Kementerian Kelautan dan Perikanan menegaskan, praktik alih muat untuk dalam negeri dibolehkan. Praktik jual-beli BBM bersubsidi juga diakui, tetapi belum ditindak.
Oleh
·4 menit baca
AMBON, KOMPAS - Praktik alih muat ikan di Laut Arafura kian marak dan tidak dibantah pemerintah meski peraturan menteri yang melarang itu belum dicabut. Kapal-kapal nelayan menangkap ikan, lalu memindahkan ke kapal lain untuk dibawa ke sejumlah daerah di Indonesia, tanpa melalui dermaga terdekat.
Proses alih muat ikan itu marak dan leluasa di tengah laut, yang sekitar lima tahun terakhir dilakukan diam-diam karena ketatnya pengawasan. ”Kapal penampung bisa muat sampai 100 ton,” kata Gani, nelayan lokal di Kepulauan Aru, dihubungi Kompas dari Ambon, Rabu (12/2/2020).
Menurut dia, suasana malam hari di laut Arafura saat ini sangat ramai dan terang benderang, seperti kota terapung atau pasar malam. Kapal-kapal ikan aneka ukuran, yang sebagian besar dari wilayah pantai utara Jawa, berkerumun. Selain kapal ikan, terdapat kapal pembawa bahan bakar minyak (BBM). Proses pemindahan BBM ke kapal ikan juga dilakukan di tengah laut.
Bahan bakar yang dijual itu solar. Solar-solar itu terkadang dicampur minyak tanah, yang keduanya merupakan bahan bakar minyak bersubsidi. Penelusuran Kompas sebelumnya, pengepul yang membeli bahan bakar dari stasiun pengisian bahan bakar itu menampung, kemudian dijual ke kapal ikan.
Lokasi yang biasa dijadikan tempat bongkar muat dan jual-beli BBM itu, kata Gani, di sekitar Pulau Eno, Pulau Karang, Pulau Koltubai Kecil, dan Muara Jambu Air. Di sanalah malam seperti kota terapung. Sebelumnya, Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP Zulficar Mochtar mengakui adanya penangkapan ikan ilegal, tidak terlaporkan, dan tidak diatur (IUU) di Laut Arafura.
Alokasi BBM yang tidak tepat juga diakui terjadi sehingga pengawasan akan ditingkatkan. Sementara alih muat ikan di laut memang dilarang. Latar belakangnya, alih muat lalu dibawa ke luar negeri. Penertiban praktik itu dengan mekanisme kapal penyangga (kapal penampung tangkapan ikan) yang membawanya ke pelabuhan tujuan di dalam negeri.
Dalam suratnya, Kepala Biro Humas dan Kerja Sama Luar Negeri KKP Agung Tri Prasetyo mengatakan, alih muat ikan di tengah laut dibolehkan, seperti diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Nomor 1/PER-DJPT/2016 tentang Penangkapan Ikan Dalam Satu Kesatuan Operasi yang disahkan 29 April 2016.
Alih muat di Laut Arafura itu masuk wilayah kesyahbandaran Pelabuhan Perikanan Pantai Dobo, berjarak 0,5 mil laut (sekitar 1 kilometer) dari pelabuhan. Alasannya, kapal tongkang tak dapat berlabuh disebabkan ruang dermaga tak memungkinkan. Semua ikan terlapor dan tercatat. Prosesnya diawasi oleh pengawas perikanan.
Merugikan daerah
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Kepulauan Aru Johanes Gutandjala, yang ditemui di Ambon, mengaku sering mendapat laporan maraknya alih muat ikan. Praktik di tengah laut itu sangat merugikan daerah. Tahun 2019, daerah hanya mendapat Rp 27 miliar dari retribusi. Perkiraan sesungguhnya bisa ratusan miliar rupiah. Itu dihitung dari jumlah kapal ikan berukuran di atas 30 gros ton di Laut Arafura yang mencapai 1.289 unit.
Perhitungan kasar, jika setiap bulan satu kapal menangkap 50 ton ikan, total ikan yang ditangkap semua kapal 64.450 ton. Setahun, 773.400 ton ikan setara dengan 773.400.000 kilogram. Jika harga ikan paling murah Rp 8.000 per kg, nilainya Rp 5,8 triliun. Jika 3 persen untuk daerah, itu setara dengan Rp 174 miliar.
Anggota DPR asal Maluku, Mercy C Barends, menilai, ada pembiaran pelanggaran di Laut Arafura. Ia bahkan menuding ada upaya eksploitasi besar-besaran terhadap sumber daya perikanan di sana. Di sisi lain, daerah penghasil tidak menikmati kelimpahan sumber daya lantaran banyak kebocoran.
Keadilan di mana?
Nelayan lokal pun menjadi penonton di rumahnya sendiri. ”Kami akan surati pemerintah untuk menanyakan masalah ini,” kata Mercy yang berasal dari Kepulauan Aru itu. Jumlah nelayan di Kabupaten Kepulauan Aru lebih kurang 21.000 orang. Hampir semua menggunakan perahu motor berukuran 1,5 gros ton yang masuk kategori nelayan kecil.
Kehadiran lebih dari 1.000 kapal dari pantura Pulau Jawa itu menyebabkan kecemburuan sosial. Terlebih, semua kapal dari luar itu tak mengikutsertakan warga lokal sebagai anak buah kapal. Padahal, setiap kapal ikan mempekerjakan hingga 25 orang. ”Keadilan di mana?” ujar anggota Fraksi PDI-P itu.
Mika Ganobal, tokoh pemuda Kepulauan Aru, menyarankan aparat pengamanan laut dan pengawas perikanan kembali menggiatkan patroli. Ia menilai ada ketidakseriusan. Dihubungi terpisah, terkait patroli laut, Kepala Bidang Humas Polda Maluku Komisaris Besar M Roem Ohoirat mengatakan, polisi perairan di Kepulauan Aru tidak punya kapal yang memadai.