Praktik alih muat ikan di tengah laut dilarang sejak Susi Pudjiastuti menjabat Menteri Kelautan dan Perikanan. Kini, praktik alih muatan di tengah laut itu dibiarkan berlangsung dalam pantauan sejumlah aparat.
Oleh
·3 menit baca
AMBON, KOMPAS - Lebih dari 1.000 kapal ikan yang beroperasi di Laut Arafura, Maluku, terdeteksi melakukan alih muat ikan di tengah laut, yang melanggar peraturan menteri kelautan dan perikanan. Sebelum diangkut kapal barang ke Pulau Jawa, ikan-ikan itu dipindah ke tongkang di lepas pantai.
Informasi yang dihimpun hingga Senin (10/2/2020), bongkar muat ikan di tengah laut itu berlangsung satu tahun terakhir. Kapal-kapal ikan yang sebagian besar dari pantai utara Pulau Jawa membawa ikan ke salah satu tongkang di lepas pantai Dobo, ibu kota Kabupaten Kepulauan Aru. Selanjutnya, kapal barang membawanya ke Pulau Jawa.
Ikan tidak didaratkan ke pelabuhan terdekat, seperti Pelabuhan Perikanan Pantai Dobo. Praktik alih muat ikan di tengah laut dilarang sejak Susi Pudjiastuti menjabat Menteri Kelautan dan Perikanan, yang tertuang dalam Permen KP Nomor 57 Tahun 2014. Kini, praktik alih muatan di tengah laut itu dibiarkan berlangsung dalam pantauan sejumlah aparat.
Pendapatan yang kami peroleh hanya proses pengisian air bersih.
Sejak November 2019, kapal-kapal barang dari Pulau Jawa berlomba-lomba ke perairan di Kepulauan Aru untuk mengangkut ikan ke Pulau Jawa. Kapal barang itu tak sempat lagi mengangkut barang di pelabuhan lain di Maluku. Saat Susi masih menjabat, alih muat di laut tidak semasif saat ini.
Kepala Pelabuhan Perikanan Pantai Dobo Tommy Bela yang dihubungi dari Ambon membenarkan proses alih muat ikan di lepas pantai. Lokasi tongkang terlihat jelas dari pelabuhan. Data Tommy, 1.289 kapal berukuran di atas 30 gros ton dari pantai utara Pulau Jawa beroperasi di sana.
Semua kapal atas izin Kementerian Kelautan dan Perikanan. Tommy menuturkan, sejauh ini tidak ada kontribusi dari kapal-kapal ikan itu masuk ke pendapatan daerah. Pelabuhan Perikanan Pantai Dobo ada di bawah Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku. ”Pendapatan yang kami peroleh hanya proses pengisian air bersih,” ujarnya.
Dalam satu bulan, setiap kapal ikan yang beroperasi di Laut Arafura bisa menangkap paling sedikit 50 ton ikan. Dengan begitu, dari 1.289 kapal tersebut, jumlah ikan yang diambil dari Laut Arafura minimal 64.450 ton per bulan. Jika setiap 1 kilogram ikan diambil retribusi Rp 1.000, pendapatan daerah dari sektor itu bisa Rp 64,4 miliar per bulan.
Ketua Program Studi Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Pattimura, Ambon, Ruslan Tawari menilai alih muat ikan itu harus ditelusuri. Ia mempertanyakan pembiaran terhadap pelanggaran itu oleh pihak-pihak di daerah. ”Di sana, kan, banyak lembaga berkompeten yang mengurus hal tersebut. Kenapa ini dibiarkan? Ada apa?” ujarnya.
Ruslan yang kerap meneliti penangkapan ikan ilegal itu mengatakan, banyak mafia perikanan kembali beraksi di Laut Arafura. Jika sebelumnya pelaku banyak didominasi nelayan asing, kini dari dalam negeri. Laut Arafura yang kaya potensi ikan pun jadi sasaran pengerukan. Pemerintah pusat diharapkan tegas seperti era Susi Pudjiastuti.
Menurut dia, kejadian saat ini mengingatkan kembali praktik sebelum era Susi, saat Laut Arafura menjadi surga para mafia perikanan. Data yang ada, dalam satu tahun terdapat 8.484 kapal tidak sesuai izin beraktivitas di Laut Arafura. Kapal-kapal itu berukuran besar dan mampu menampung lebih dari 2,02 ton ikan. Kerugian negara diperkirakan Rp 40 triliun per tahun.
Hingga Senin malam, Kompas berusaha menghubungi pihak Stasiun Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Tual, tetapi belum tersambung. Kantor stasiun yang ada di bawah Kementerian Kelautan dan Perikanan itu terletak di Kota Tual, sekitar 15 menit penerbangan dari Dobo, Kepulauan Aru.