Mahasiswi Universitas Hubei Minzu dari Makassar menjadi salah satu dari sejumlah WNI yang diobservasi di Pulau Natuna setelah wabah virus korona baru Covid-19 merebak di Wuhan, China.
Oleh
Reny Sri Ayu
·4 menit baca
Nurul Fadkhatussiada (20) tak bisa menyembunyikan rasa bahagia akhirnya bisa kembali ke rumah. Bertemu Hj Monro (50), ibunya yang kurang tidur dan banyak menghabiskan air mata saat pertama kali mendengar serangan virus korona tipe baru, Covid-19, di Wuhan, Nurul lega.
Ditemui di rumahnya di Jalan Salodong, Makassar, Sulawesi Selatan, Minggu (16/2/2020) pagi, Nurul duduk di kios menemani ibunya menunggu pembeli. Tak sedikit pun tampak lelah di wajahnya. Padahal, dia tiba di rumah sekitar pukul 03.00. Hanya sempat tidur beberapa saat, lalu ia bangun dan langsung membantu ibunya di kios.
Kios milik orangtuanya berisi barang campuran. Tak terlalu besar, tetapi menjadi sumber penghasilan tambahan di luar gaji ibunya yang menjadi pengajar di SD Lae-Lae, Makassar, dan ayahnya yang bekerja sebagai petugas keamanan di salah satu gudang di Kawasan Industri Makassar (Kima). Rumah mereka agak di pinggir kota dan berada di sekitar Kima.
Beberapa pembeli yang datang langsung menyapa Nurul dengan ucapan syukur sembari bertanya kabar. Beberapa perempuan memeluk mahasiswa Jurusan Kedokteran Universitas Hubei Minzu itu dengan haru. Semua bersyukur melihatnya pulang.
Bahagia dan lega tentu juga dirasakan ibunya, Monro. Sejak mengetahui serangan Covid-19 di Wuhan, sang ibu kurang tidur. Setiap saat ia menelepon meminta Nurul pulang. Malam-malam acap kali dipenuhi tangis saat menelepon anak sulungnya itu. Kebahagiaan menyambut kepulangan anaknya ditunjukkan dengan menunggu di bandara, dua jam sebelum pesawat mendarat pukul 02.00.
”Saya justru tahu soal korona dari televisi. Nurul sama sekali tidak mau memberi tahu. Dia khawatir saya sedih. Sejak tahu soal korona, sepanjang hari sepulang mengajar, saya terus mengikuti perkembangan melalui berita. Setiap saat saya menelepon untuk memastikan keadaannya,” kata Monro.
Awalnya, Nurul bertahan tak mau pulang. Selain pertimbangan biaya, ia juga bingung karena untuk pulang ia harus ke Wuhan. Sepanjang Januari-Februari sebenarnya ia libur dan memilih tak pulang. Ia sedang menyiapkan diri mengikuti ujian bahasa Mandarin sebagai syarat untuk bisa melanjutkan kuliah.
Dia kuliah di Universitas Hubei Minzu di Enshi, yang berjarak sekitar 500 kilometer dari Wuhan. Untuk pulang, ia harus naik pesawat dari Enshi ke Wuhan, lalu melanjutkan penerbangan ke Shanghai, Jakarta, hingga Makassar. Enshi-Wuhan juga bisa ditempuh berkendara roda empat dengan waktu tempuh delapan jam.
”Saat itu saya bingung harus bagaimana. Biaya pulang besar, lalu harus ke Wuhan. Sementara di Enshi saja sudah mulai sepi. Saya dan 10 mahasiswa asal Indonesia yang seangkatan lebih banyak di kamar. Kami hanya keluar membeli persediaan makanan dan selebihnya berdiam di kamar. Setiap kali ibu menelepon, saya bingung harus menjelaskan kondisi saya agar ibu tidak khawatir. Pikiran saya, kalau hanya sekali dua pekan keluar dan pakai masker, mungkin lebih aman. Jadi lebih baik bertahan,” tutur Nurul.
Pengumuman dari pihak kampus yang menambah libur mahasiswa dan pemeriksaan keluar masuk yang ketat membuat Nurul makin tak berdaya dan pasrah. Hari-hari dihabiskan di dalam kamar.
Harapan muncul saat mendengar pemerintah akan mengevakuasi warga Indonesia. Ini sekaligus menjadi kabar gembira bagi seluruh keluarga walau Nurul masih harus menjalani observasi selama dua pekan di Natuna, Kepulauan Riau.
Saat pertama kali memutuskan kuliah di Hubei, kedua orangtua Nurul pasrah. Melihat tekad anaknya, mereka mengalah. Meminjam uang ke bank untuk biaya masuk, mereka merelakan sang anak berangkat.
Nurul memilih China dengan pertimbangan kemajuan bidang kedokteran di negara ini dan juga biaya kuliah yang lebih terjangkau. Tahun pertama, dia membayar ke agen Rp 100 juta yang meliputi biaya masuk dan kuliah setahun, asrama, visa dan izin tinggal, hingga pemberangkatan sampai ke tempat tujuan. Selanjutnya ia membayar hanya sekitar Rp 40 juta per tahun, sudah termasuk asrama dan beragam perizinan. Ini lebih murah ketimbang biaya kuliah kedokteran di perguruan tinggi swasta di Makassar.
”Saya senang kuliah di sana. Sebenarnya seusai libur nanti saya akan mengikuti ujian bahasa Mandarin sebagai syarat melanjutkan kuliah. Saya sedang mempersiapkan diri. Namun, serangan korona membuat urusan saya tertunda. Untuk sementara kami akan mengikuti kuliah secara online sambil menunggu perkembangan,” katanya.
Nurul berharap persoalan serangan virus mematikan ini bisa segera diatasi. Dia tak kapok. Setidaknya, tekadnya untuk kembali melanjutkan kuliah masih besar. ”Ke Hubei, saya akan kembali,” ucapnya.