Wabah Belum Reda, Peternak Kembali Mengisi Kandang
Para peternak babi kembali mengisi kandangnya dengan ternak baru, padahal wabah demam babi afrika belum reda. Akibatnya, baru beberapa minggu diisi, ternak kembali terjangkit penyakit itu dan mati.
Oleh
NIKSON SINAGA
·3 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Para peternak babi kembali mengisi kandangnya dengan ternak baru, padahal wabah demam babi afrika belum reda. Akibatnya, baru beberapa minggu diisi, ternak kembali terjangkit penyakit itu dan mati. Kandang seharusnya dikosongkan sampai wabah hilang. Kondisi itu menunjukkan, penyuluhan dan penanggulangan dari pemerintah tidak berjalan.
Pantauan Kompas, sejumlah peternak di sentra peternakan babi di Desa Helvetia, Kecamatan Sunggal, Kabupaten Deli Sedang, Sumatera Utara, Selasa (11/2/2020), sudah kembali mengisi kandangnya. Ternak-ternak di kandang itu sebelumnya mati diserang wabah demam babi afrika (african swine fever/ASF) sejak September 2019.
Kami tidak mendapatkan informasi apa pun dari pemerintah, kapan kami bisa mulai beternak lagi.
”Saya membeli 21 babi tiga pekan lalu. Kami tidak mendapatkan informasi apa pun dari pemerintah, kapan kami bisa mulai beternak lagi,” kata Jurtini boru Siahaan (55), peternak di Desa Helvetia.
Jurtini pun membeli bibit babi Rp 400.000 per ekor. Baru beberapa hari beternak, babinya sudah terjangkit ASF dan lima di antaranya mati. Ia pun bertambah rugi karena sebagian ternak yang masih tersisa dijual Rp 300.000 per ekor dan sebagian lagi masih dipelihara. Padahal, Oktober lalu, ia juga sudah kehilangan 30 babi karena diserang ASF.
Para peternak lain juga mengalami hal yang sama dengan Jurtini. Banyak peternak yang sudah kembali mengisi kandangnya dengan ternak baru dan akhirnya terjangkit virus ASF lagi. Para peternak mengatakan tidak mengetahui apa yang harus dilakukan untuk menghadapi ASF. Mereka menganggap wabah sudah reda karena sudah dikosongkan beberapa minggu. Sebagian besar bahkan belum tahu wabah apa yang menyerang ternak mereka.
Ketua Asosiasi Peternak Babi Sumatera Utara Hendri Duin Sembiring mengatakan, langkah peternak yang mulai memasukkan bibit baru ke kandang yang sudah terinfeksi wabah menunjukkan, pemerintah tidak melakukan penyuluhan apa pun.
”Kementerian Pertanian, Pemprov Sumut, dan pemerintah kabupaten/kota di Sumut selalu berjanji akan melakukan penanggulangan wabah ASF dalam setiap rapat dengar pendapat. Namun, hingga kini, penanganan wabah ini tidak kelihatan di lapangan,” kata Hendri.
Jika dibiarkan, peternak akan semakin terpuruk dan virus terus menyebar ke wilayah lain.
Hendri mengingatkan, penyakit ASF hingga kini belum ada vaksin dan obatnya. Virus juga bisa bertahan di kandang dan peralatannya hingga 100 hari setelah kandang kosong. Karena itu, satu-satunya cara untuk memutus penyebaran virus dan memulihkan daerah wabah adalah dengan pengurangan populasi dan pengosongan kandang.
Tindakan mengisi kembali kandang dengan ternak baru akan merugikan peternak dan menyambung rantai penyebaran virus. Hendri pun meminta agar Presiden Joko Widodo mendorong jajarannya bekerja karena ini menyangkut hajat hidup orang banyak. Jika dibiarkan, peternak akan semakin terpuruk dan virus terus menyebar ke wilayah lain.
Ketika Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo mendeklarasikan wabah ASF pada 12 Desember 2019, daerah wabah masih terbatas di 16 kabupaten/kota di Sumut. Kini, virus sudah menyebar ke 22 kabupaten/kota di Sumut dan juga sudah ditemukan kasus di Bali.
Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan Sumut Azhar Harahap mengatakan, salah satu kendala penanganan wabah ASF adalah minimnya anggaran yang tersedia. Mereka saat ini sedang mengajukan kebutuhan anggaran Rp 46 miliar kepada pemerintah pusat.
Anggaran itu, antara lain, untuk peningkatan biosekuriti, pengawasan lalu lintas ternak, pembentukan posko di kabupaten/kota, serta penyuluhan dan komunikasi kepada peternak. Mereka juga berencana memberikan bantuan ternak selain babi, seperti sapi, kambing, dan ayam, untuk membantu ekonomi peternak sambil menunggu daerah wabah pulih.
Azhar menyampaikan bahwa wabah ASF kini sudah menyebar di 22 kabupaten/kota di Sumut dengan jumlah kematian yang dilaporkan 46.245 ekor. ”Berdasarkan kematian yang dilaporkan, jumlah kerugian peternak sudah mencapai Rp 115 miliar,” katanya.