Keluhkan Penanggulangan Wabah, Ribuan Peternak Unjuk Rasa
Ribuan peternak babi berunjuk rasa di kantor DPRD Sumatera Utara, Medan, Senin (10/2/2020). Mereka menuntut pemerintah lebih serius menanggulangi demam babi Afrika yang telah memukul ekonomi mereka.
Oleh
NIKSON SINAGA
·3 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Ribuan peternak babi berunjuk rasa di kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera Utara, Medan, Senin (10/2/2020). Mereka menuntut agar pemerintah lebih serius menanggulangi demam babi Afrika (African swine fever) yang sudah enam bulan mewabah di Sumut dan berdampak bagi perekonomian warga.
”Selama enam bulan wabah menyebar, belum ada langkah penanggulangan dari pemerintah yang dirasakan peternak,” kata koordinator aksi Boasa Simanjuntak dalam orasinya.
Massa yang tergabung dalam Gerakan Aksi Damai Save Babi itu berasal dari peternak dan pengusaha rumah makan babi di Medan, Deli Serdang, Karo, Langkat, dan Binjai. Mereka berkumpul di Lapangan Merdeka, Medan, sejak pukul 07.00.
Para peternak yang memakai baju putih-hitam dan ulos itu menyampaikan aspirasi dengan membentangkan spanduk, poster, dan berorasi. Mereka lalu berjalan sambil berorasi dari Lapangan Merdeka menuju kantor DPRD Sumut di Jalan Imam Bonjol.
Para peternak langsung memblokir Jalan Imam Bonjol. Massa memenuhi jalan sepanjang lebih kurang 500 meter. Boasa mengatakan, pihaknya meminta Presiden Joko Widodo menetapkan status bencana akibat wabah demam babi Afrika (ASF) agar penanganan maksimal dan ada penanggulangan kerugian peternak. Peternak juga meminta tidak ada pemusnahan ternak, penangkapan peternak babi yang membuang bangkai, dan pelarangan penjualan babi ke luar Sumut.
Effendi Silaen (40), peternak dari Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, menuturkan, pihaknya menyesalkan karena hingga kini belum mendapat bantuan atau penyuluhan apa pun dari pemerintah. ”Kami bahkan tidak tahu apa yang harus kami lakukan karena nama penyakitnya saja kami tidak tahu,” katanya.
Effendi menyebutkan, sebanyak 22 ekor ternak babinya mati pada September hingga November 2019. Saat ini, ternak babinya yang tersisa hanya 11 ekor. Ia pun belum bisa menjual ternaknya karena pasar sepi. Harganya anjlok dari Rp 30.000 menjadi Rp 15.000 per kilogram. Ia pun akhirnya memulung sampah agar bisa membiayai kehidupan keluarganya.
Menurut Effendi, sekitar 300 peternak berkumpul sejak pukul 05.00 di desanya. Mereka mengumpulkan uang Rp 15.000 per keluarga agar bisa menyewa beberapa mobil pikap untuk mengangkut mereka ke kantor DPRD Sumut. ”Kami berunjuk rasa meninggalkan anak-anak kami untuk menuntut agar pemerintah jangan menelantarkan para peternak,” ujarnya.
Ketua Komisi B DPRD Sumut Viktor Silaen mengatakan, mereka menerima aspirasi peternak tersebut dan akan meneruskannya kepada pemerintah. ”Kami sudah berulang kali memanggil Pemerintah Provinsi Sumut agar penanggulangan bisa dilakukan secara maksimal,” ucapnya.
Viktor mengatakan, pemerintah tidak bisa main-main karena penanggulangan wabah ASF menyangkut hajat hidup orang banyak. Ia menambahkan, mereka juga akan meminta pemerintah pusat mengoptimalkan penanggulangan ASF di Sumut.
Sementara itu, Kepala Bidang Kesehatan Hewan Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan Muhaimin mengatakan, sejauh ini mereka sudah berupaya menanggulangi wabah ASF dengan membagikan disinfektan, penutupan lalu lintas ternak babi, dan penanganan bangkai. Hingga saat ini, sudah lebih dari 43.600 ternak babi yang mati di 18 kabupaten/kota di Sumut. ”Jumlah kematian ternak babi terus menurun,” ucapnya.
Muhaimin juga menegaskan, pemerintah tidak akan melakukan pemusnahan ternak. Penanggulangan dilakukan dengan peningkatan biosekuriti. Ia juga meminta peternak tidak membuang bangkai ternak ke sungai, hutan, atau jalan agar penyebaran virus bisa ditekan.