Suatu waktu, ketika malam telah jatuh, guncangan besar terjadi. Akbar Hidayatullah (16) terbangun dari tidur lelap. Gempa! Anak berkebutuhan khusus ini sontak memegang mulut, telinga, lalu menunjuk.
Oleh
Saiful Rijal Yunus
·5 menit baca
Ia memanggil kedua orangtuanya dalam bahasa isyarat. Pelatihan mitigasi bagi anak berkebutuhan khusus masih minim di tengah tingginya ancaman bencana. ”Dia cuma panggil ayahnya pas gempa. Takut katanya,” kata Asnita (29), guru yang mendampingi Akbar. Sulung dari enam bersaudara ini adalah siswa kelas X Sekolah Luar Biasa (SLB) BF-Mandara, Kota Kendari, Sulawesi Tenggara. Yayat, panggilannya, adalah penyandang tunarungu.
Dalam bahasa isyarat, Yayat lalu menuturkan ketakutannya ketika gempa melanda. Beberapa saat setelah gempa meluluhlantakkan Palu, Sulawesi Tengah, medio September 2018, beberapa gempa juga terjadi di sekitar Sulawesi Tenggara. Getaran terasa di beberapa tempat, termasuk Kota Kendari. Namun, Yayat ingin belajar. Ketika simulasi dan mitigasi bencana berlangsung di Sekolah Luar Biasa (SLB) BF-Mandara, Kamis (6/2/2020) pagi, Yayat menjadi satu dari beberapa siswa yang begitu antusias.
Saat instruktur dari SAR Kota Kendari mengajak para siswa untuk melakukan simulasi ketika gempa terjadi, Yayat segera berdiri. Suara sirene menjadi penanda gempa terjadi. Ia cermat mengikuti arahan instruktur bersembunyi di bawah meja ketika guncangan terjadi. Yayat kemudian mengambil dan meletakkan tasnya di atas kepala, lalu berjalan pelan mengikuti instruktur. Ia mengikuti rombongan keluar dari kelas dan berkumpul di lapangan.
Berlatih
Saat instruktur meminta perwakilan siswa berlatih menangani luka ketika bencana, Yayat mengangkat tangan tinggi-tinggi. Ia berlakon sebagai korban bencana dengan luka di pergelangan tangan. Temannya pun berlatih menangani dan membersihkan luka, lalu membalut dengan perban. Yayat pun menceritakan dengan lancar ketika ditanya ulang tentang apa yang didapatkan setelah simulasi. Terakhir, tangannya memegang dada meski raut wajahnya sedikit tegang.
”Harus tenang, katanya,” ucap Astini menerjemahkan. Novi (13), siswi lainnya, punya pengalaman berbeda terkait bencana. Saat banjir besar melanda Sultra, pertengahan 2019, kediamannya di Jalan Mekar, Kecamatan Kadia, Kendari, terendam air. ”Waktu itu mau maghrib, tapi kenapa tiba-tiba banyak air di dalam rumah. Saya kira saya salah masuk ke kamar mandi, tapi kenapa air semua. Saya tanya ke ibu, ibu bilang lagi banjir,” cerita Novi yang mengalami gangguan penglihatan sejak kecil dan kini tidak bisa melihat sama sekali.
Novi bercerita, ia berteriak panik bertanya kepada ibunya, apa yang harus dilakukan. Ibunya menyuruh ia naik ke ranjang dan berdiam sementara. Novi segera melaksanakan arahan sang ibu dan berbaring di kasur hingga keesokan hari. Oleh karena itu, Novi menuturkan, simulasi dan mitigasi bencana penting untuk diketahui. Ia senang mendapatkan buku panduan mitigasi dalam huruf Braille yang dibagikan. Jemarinya dengan lincah menelusuri huruf-huruf Braille yang tercetak dalam buku.
”Tadi belajar mitigasi, dapat kesadaran waspada tentang kebencanaan. Selalu waspada, berjaga-jaga kalau gempa dan banjir,” katanya. Sembari membaca buku, ia menuturkan, ”Waspada bencana banjir. Harus membersihkan rumah agar tidak ada sampah. Lindungi diri, naik ke tempat tinggi.” Nurjannah (16), teman Novi yang juga memiliki gangguan penglihatan, menuturkan, di rumah ia melatih diri jika terjadi bencana. Lokasi-lokasi yang tinggi dan jalur cepat menuju ke halaman telah ia hafal di luar kepala.
Di sekolah, sambung juara berbagai lomba tingkat provinsi ini, ia mengikuti jalur khusus yang dibuat untuk siswa-siswi tunanetra. Pegangan di berbagai sisi gedung SLB BF-Mandara juga telah disiapkan oleh pengelola. ”Saya sudah pernah ikut latihan mitigasi kebencanaan beberapa tahun lalu. Sedikit tahu kalau ada bencana harus bagaimana. Ini saya tadi ikut lari ikuti jalur yang ada,” kata Nurjanah.
Bencana di Indonesia terus terjadi dan setiap tahun menelan korban jiwa. Pada 2018, menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), jumlah korban jiwa naik 984 persen dibandingkan dengan tahun 2017. Pada 2017, ada 309 korban jiwa meski jumlah bencana lebih banyak 10 persen daripada 2018. Besarnya jumlah korban jiwa terutama disumbang bencana geologi berupa gempa, tsunami, dan likuefaksi.
Meski frekuensinya 3,2 persen dari total bencana di Indonesia, bencana geologi paling mematikan. Rentetan gempa di Lombok, Nusa Tenggara Barat, menewaskan 564 orang. Gempa, likuefaksi, dan tsunami di Sulteng menyebabkan 3.475 orang tewas dan hilang. Tsunami di Selat Sunda menewaskan 437 orang. Padahal, tiga bencana geologi itu belum pada kekuatan puncak (Kompas, 10/1/2019).
Kerentanan anak
Daerah Sultra, seperti daerah lain di Indonesia, juga rentan bencana. Meski bukan termasuk daerah yang rentan bencana gempa bumi, daerah ini rawan akan bencana hidrometeorologis. Banjir dan longsor rutin terjadi setiap tahun. Pertengahan 2019, banjir besar melanda sedikitnya lima kabupaten/kota selama lebih dari satu bulan. Sebanyak 11 bencana terjadi pada 2019 meski hanya ada dua korban jiwa.
Puluhan ribu orang terdampak, ratusan rumah hilang tersapu banjir bandang, dan ribuan warga hingga kini masih menempati hunian sementara. Dari kejadian tersebut, anak-anak khususnya, menjadi pihak paling rentan terdampak. Bagi anak-anak berkebutuhan khusus, kerentanan mereka terhadap bencana semakin berlipat. Sebab, mereka memiliki keterbatasan ketika bencana datang dengan cepat.
Kepala Kantor SAR Kendari Aris Sofingi menuturkan, anak-anak berkebutuhan khusus memiliki risiko yang lebih besar dibandingkan dengan orang yang tidak berkebutuhan khusus. Oleh sebab itu, sedari dini, mitigasi dan pemberian pengetahuan dasar mitigasi kebencanaan penting untuk ditanamkan.
”Yang paling penting adalah tahu cara evakuasi mandiri. Bagaimana mereka tahu apa yang harus diperbuat ketika bencana terjadi. Dengan begitu, mereka bisa menyelamatkan diri dan segera bertindak ketika bencana terjadi. Dukungan orangtua dan lingkungan terdekat tentu juga dibutuhkan,” ucap Aris.
Kegiatan simulasi dan mitigasi yang dilakukan kali ini, tutur Aris, adalah bagian agar pengetahuan akan mitigasi bagi anak-anak berkebutuhan khusus bisa berjalan. Materi yang diberikan yaitu medical first responder atau penanganan pertama pada perdarahan dan trauma. Selain itu, juga ada penjelasan tindakan yang harus diambil ketika gempa terjadi sekaligus simulasi.
Manfaat simulasi
Kepala Sekolah Luar Biasa (SLB) BF-Mandara Susanto Wibowo menuturkan, kegiatan pengenalan mitigasi dan simulasi bencana sangat bermanfaat bagi anak-anak, sekolah, hingga orangtua siswa. Sebab, selain lebih rentan terdampak, anak-anak berkebutuhan khusus juga harus beradaptasi lebih lama dibandingkan dengan orang lain.
Ia berharap agar mitigasi dini bagi anak-anak berkebutuhan khusus terus diajarkan. Tidak hanya di sekolah ini, tetapi juga di banyak tempat lain, secara berkala dan terstruktur. Anak-anak berkebutuhan khusus tentu berhak mendapat perhatian yang sama dengan orang tanpa disabilitas. Mereka berhak untuk tahu dan memahami cara menghindari bencana di tengah keterbatasan yang ada.
Sebab, seperti dituturkan Stevie Wonder, penyanyi legendaris yang juga tunanetra, ”Hanya karena seseorang tidak menggunakan matanya, bukan berarti dia tidak memiliki penglihatan.”