Adila Menantikan Titian Harap untuk Terus Bertahan Hidup
Sudah empat hari Adila Oktavia (4) meniti garis tipis antara hidup dan mati. Patukan ular berbisa menjadi penyebabnya. Gigitan mematikan itu juga menunjukkan lemahnya kewaspadaan semua pihak hidup bersama satwa liar.
Sudah empat hari Adila Oktavia (4) meniti garis tipis antara hidup dan mati. Patukan ular berbisa menjadi penyebabnya. Gigitan mematikan itu tidak hanya merebut kesadaran Aldila, tetapi juga menunjukkan lemahnya kewaspadaan semua pihak hidup bersama satwa liar.
Hingga Selasa (11/2/2020) petang, Adila masih terbaring koma dalam ruangan perawatan intensif anak di RSUD Gunung Jati, Kota Cirebon, Jawa Barat. Mata bocah itu terpejam. Alat bantu pernapasan terpasang di mulutnya. Beragam alat kesehatan terpasang di sekeliling tempat tidurnya, mencoba membantu Aldila tetap bernyawa.
Ibunya, Rusmiati (24), juga dipeluk lesu. Kepalanya lebih banyak tertunduk. Langit mendung Cirebon seakan mewakili kegalauannya. Dibekap galau, ia masih ingin di rumah sakit bersama anaknya. ”Saya belum pulang, trauma,” ucapnya lirih.
Baca juga: Bisa Ular Mematuk Kesadaran Warga Kota
Rumahnya di RT 006 RW 007 Blok Wage, Desa Pamengkang, Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, menyimpan memori buruk. Berjarak sekitar 13 kilometer dari pusat pemerintahan Kabupaten Cirebon, bangunan berdinding bata dan semen itu belakangan tak nyaman untuknya.
Di sana, spanduk bekas mengelilingi dinding kamar Adila. Kasur tanpa dipan tersimpan di kamar. Lantainya tanah dan semen. Di depan kamar, seekor ayam terkurung dalam kandang. Kayu bakar menumpuk di sekitarnya. Belakang rumahnya masih berupa kebun dan pohon bambu.
Rusmiati yang biasanya bekerja sebagai asisten rumah tangga bukan tidak suka dengan rumah yang baru berdiri beberapa bulan itu. Tetapi, di kamar itulah malapetaka bermula.
Sebelum digigit, kakak dan suami saya sempat melihat ular itu di depan dan belakang rumah beberapa hari lalu. Tetapi, enggak dibunuh.
Jumat (7/2/2020) sekitar pukul 23.30, Rusmiati dan suami terbangun. Adila menangis keras. Tak dinyana, ular berwarna belang-belang hitam dan bagian bawah tubuhnya berwarna krem itu menempel di betis Adila. Setelah ular disingkirkan, Rusmiati menimang anaknya yang menangis histeris tiada henti.
Ternyata setelah setengah jam, Rusmiati menemukan darah bekas gigitan ular, yang belakangan diketahui adalah ular weling (Bungarus candidus). Darah segar bercucuran dari telapak kaki Adila. Meski tidak ideal, pihak keluarga langsung mengikat bagian mata kaki Adila dengan harapan racun tidak menjalar ke bagian tubuh lainnya.
Sabtu (8/2/2020) dini hari, di bawah guyuran hujan deras dan genangan air, korban baru dibawa ke RS Putera Bahagia. Aldila dibawa menggunakan sepeda motor. Basah kuyup, kondisi kesehatan Aldila semakin lemah. Di parkiran RS, bocah itu muntah. Napasnya tersenggal. Aldila kritis. Tak ingin menunggu lama, dokter yang memeriksanya langsung merujuk Adila ke RSUD Gunung Jati.
”Sebelum digigit, kakak dan suami saya sempat melihat ular itu di depan dan belakang rumah beberapa hari lalu, tetapi enggak dibunuh,” kata Rusmiati. Ia tak tahu ular itu berbisa atau tidak.
Baca juga: Musim Hujan Ular Berbisa Bermunculan di Cirebon
Wakil Direktur Pelayanan Medik dan Perawatan RSUD Gunung Jati Siti Maria mengatakan, pihaknya berupaya maksimal untuk mengobati Adila. Sejauh ini, sudah 10 vial serum antibisa ular (SABU) diberikan kepada Aldila. Namun, Aldila belum juga bangun. Senyum gemasnya belum tersungging lagi dari wajahnya.
”Kami juga koordinasi dengan Dinas Kesehatan Kabupaten Cirebon untuk dapat membiayai perawatan pasien,” katanya.
Tri Maharani, Review Adviser WHO Snakebite Envenoming Working Group, juga ikut menangani Adila. Selain mengecek rumah pasien, Tri memberi pelatihan kepada dokter di sejumlah puskesmas dan RSUD Gunung Jati terkait penanganan pertama saat menghadapi korban gigitan ular.
Kasus langka
Kepala Dinkes Kabupaten Cirebon Eni Suhaeni mengatakan, dokter di puskesmas yang daerahnya kerap dilanda banjir ikut pelatihan itu. Setidaknya ada 13 daerah yang rawan banjir, termasuk Pamengkang yang kini dipadati belasan perumahan.
”Banjir bisa memicu munculnya ular. Kondisi rumah Adila juga memancing ular,” ucapnya. Pihaknya juga menyiapkan 100 vial SABU untuk menanggulangi kasus gigitan ular berbisa. Jumlah itu diklaim cukup.
Tri mengatakan, gigitan ular yang diderita Adila termasuk kasus langka. ”Ini ular Bungurus candidus khusus Cirebon. Hasil laboratorium, pembekuan darahnya normal, tetapi trambositnya menurun. Biasanya, Bungarus candidus menyerang saraf dan akhirnya gagal pernapasan. Untuk riset venom (bisa) belum ada di Indonesia, bahkan di dunia,” kata pakar gigitan ular dan toksikologi ini.
Menurut dia, kasus Adila bisa menjadi jalan masuk untuk riset baru terkait satwa melata itu. Dengan demikian, antibisa khusus ular ini bisa dikembangkan. Seperti diketahui, harga serum antibisa ular tertentu dapat mencapai Rp 150 juta per vial!
Lebih dari itu, kasus ini juga diharapkan mematuk kesadaran warga dan pemerintah terhadap ancaman ular. Apalagi, terjadi ketidakseimbangan ekosistem karena habitat ular terus tergerus pembangunan perumahan dan pabrik.
Ini ular Bungurus candidus khusus Cirebon. Hasil laboratorium, pembekuan darahnya normal, tetapi trambositnya menurun. Biasanya, Bungarus candidus menyerang saraf dan akhirnya gagal pernapasan. Untuk riset venom (bisa) belum ada di Indonesia, bahkan di dunia.
Masyarakat, misalnya, masih gamang terhadap penanganan pertama gigitan ular. Untuk kasus Adila, seharusnya dilakukan imobilisasi, yakni membuat seluruh bagian kaki yang tergigit tidak bergerak. Caranya seperti menangani kaki patah. Bisa ular cepat menyebar jika bagian tubuh yang digigit bergerak. Setelah itu, korban dibawa ke fasilitas kesehatan terdekat.
”Di Cirebon, sejak 2016, sekitar 10 orang meninggal karena gigitan ular berbisa. Jumlah ini bisa lebih besar karena banyak dari korban malah datang ke dukun. Padahal, tindakan dukun mengisap darah bekas gigitan ular itu salah,” katanya.
Sayangnya, katanya, pendidikan terhadap penanganan gigitan ular masih rendah karena pemerintah belum menjadikan kasus tersebut sebagai program prioritas, seperti halnya tengkes (stunting) atau demam berdarah dengue. Hingga kini, belum ada regulasi khusus tentang hal ini.
Padahal, golden period atau waktu emas penanganan gigitan ular hanya hitungan detik dan menit. Jika penanganannya salah, nyawa korban menjadi taruhannya. Tahun lalu saja, pihaknya mendata 130.000 kasus gigitan ular dengan kematian mencapai 54 orang. Bulan lalu, tercatat 7 orang tewas akibat gigitan ular.
”Imunitas kita itu bisa kebal terhadap bakteri dan virus, tetapi tidak pada gigitan ular,” ungkapnya.
Itu sebabnya, negara seperti Thailand dan Taiwan memberikan perhatian besar terhadap kasus gigitan ular. Tidak hanya mendanai risetnya, tetapi mereka juga mengedukasi warga.
”Di Thailand ada 25 jenis ular berbisa dan 7.000 kasus per tahun dan tidak ada kematian sejak 2016. Sementara di Indonesia ada 77 jenis ular berbisa tetapi belum jadi program prioritas,” ungkapnya.
Baca juga: Digigit Ular, Lupakan Mengikat dan Menyedot Luka
Di antara banyak hal yang harus diperbaiki, Rusmiati masih terus memelihara harap. Doa tak berhenti diucapkan kepada Yang Kuasa. Di antara penyesalan, ia masih berusaha tegar demi Aldila. Tak mudah, tapi dia harus yakin kesadaran Aldila bakal kembali.
Tantangan terbesarnya kali ini adalah membiayai pengobatan Aldila. Rusmiati kini sedang tak bekerja. Suaminya hanya buruh bangunan dengan penghasilan tak seberapa. Meski belum tahu berapa biaya pengobatan Aldila, Rusmiati yakin semua tak akan murah.
”Adila belum punya BPJS Kesehatan. Semoga saja ada yang membantu kami,” ucapnya pasrah.
Tanpa perubahan penanganan terhadap kasus gigitan ular, tidak menutup kemungkinan muncul Adila lain. Entah berapa anak yang bakal direnggut kesadarannya, berjuang di usia belia meniti benang tipis antara hidup dan mati.