Nelayan Resah Menanti Danau Banjir Kembali
Nelayan Danau Semayang dan Danau Melintang, resah akibat pendangkalan danau dan naik-turunnya air yang tak terprediksi. Kondisi ini buntut dari kebakaran hutan dua dekade lalu, pembukaan hutan, dan perubahan iklim.
Darhamsyah (51) baru saja pulang menjala ikan dari Danau Melintang di Desa Muara Enggelam, Kecamatan Muara Wis, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Setelah selesai memilah ikan untuk dijual dan ditaruh di keramba, ia membersihkan diri dan duduk di pendopo desa.
”Sekarang, ikan sulit karena danau sudah jarang banjir. Dulu, tahun 1980-an, banjir masih bisa diprediksi. Setiap tahun pasti banjir, bahkan sampai hampir enam bulan,” katanya.
Sore akhir November 2019, danau seluas 11.000 hektar itu surut. Kedalaman air di tengah danau tak sampai 1 meter. Beberapa nelayan memanfaatkan kondisi itu untuk menanam padi di sisi danau yang kedalamannya hanya 10-30 sentimeter (cm). Hal itu dilakukan untuk menyiasati sedikitnya tangkapan ikan.
Hasil panen padi bisa dijual atau dikonsumsi sendiri untuk kebutuhan setahun.
Bagi warga yang tak menanam padi, mereka memilih membuat keramba. Mereka mengisinya dengan ikan tangkapan yang masih kecil untuk dipelihara hingga siap jual. Keramba berisi ratusan ikan untuk dipanen tiga bulan hingga setahun kemudian. Itu siasat yang perlu dilakukan sebab ketika air surut, ikan-ikan di Danau Melintang, seperti ikan baung, jelawat, dan belida, ukuran besar sulit didapat.
”Kalau di kota, orang takut banjir. Kalau kami nelayan di sini malah menunggu banjir. Ikan akan banyak di masa itu karena mereka berkembang biak cepat,” kata Darhamsyah.
Tidak bisa diprediksi
Kepala Desa Muara Enggelam Juhar mengatakan, sejak tahun 1990-an, kondisi air danau sudah tak bisa diprediksi. Padahal, dulu setiap tahun pasti terjadi banjir besar. Ketinggian air bisa mencapai 7 meter dari dasar danau. Hal itu terlihat dari rumah panggung penduduk di sisi danau yang disangga tiang setinggi 7-8 meter.
Juhar, yang mulai tinggal di Muara Enggelam sejak tahun 1982, masih ingat betul bahwa memasuki bulan Agustus, pembuat alat tangkap ikan sibuk menyiapkan bahan. Ada yang membeli benang jaring ikan, ada pula yang menyerut bambu untuk dibuat bubu. Sebab, dahulu banjir pasti terjadi setiap tahun mulai bulan Agustus hingga Desember.
”Pada masa-masa itu, kami bisa menjual ikan dalam jumlah banyak. Sehari menangkap ikan, jika dirupiahkan sekarang setara Rp 500.000,” kata Juhar.
Banjir di Desa Muara Enggelam terakhir terjadi pada 2017. Itu pun setelah dua tahun tak terjadi banjir besar. Pada 2015 pernah terjadi banjir besar sekitar tiga bulan. Hingga Februari 2020, banjir hanya terjadi dua hari, kemudian surut kembali. Itu pun air naik hanya sekitar 3 meter saja. Padahal, sejak Desember hingga Januari, Kota Samarinda yang berada di sekitar hilir Sungai Mahakam sempat banjir karena hujan sudah mulai turun.
Kalau sekarang, banjir hanya beberapa hari saja. Itu pun baru sampai bawah jembatan sekitar 2 meter sudah surut lagi.
Juhar mengatakan, dari hasil tangkapan langsung, saat ini nelayan rata-rata hanya bisa menjual 4 kilogram ikan jelawat per hari dengan harga Rp 25.000 per kilogram. Itu untuk pemasukan harian. Dari keramba, rata-rata warga bisa menjual ikan senilai Rp 60 juta dalam setahun atau Rp 5 juta sebulan.
”Karena kondisi air tak tentu, banyak juga yang menggunakan uang hasil jual ikan untuk membuat sarang burung walet dalam dua tahun terakhir,” katanya.
Hal serupa juga terjadi di Danau Semayang. Danau seluas 13.000 hektar itu bersebelahan dengan Danau Melintang. Rumah-rumah warga pun berdiri di atas tiang kayu setinggi 4 meter. Bahkan, tiang penyangga sejumlah rumah ditinggikan karena pada 2015 banjir lebih tinggi daripada tahun-tahun sebelumnya, mencapai 4 meter. Setelah itu, banjir besar dalam waktu lama tak pernah terjadi.
”Kalau sekarang, banjir hanya beberapa hari saja. Itu pun baru sampai bawah jembatan sekitar 2 meter sudah surut lagi,” kata Alimin (43), salah seorang warga.
Alih fungsi lahan
Danau Semayang dan Melintang adalah dua danau besar bagian dari Danau Kaskade Mahakam. Satu danau lain yang besar adalah Danau Jempang seluas 15.000 hektar. Jika air danau naik, ketiga danau menyatu karena tergenang air.
Balai Konservasi Wilayah Sungai (BWS) Kalimantan III mencatat, terjadi pendangkalan di Danau Kaskade. Ini memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap kelestarian ekosistem danau. BWS Kalimantan III mencatat, sedimentasi yang terperangkap di Danau Semayang dan Danau Melintang sebesar 317.691 meter kubik per tahun. Saat musim kemarau, kondisi danau hanya berupa alur-alur sungai yang digenangi air. Sisanya berupa daratan kering yang ditumbuhi rerumputan.
Ini disebabkan tingginya alih fungsi lahan dan banyak lahan kritis di sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) Mahakam. Akibatnya, ketika terjadi hujan lebat di hulu, sedimentasi terbawa air dan terperangkap di danau ini.
Kerusakan ini bermula dari pembukaan hutan oleh perusahaan hak pengusahaan hutan (HPH) tahun 1970-an. Keadaan ini semakin parah pada dekade 1990-an dan semakin serius setelah pelaksanaan otonomi daerah di Kalimantan Timur. Para bupati banyak menerbitkan izin penebangan kayu berskala kecil yang dikenal sebagai hak pemungutan hasil hutan (HPHH) dan izin pemanfaatan kayu (IPK) yang berlaku untuk jangka waktu satu tahun saja (Kompas, 17/12/2002).
Selain itu, pendangkalan danau itu juga akibat kebakaran hutan tahun 1983. Imbasnya, pada musim kemarau berkepanjangan tahun 1997, ketiga danau itu kekeringan (Kompas, 5/2/2001).
Mengancam satwa langka
Kondisi itu mengancam kelestarian satwa yang sudah semakin langka, yakni pesut mahakam (Orcaella brevistoris), yang kini tersisa 17 ekor di sekitar Danau Semayang. Danau adalah tempat mencari makan lumba-lumba air tawar itu.
”Untuk melakukan pengerukan tidak mungkin karena danau itu sangat luas. Kami sedang membuat zonasi di wilayah danau agar kerusakan lahan di sekitarnya bisa dikendalikan. Nanti ada wilayah-wilayah yang tak boleh dibuat permukiman, perkebunan, atau peruntukan lainnya,” kata Kepala BWS Kalimantan III Anang Muchlis.
Fungsional Pengendali Ekosistem Hutan Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung Mahakam Berau Nugraha Wijanarko mengatakan, Danau Kaskade adalah bagian penting dari DAS Mahakam. Posisinya dilalui Sungai Mahakam di bagian tengah. Secara hidrologi, fungsi Danau Kaskade adalah sebagai tempat menampung air sementara Sungai Mahakam jika debit air sangat tinggi dari hulu.
Itu membuat daerah di hilir, seperti Samarinda, tidak terdampak banjir dari Sungai Mahakam karena air tertahan di danau itu. ”Lahan kritis di sekitar Danau Semayang dan Melintang terdapat di banyak titik. Untuk rehabilitasi DAS, kami sudah membuat program penanaman pohon, seperti kedemba dan kahoi, di Desa Muara Siran di lahan 150 hektar,” kata Nugraha.
Menurunnya daya dukung lingkungan di sekitar Danau Kaskade ini sudah lama terjadi. Pada 28 Oktober 1994, Kompas memberitakan, Danau Kaskade kering akibat kemarau yang berlangsung sejak bulan Agustus. Kondisi itu membuat ribuan ikan mati dan 80.000 nelayan di sekitarnya kehilangan penghasilan.
Jika daya dukung lingkungan tak terkendali, Kalimantan Timur terancam kehilangan sumber penghidupan masyarakat dan pengendali laju air alami di masa mendatang.