Meski mendapatkan tantangan besar, media massa diharapkan tetap menjadi penjernih. Bukan ikut menyebar hoaks di era digital.
Oleh
JUMARTO YULIANUS
·4 menit baca
BANJARMASIN, KOMPAS — Media massa konvensional menghadapi tantangan besar pada era disrupsi. Pesaing utamanya kini bukan lagi sesama media massa, melainkan media sosial yang menguasai informasi dan teknologi digital. Untuk bertahan dan terus berkembang, media konvensional perlu bertransformasi.
Wakil Ketua Dewan Pers Hendry Ch Bangun yang ditemui di sela-sela acara syukuran puncak Hari Pers Nasional (HPN) 2020 di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Minggu (9/2/2020), mengemukakan, penelitian terakhir Dewan Pers pada November 2019 menunjukkan hampir 70 persen masyarakat sekarang mengandalkan informasi dari media sosial.
”Mereka merasa sudah cukup dengan informasi itu sehingga tidak lagi mencari berita yang benar. Ini menjadi tantangan terbesar media massa untuk meyakinkan dan mengedukasi masyarakat agar mengonsumsi informasi yang benar,” katanya.
Menurut Hendry, media massa menjual informasi yang sudah diolah atau siap saji, sedangkan media sosial menjual informasi yang masih mentah. Informasi media sosial masih perlu disaring dan dipertanyakan kebenarannya karena tidak melewati proses konfirmasi dan verifikasi. ”Media konvensional perlu menjernihkan informasi itu dengan proses konfirmasi dan verifikasi,” ujarnya.
Media konvensional perlu menjernihkan informasi itu dengan proses konfirmasi dan verifikasi.
Namun, tugas media massa untuk itu tidaklah mudah. Karena, dalam penelitian terakhir Dewan Pers, sekitar 44 persen masyarakat mengeluarkan kurang dari Rp 50.000 per bulan untuk mengonsumsi media. Hanya 20 persen masyarakat yang mau mengeluarkan Rp 100.000 sampai Rp 150.000 per bulan untuk berlangganan koran dan sebagainya. ”Sebagian besar maunya free, gratis,” ujarnya.
Tak dimungkiri, media sosial sering kali memberikan informasi lebih cepat daripada media massa. Hendry pun tidak mempersoalkan jika media massa mengutip informasi atau pernyataan tokoh publik di media sosial.
”Sumber informasi untuk berita bisa dari mana saja, termasuk dari media sosial. Namun, kalau mau menggunakan informasi itu, syaratnya tetap sama, yaitu harus melakukan verifikasi dan konfirmasi kepada pemilik akun,” katanya.
Saling melengkapi
Menurut Pemimpin Redaksi Kalimantan Post Hj Sunarti, media massa dan media sosial bisa saling melengkapi. Informasi yang sudah beredar di media sosial bisa saja menjadi berita di media massa setelah proses verifikasi dan konfirmasi. ”Media massa jangan ikut-ikutan menyebarkan hoaks, tetapi harus meluruskan informasi yang viral di media sosial,” katanya.
Untuk menyesuaikan dengan perubahan, Sunarti mengatakan, Kalimantan Post yang semula adalah media cetak sudah mengembangkan media daring kalimantanpost.com. Media daring memberikan informasi secara cepat, sedangkan media cetak memberikan informasi secara lengkap dan mendalam. Apa yang diberitakan kemudian juga disebarluaskan lewat berbagai media sosial.
”Wartawan kami yang sudah terbiasa menulis untuk koran masih agak susah menulis untuk online sehingga harus didesak terus. Setiap hari kami tak pernah bosan mengingatkan wartawan karena kami harus berubah step by step,” tuturnya.
Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate mengatakan, era sudah berganti. ”Kita harus bertransformasi, bermigrasi masuk ke digital space,” kata Johnny saat menjadi pembicara dalam Konvensi Nasional Media Massa dengan tema ”Daya Hidup Media Massa di Era Disrupsi, Tata Kelola Seperti Apa yang Dibutuhkan?” di Banjarmasin, Kalsel, Sabtu (8/2).
Menghadapi disrupsi, menurut Johnny, yang perlu disiapkan tidak hanya daya hidup, tetapi juga kekuatan daya saing. ”Kita harus memastikan industri media dan profesi wartawan cerah di masa depan,” ujarnya.
Untuk itu, kata Johnny, industri media harus memperhatikan tiga alfabet baru, yaitu triple I. Tiga huruf I itu adalah invensi, inovasi, dan investasi. Industri media akan tertinggal jika tidak melakukan invensi atau reka cipta. ”Invensi menjadi satu keharusan dan mutlak,” katanya.
Inovasi juga sangat penting. Tanpa inovasi yang baru dan relevan dengan kepentingan pasar, industri media akan menjadi sunset industry. Tak kalah penting berikutnya adalah investasi. ”Disrupsi itu tidak saja membawa teknologi yang hebat, tetapi juga kekuatan modal atau kapital yang begitu besar. Kita perlu melihat konsolidasi nasional, bagaimana mengatur dan menata industri media di dalam negeri,” ucapnya.
Chairman CT Corp Chairul Tanjung mengatakan, media konvensional sekarang ini harus bersaing dengan media digital yang lebih cepat memberikan informasi. Media digital itu sering kali tidak hanya sebagai pemberi informasi, tetapi juga bisa melakukan hal-hal lain sehingga merebut pasar media konvensional.
Mengutip Charles Darwin, Chairul menyampaikan, media yang bakal selamat atau bertahan adalah media yang mampu beradaptasi dengan keadaan. Bukan yang paling kuat dan cerdas yang akan bertahan, melainkan yang bisa menyesuaikan diri dengan keadaan. ”Sekarang, kita sampai pada perubahan yang luar biasa dan kita semua dituntut beradaptasi dengan perubahan itu,” ujarnya.