Pemulihan habitat gajah dan pemberdayaan ekonomi warga di kawasan hutan akan membuat gajah dan manusia kembali rukun.
Oleh
ZULKARNAINI
·5 menit baca
Peristiwa penembakan gajah liar di Desa Karang Ampar, Kecamatan Ketol, Kabupaten Aceh Tengah, membuat semua mata tertuju ke desa terpencil itu. Warga Karang Ampar merasa malu karena dianggap tidak mampu melindungi gajah. Padahal, nenek moyang mereka hidup damai dengan abang kul (gajah).
Setelah menerobos semak belukar dan padang ilalang sejauh 300 meter dari jalan kebun, Muslim (34), koordinator Tim Pengamanan Flora Fauna Karang Ampar-Bergang, berhenti. Dia memperhatikan ke sekeliling, memastikan tidak ada kawanan gajah di sekitar itu.
”Di sini lokasi gajah ditembak,” kata Muslim, Selasa (11/2/2020).
Pada Juli 2017, seekor gajah jantan ditemukan mati di kebun warga Karang Ampar. Kedua gadingnya raib. Luka tembak menganga pada kepala dan tubuh satwa lindung itu. Polisi menangkap pelaku dan menyita senjata serbu jenis AK 56 yang digunakan membantai gajah. Namun, hingga kini sepasang gading gajah itu tidak ditemukan.
Mata Muslim kembali menyisir semak belukar. ”Gajah liar masih sering ke sini. Mereka seperti mau ziarah ke tempat temannya mati,” ujar Muslim.
Di lokasi itu terdapat dua tumpukan kotoran gajah yang sudah ditumbuhi jamur. Muslim menduga, seminggu lalu gajah liar singgah ke sini. Kebun itu kini ditelantarkan. Pemiliknya tidak berani menggarap sebab sering dilewati gajah.
”Sekarang, posisi kawanan gajah liar ada di sekitar ini. Mungkin karena masih pagi mereka tidur, sore hari biasanya keluar,” ujar Muslim, sembari mengajak untuk meninggalkan tempat itu.
Lokasi lain yang sering didatangi kawanan gajah liar adalah tempat gajah mati karena memakan pupuk. Lokasinya di kebun serai wangi milik warga.
Konflik meningkat
Gajah merupakan hewan yang memiliki sifat kesetiakawanan erat dan punya daya ingat kuat. Kawanan gajah liar kini semakin sering berkeliaran di sekitar lokasi kematian gajah sebelumnya. Dampaknya, konflik dengan manusia semakin sering terjadi. Warga tidak berani beraktivitas di kebun. Banyak kebun warga dibiarkan terbengkalai.
Muslim mengatakan, konflik satwa marak terjadi setelah tahun 2005 atau setelah konflik bersenjata antara Gerakan Aceh Merdeka dan pemerintah dihentikan. Setelah perdamaian, hutan yang merupakan habitat satwa dirambah. Di sisi lain, pasar gelap perdagangan satwa liar masih marak sehingga memicu perburuan.
Dulu, gajah liar masuk ke permukiman lima tahun sekali, tetapi kini waktunya tidak menentu. ”Saat ini ada aktivitas penebangan kayu di sekitar ini, tapi mereka punya izin dari pemerintah. Namun, dampaknya, gajah liar terusik,” ujar Muslim.
Lantaran habitatnya rusak, gajah liar mulai sering turun ke kawasan permukiman untuk mencari pakan. Warga mengalami kerugian ekonomi dan ketenangan hidup terusik.
Berdamai
Karang Ampar berbatasan dengan hutan. Sebagian besar warga Karang Ampar merupakan suku Gayo. Mereka menanam kopi dan palawijaya. Dari jalan nasional Bireuen-Takengon, jarak ke desa itu sekitar 30 kilometer dengan jalan sempit dan menanjak.
Reje/Kepala Desa Karang Ampar Saleh Kadri menuturkan, warga Karang Ampar berada dalam posisi dilematis. Ibarat memakan buah simalakama, jika menyakiti gajah, harus berurusan dengan hukum dan jika membiarkan gajah masuk ke perkebunan, mereka kehilangan sumber pendapatan.
Jalan tengah yang ditempuh adalah berdamai dan hidup berdampingan dengan gajah liar. Terlebih nenek moyang mereka sebelumnya bisa berbagi ruang dengan gajah. Cara berdamai, setiap ada kawanan gajah yang masuk ke perkebunan, hewan tersebut akan diusir dan digiring ke kawasan hutan.
”Usirnya pakai mercon. Hari ini mereka (gajah) pergi ke hutan, besoknya balik lagi ke kebun,” ujar Saleh.
Warga membentuk Tim Pengamanan Flora Fauna (TPFF) yang bertugas mengusir gajah liar dari perkebunan dan permukiman. TPFF dikukuhkan melalui surat keputusan kepala desa. Anggota tim saat ini berjumlah 24 orang. Secara bergantian, mereka melakukan patroli untuk menjaga agar gajah liar tidak masuk kampung.
Biaya operasional penggiringan dibantu oleh Word Wide Fund for Nature (WWF) dan dana desa. Namun, anggota tim tidak digaji, mereka bekerja ikhlas untuk kepentingan warga desa. ”Pemerintah daerah dan BKSDA (Balai Konservasi Sumber Daya Alam) pernah bantu mercon, itu pun tidak seberapa,” kata Saleh.
Warga juga berinisiatif menanam pakan gajah di kawasan hutan agar gajah menjauh dari kampung. Pada batas perkebunan dengan hutan ditanami serai wangi sebagai pagar alami. Daun serai wangi yang tipis dan tajam membuat gajah tidak nyaman. Di beberapa lokasi juga digali pembatas.
Meski demikian, warga Karang Ampar berharap pemerintah mencari solusi jangka panjang agar gajah terlindungi dan warga hidup tenang.
Hewan legenda
Warga Gayo menyebut gajah dengan sebutan abang kul, artinya abang besar. Penyebutan abang kul merupakan bentuk penghormatan kepada hewan berbadan besar itu. Di Gayo (Bener Meriah dan Aceh Tengah), banyak daerah menggunakan kata ”gajah”, seperti Kecamatan Timang Gajah, Kecamatan Gajah Putih, dan Desa Pondok Gajah.
Budayawan Gayo, Fika Weda, menuturkan, dalam kehidupan orang Gayo, gajah adalah hewan legenda. Reje Linge di Gayo memiliki dua anak, yakni Bener Meriah dan adiknya, Sengeda. Bener Meriah tewas karena dibunuh. Namun, suatu waktu, Bener Meriah muncul dalam sosok seekor gajah putih.
Disebut ”abang” karena gajah itu merupakan jelmaan abangnya (Bener Meriah) dan ”kul” artinya besar. ”Tari guel di Gayo meniru gerakan belalai gajah. Orang Gayo dan gajah adalah bagian sejarah kehidupan mereka,” kata Fikar.
Namun, ketika habitat dirusak gajah, yang sejatinya adalah hewan yang dihormati, gajah justru dimusuhi dan dianggap sebagai hama. Menurut Fikar, pemulihan habitat gajah dan pemberdayaan ekonomi warga di kawasan hutan akan membuat gajah dan manusia kembali rukun.