratusan konflik satwa terjadi selama tiga tahun terakhir. Puluhan warga tewas dan sejumlah satwa mati.
Di Sumatera Selatan, misalnya, pada 2017 terjadi enam kasus konflik manusia dan satwa, dua orang tewas. Pada tahun berikutnya meningkat menjadi 10 kasus, menelan dua korban tewas. Pada 2019 naik lagi menjadi 24 kasus, dengan korban tewas mencapai enam orang. Kasus yang menjadi sorotan adalah konflik harimau di Muara Enim, Lahat, dan Pagar Alam. Dalam tiga bulan terakhir ada tujuh kasus yang menewaskan lima orang dan dua orang terluka.
Konflik terbaru terjadi akhir Januari lalu saat Darmawan (42), penebang kayu di Kecamatan Pelangiran, Kabupaten Indragiri Hilir, tewas diterkam harimau. Sementara di Aceh, harimau dalam beberapa hari terakhir juga terdeteksi berkeliaran di kawasan permukiman di Desa Darul Makmur, Kota Subulussalam. Dua sapi dimangsa harimau. Warga resah hingga tak berani ke kebun, takut bertemu harimau.
”Selama habitat satwa masih terganggu, konflik antara satwa dan manusia tidak akan pernah berhenti,” kata Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Sumsel Genman Suhefti Hasibuan. Gangguan itu meliputi penebangan liar, alih fungsi hutan menjadi perkebunan dan permukiman, serta perburuan satwa.
Di Sumatera Utara, misalnya, konflik beberapa tahun terakhir bermula dari harimau yang terkena jerat. Pada Mei-Juli 2019, satu orang tewas dan satu orang lainnya terluka parah akibat diterkam harimau. Keduanya merupakan warga desa penyangga Suaka Margasatwa Barumun di Kabupaten Padang Lawas. Harimau itu berhasil ditangkap petugas pada Juli 2019.
”Setelah diperiksa, ternyata kaki kanan harimau mulai membusuk karena terbelit jerat kawat,” kata Kepala BKSDA Sumut Hotmauli Sianturi.
Konflik dengan gajah tak kalah masif. Sepanjang 2016 hingga 2019, tercatat 322 kali konflik gajah dan manusia di Aceh. Sebanyak 39 gajah mati.
KOMPAS/ADITYA DIVERANTA
Harimau sumatra (Panthera tigris sumatrae) yang ditangkap di Muara Enim, Sumatera Selatan, kini dalam observasi oleh Tim Teknis Tambling Wildlife Nature Conservation (TWNC), Lampung, Kamis (23/1/2020).
Terputusnya jalur jelajah, misalnya, membuat kawanan gajah terkurung di kawasan Kecamatan Pintu Rime Gayo, Bener Meriah. Akibatnya, kawanan gajah merusak tanaman dan rumah warga. Bahkan, pada 16 Januari 2020, seekor gajah liar masuk ke pekarangan sekolah.
Kelompok gajah yang berada di kawasan Kecamatan Ketol, Aceh Tengah, juga terisolasi karena jalur jelajahnya terputus perkebunan sawit di Kabupaten Bireuen. Padahal, ruang jelajah kelompok gajah tersebut meliputi Aceh Tengah-Bener Meriah-Bireuen-Pidie Jaya.
Selama habitat satwa masih terganggu, konflik antara satwa dan manusia tidak akan pernah berhenti.
Muslim, Ketua Tim Pengamanan Flora Fauna (TPFF) Desa Karang Ampar-Desa Beregang, Kecamatan Ketol, mengatakan, dalam lima tahun terakhir gajah semakin sering masuk ke kawasan perkebunan, bahkan sampai ke permukiman. Rumah dan kebun warga rusak, kerugian hingga ratusan juta rupiah. Kondisi itu salah satunya dipicu penebangan di hutan, baik ilegal maupun legal. ”Saya heran mengapa izin penebangan kayu diberikan di lokasi koridor gajah,” katanya.
Tekanan masif juga terjadi di habitat orangutan. Satwa ini selalu menjadi korban karena kerap dianggap sebagai hama dan satwa yang berbahaya. Populasi orangutan sumatra diperkirakan tinggal 13.600 individu dan orangutan tapanuli tinggal 577-760 individu.
Kasus orangutan bernama Hope menjadi salah satu catatan kelam. Ia ditemukan dengan 74 peluru di tubuhnya di perkebunan sawit di Kota Subulussalam, Maret 2019. Kedua matanya buta total karena tembakan peluru, sedangkan bayinya diambil dari pelukannya.
Kondisi badak sumatra tak kalah tragis. Manajer Perlindungan Wilayah Sumatera dari Yayasan Badak Indonesia Muniful Hamid mengatakan, adanya gangguan manusia membuat badak yang punya sifat menyendiri itu menjadi sulit bereproduksi secara alami.
Dari hasil analisis temuan tapak badak pada 2019, populasi badak di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan diperkirakan 7-11 ekor. Namun, hingga kini tim survei belum menemukan badak secara langsung atau melalui pantauan kamera perangkap.
KOMPAS
Hope, orangutan di Aceh yang dihujani 74 peluru oleh pemburu satwa liar.
Deforestasi
Akar persoalan konflik manusia dan satwa tidak terlepas dari degradasi hutan yang menjadi habitat satwa. Data Statistik Kehutanan 2017-2018 menunjukkan, luas kawasan hutan yang ditetapkan pemerintah di Sumatera mencapai 22,8 juta hektar atau hampir dua kali lipat luas Pulau Jawa. Namun, deforestasi terus terjadi.
Deforestasi tahun 2016-2017 mencapai 127.223 hektar atau hampir dua kali luas DKI Jakarta. Sementara tahun 2017-2018, deforestasi mencapai 89.695 hektar atau 1,3 kali luas DKI Jakarta. Deforestasi diperkirakan meningkat pada 2019 karena kebakaran hutan dan lahan pada tahun itu terjadi cukup masif.
Deforestasi yang memicu konflik manusia dan satwa terlihat jelas di Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) yang menjadi habitat terbesar gajah sumatra. TNTN yang semula memiliki luas 83.000 hektar kini tinggal 15.000 hektar. Sebagian besar kawasan telah ditanami kelapa sawit oleh perambah.
Sampai lima tahun lalu, kasus gajah mati akibat diracun kerap terjadi. Belakangan ini, kematian gajah kian berkurang sejak Yayasan TNTN mulai melakukan penyuluhan terhadap warga yang merambah. (AIN/RAM/NSA/VIO/ITA/SAH/WSI)