Menghitung Hari Nasib Gunung Botak Pascapergantian Royke
Masa depan penutupan tambang emas ilegal di Gunung Botak, Pulau Buru, dipertaruhkan. Kepala Polda Maluku yang baru dituntut keseriusannya menutup tambang,
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·5 menit baca
Inspektur Jenderal Royke Lumowa telah mengakhiri jabatannya sebagai Kepala Polda Maluku per awal Februari 2020. Salah satu pencapaiannya menutup tambang emas liar di Gunung Botak, Pulau Buru, Oktober 2018 dan memastikan wilayah itu tetap steril hingga saat ini. Memang, itu bukan satu-satunya yang harus dijaga.
Sejumlah pihak berharap, kondisi seperti saat ini terus berlanjut. Pimpinan Polri di Maluku dianggap berperan besar menentukan nasib Gunung Botak ke depan. Ada riwayatnya.
Pada 15 Oktober 2018, Royke bersama Wakil Gubernur Maluku saat itu Zeth Sahuburua dan Panglima Kodam Pattimura saat itu Mayor Jenderal Suko Pranoto, menggelar konferensi pers mengenai rencana penutupan lokasi tambang liar Gunung Botak. Wacana itu disambut pesimisme sebagian besar awak media. Konferensi pers pun dianggap sebatas basa basi. Kenapa muncul keraguan?
Berkaca pada pengalaman sebelumnya, lokasi tambang yang mulai beroperasi pada Oktober 2011 itu buka-tutup, selalu dirambah para petambang pascapenutupan.
Gunung Botak pernah ditutup berkali-kali, tetapi petambang terus kembali. Sepertinya tidak mungkin ditutup permanen. Gunung Botak menjadi area bisnis yang menggiurkan. Banyak kepentingan saling terhubung untuk melanggengkan tambang liar itu.
Namun, pesimisme itu ditanggapi santai Royke yang baru menjabat kurang dari satu bulan itu. "Kita lihat saja nanti," ujarnya saat itu. Sambil tersenyum.
Gunung Botak merupakan tambang emas liar terbesar di Indonesia. Luasannya mencapai 250 hektar. Jumlah petambang sempat melampaui 20.000 orang. Selain bisnis pegolahan emas, Gunung Botak juga menjadi bisnis peredaran merkuri, sianida, narkoba, dan prostitusi. Ribuan orang meninggal di lokasi itu akibat longsoran lubang penggalian, perkelahian, perampokan, dan pembunuhan.
Tambang liar Gunung Botak juga jelas-jelas merusak lingkungan akibat penggunaan merkuri dan sianida untuk pengolahan emas. Sungai yang menjadi sumber pengairan irigasi tercemar logam berat. Ratusan hektar sagu mati. Ternak milik warga juga mati akibat keracunan sianida. Daerah sekitar Gunung Botak dianggap berbahaya bagi kesehatan manusia.
Selesai konferensi pers itu, Royke langsung memerintahkan jajaran di bawahnya menyiapkan penutupan Gunung Botak. Aparat melakukan sosialisasi kepada petambang agar segera meninggalkan area tambang. Pada Rabu (17/10/2019), Royke langsung mendatangi lokasi tambang emas terbesar di Indonesia itu. Ia berjalan kaki mendaki hingga ke puncak.
Ia mendapati beberapa petambang sedang berkemas meninggalkan lokasi penambangan. Royke pun berpesan agar mereka tidak kembali lagi. Tempat pengolahan tambang langsung dimusnahkan. Royke juga memerintahkan pembangunan pos pangawasan di puncak gunung dan beberapa jalan masuk yang biasa dilewati petambang.
Setelah penutupan, beberapa kali ia datang lagi ke sana mengecek situasi. Secara berkala, personel Polri dibantu TNI mengawasi lokasi itu agar tak lagi dimasuki petambang.
Berkaca pada pengalaman sebelumnya, lokasi tambang yang mulai beroperasi pada Oktober 2011 itu buka-tutup, selalu dirambah para petambang pascapenutupan. Operasi penutupan pun dilakukan lebih dari 30 kali.
Tidak sampai satu bulan, petambang kembali lagi. Diduga ada oknum aparat berada di balik tambang liar. Mereka terlibat dalam lingkaran mafia tambang.
Ketegasan hukum
Royke mengatakan, kunci utama penutupan Gunung Botak adalah ketegasan penegak hukum, termasuk tidak menerima suap dari jaringan mafia tambang liar. Ia mengaku berulangkali digoda agar mau menutup mata terhadap praktik penambangan liar itu.
Penutupan tambang liar Gunung Botak yang bertahan agak lama sempat terjadi saat Komando Daerah Militer XVI/Pattimura dipimpin Mayor Jenderal Doni Monardo pada tahun 2015. Doni sempat memimpin penanaman pohon di bekas lokasi tambang. Namun, setelah Doni pindah tugas, Gunung Botak kembali dirambah.
"Kunci utamanya ada pada pemimpin," ujar Royke yang kini memimpin Polda Sulawesi Utara itu.
Penutupan tambang ikut menghentikan potensi kebocoran sumber daya alam. Jumlah petambang yang diturunkan dari gunung pada Oktober 2018 sekitar 7.000 orang. Jika dihitung, dalam sehari, setiap petambang bisa mendapat emas lebih dari 1 gram. Dengan perhitungan 7.000 gram emas per hari, maka hingga akhir 2019, sebanyak 3.073 kilogram emas ditahan tetap di Gunung Botak. Jika harga jual emas Rp 500.000 per gram, nilai emas setara Rp 1,5 triliun.
Sejumlah pihak mengapresiasi keseriusan Royke Lumowa dan Doni Monardo dalam menjaga lingkungan. Kini, muncul kekhawatiran setelah Royke tidak lagi bertugas di Maluku. Jangan sampai, kondisi setelah era Doni tahun 2017 terulang kembali.
"Jangan sampai petambang masuk lagi? Publik sangat berharap pada pengganti Pak Royke," ujar peneliti logam berat dari Universitas Pattimura Yusthinus T Male.
Yusthinus dalam penelitiannya mengungkapkan tentang pencemaran merkuri pada sejumlah anak Sungai Waeapo hingga ke Teluk Kayeli, Pulau Buru. Air, sedimen, keliting, dan ikan sudah tercemar merkuri "Masyarakat sudah sadar akan kondisi itu. Tambang liar Gunung Botak seperti membuat bom waktu yang menunggu saatnya meledak. Kasihan masa depan generasi di sana," ujarnya.
Kunci penutupan tambang liar berada di tangan para pemimpin di daerah, terutama kepala daerah, Polri, dan TNI.
Tahun 2014, Yusthinus meneliti kandungan merkuri pada udang, ikan, kerang-kerangan, dan kepiting yang diambil dari Teluk Kayeli. Ia mendapati konsentrasi merkuri pada 30 persen sampel itu telah melampaui batas atas menurut standar nasional yang hanya 0,5 miligram per 1 kilogram sampel. Pada udang, kandungan merkuri tiga kali dari standar, ikan tujuh kali, kerang-kerangan enam kali, dan kepiting dua kali (Kompas, 7/11/2015)
Ketua Komnas HAM Provinsi Maluku Benediktus Sarkol mengatakan, kunci penutupan tambang liar berada di tangan para pemimpin di daerah, terutama kepala daerah, Polri, dan TNI. Menurut penelusuran pihaknya, banyak elit yang berada dalam mafia tambang mulai dari daerah hingga pusat. "Sekali lagi, sangat tergantung pada para pimpinan di daerah," katanya.
Setelah Royke pindah tugas, nasib Gunung Botak kini berada di tangan penggantinya, Brigadir Jenderal Baharudin Djafar.