Suasana perpustakaan berukuran 6 meter x 12 meter terlihat sepi. Ribuan buku masih tertata di rak yang dibungkus oleh terpal.
Oleh
DEFRI WERDIONO
·4 menit baca
Jarum jam hampir menunjukkan pukul 11.30, tetapi suasana di sekitar Perpustakaan Anak Bangsa, Desa Sukopuro, Kecamatan Jabung, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Senin (3/2/2020), masih terasa sejuk. Renovasi atap membuat aktivitas perpustakaan tidak seramai biasanya. Hanya ada pembaca mengembalikan buku.
Suasana perpustakaan berukuran 6 meter x 12 meter terlihat sepi. Pendiri perpustakaan, Eko Cahyono (40), memutuskan menutup sementara perpustakaannya selama masa tukang memperbaiki atap, sejak Desember 2019. Atap ruang perpustakaan yang ada di tengah desa yang sebelumnya berbahan genteng itu diganti spandek.
Sementara itu, ribuan buku masih tertata di rak yang dibungkus oleh terpal. Beberapa novel remaja yang baru saja dikembalikan pembaca, Minggu (2/2/2020) sore, masih tertumpuk di meja di salah satu sudut ruangan. Di dekatnya tergantung rapi puluhan medali lari maraton yang diraih Eko, yang rajin mengikuti event lari di sejumlah kota beberapa tahun terakhir.
”Hari ini masih libur. Jadi, belum ada warga yang datang untuk membaca. Kalau mengembalikan buku masih bisa. Nanti kalau perbaikan atap sudah selesai akan dibuka lagi,” katanya.
Dengan koleksi 58.000 buku, Anak Bangsa menjadi perpustakaan terbesar di Malang, atau bahkan di Jawa Timur, yang didirikan oleh perorangan. Sejumlah buku langka yang menjadi koleksinya antara lain sejarah dunia Wall Chart of World History yang memiliki panjang halaman 4,57 meter hingga komik dan tesaurus universal.
Hari ini masih libur. Jadi, belum ada warga yang datang untuk membaca.
Perpustakaan yang berdiri pada 1998 ini didatangi tak kurang dari 50 orang setiap hari. Pada hari libur, jumlahnya bisa berlipat hingga 100 orang. Tidak hanya warga setempat yang datang ke situ, tetapi juga mahasiswa dan pengelola perpustakaan sejenis dari daerah lain.
Untuk warga, mereka tidak hanya membaca, tetapi juga berkesenian. Selain seperangkat angklung, ada juga perangkat audio dengan pengeras suara sebagai fasilitas pelengkap perpustakaan, yang punya halaman seluas 12 meter x 21 meter nan nyaman itu.
”Ini biasa mereka pakai karaoke. Biasanya anak-anak karaoke, setelah itu baru melihat-lihat buku dan membaca. Kalau angklung ini sudah ke mana-mana, dipinjam oleh sekolah,” ucapnya.
Keberadaan fasilitas pendukung membuat anak-anak merasa nyaman. Saat ini sulit mendatangkan anak-anak ke perpustakaan untuk membaca. Zaman telah berubah. Banyak anak di pelosok desa yang telah mengenal internet dan dunia maya. Akibatnya, banyak di antara mereka yang lebih memilih gawai ketimbang membaca buku.
Fenomena ini jelas menjadi tantangan bagi dunia perpustakaan, khususnya perpustakaan desa dan taman baca masyarakat. Pemilik perpustakaan pun harus memutar otak untuk menyediakan fasilitas yang tidak hanya berupa buku. Tujuannya tentu saja untuk menarik animo pembaca.
Selama ini yang ada, lanjut Eko kesan perpustakaan masih identik dengan orang datang, masuk, duduk, dan membaca. Padahal, perpustakaan tidak sekaku itu. Di perpustakaan, mereka bisa melihat aneka film dokumenter, eksplorasi bakat, hingga berkesenian. ”Kalau hanya buku saja, ya, sulit bertahan,” ucapnya.
Dikemas menyenangkan
Seperti halnya Perpustakaan Anak Bangsa, Laboratorium (Lab) Inspirasi Al Fatih yang berada di Desa Ngebruk, Kecamatan Sumberpucung, berusaha menyuguhkan pelayanan menarik agar anak- anak sekitar tertarik datang. Sejak berdiri Februari 2018, ruang literasi ini sengaja didirikan agar anak-anak setempat bisa jeda sejenak dengan gawai.
Di tempat ini, anak-anak tidak saja diajak bermain, seperti congklak dan egrang, tetapi juga mencoba beberapa teori ilmu sains sederhana yang biasa diajarkan di bangku sekolah. Kegiatannya pun tidak kaku hanya bermain dan belajar teori, tetapi juga kegiatan luar ruang (outbound). Semua dikemas menyenangkan dan gratis.
Pendiri Lab Inspirasi Al Fatih, Anis Suryani (25), mengatakan, demam gawai di daerahnya cukup kronis. Bahkan, dia mencontohkan, ada beberapa anak mencuri uang orangtua hingga ratusan ribu rupiah untuk membeli kuota internet gawai.
Upaya Anis mengajak anak jeda dari gawai pun tidak mudah. ”Rasa keberatan dari mereka tetap ada. Tetapi, kalau kita bisa alihkan dengan sesuatu yang lebih menarik, mereka akan suka juga,” ucapnya.
Di Malang lahir taman baca-taman baca baru yang konsepnya mengurangi kebiasaan anak dalam menggunakan gawai.
Ketua Forum Komunikasi Taman Baca Masyarakat Malang Raya Santoso Mahargono membenarkan bahwa perkembangan teknologi menjadi salah satu tantangan yang dihadapi oleh perpustakaan dan taman baca masyarakat di desa-desa di wilayahnya. Meski, di satu sisi, jumlah taman baca juga terus meningkat dari waktu ke waktu.
Fenomena ini, menurut Santoso, tidak hanya terjadi di Malang, tetapi juga daerah lain. Jumlah taman baca di Malang Raya saat ini lebih dari 130 unit yang tersebar di Kabupaten Malang, Kota Malang, dan Kota Batu.
Karena terpaan teknologi, menurut Santoso, di Malang lahir taman baca-taman baca baru yang konsepnya mengurangi kebiasaan anak dalam menggunakan gawai.
”Mereka membangun taman baca dengan tujuan mengurangi ketergantungan anak terhadap gawai. Caranya dengan membuat kegiatan lain, seperti seni budaya, olahraga, dan permainan tradisional,” ujarnya.
Pendiri perpustakaan dan taman baca masyarakat juga menyosialisasikan pembatasan gawai di rumah masing-masing, terutama pukul 18.00-21.00. Para pendiri taman baca berkeliling untuk mengampanyekan program pembatasan gawai kepada orangtua. ”Jadi, tak bisa hanya mengandalkan buku saja sekarang. Meski sebagian besar taman baca masih mengandalkan buku semata,” katanya.