Perjanjian Perdagangan Perbatasan Indonesia-Filipina Tak Lagi Relevan
Kesepakatan perdagangan lintas batas negara antara Filipina dan Indonesia di wilayah Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Kepulauan Talaud yang dibuat pada 1974 dinilai tidak lagi relevan.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
MANADO, KOMPAS — Kesepakatan perdagangan lintas batas negara antara Filipina dan Indonesia di wilayah Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Kepulauan Talaud yang dibuat pada 1974 dinilai tidak lagi relevan. Warga perbatasan yang tidak memahami peraturan rentan terkena tuduhan tindak kriminal penyelundupan.
Dihubungi dari Manado, Sulawesi Utara, Kamis (6/2/2020), Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Kepulauan Sangihe Feliks Gaghaube mengatakan, kesepakatan perdagangan di perbatasan antara Filipina dan Indonesia masih berlaku hingga kini untuk mengatur perdagangan tradisional lintas batas. Namun, kondisi perekonomian saat ini sudah jauh berbeda.
Feliks mencontohkan, muatan pergi dan balik dengan sebuah perahu atau kapal hanya dibatasi 150 dollar AS per orang menurut perjanjian 1974. Namun, 1 dollar AS saat itu setara Rp 415 sehingga nilai perdagangan hanya dibatasi Rp 62.250.
Batas itu telah ditingkatkan menjadi 250 dollar AS per orang oleh Peraturan Menteri Keuangan Nomor 188 Tahun 2010. Jika nilai tukar Rp 13.700 per dollar AS saat ini, nilai transaksi minimal per orang menjadi Rp 3,42 juta. Namun, Feliks menilai angka tersebut masih tidak cukup.
”Kami ini kabupaten kepulauan yang potensinya ikan, dan pasar Filipina cukup bagus. Bayangkan saja, ikan tuna harganya Rp 50.000 per kilogram. Kalau satu ekor saja bisa 60 kilogram dan seorang nelayan bisa dapat beberapa ekor, kan tetap saja tidak bisa dijual maksimal ke Filipina,” kata Feliks.
Perjanjian dagang 1974 itu menetapkan beberapa kecamatan kepulauan menjadi wilayah perdagangan perbatasan, yaitu Bukide dan Marore di Kepulauan Sangihe serta Nanusa dan Miangas di Talaud. Di Filipina, Pulau Balut di kota Sarangani ditetapkan sebagai area perdagangan perbatasan.
Hanya warga di kecamatan-kecamatan itu yang boleh melintasi batas untuk berdagang. Mereka harus memiliki pas lintas batas dan izin berdagang. Warga Indonesia diperbolehkan menjual berbagai produk kecuali minyak dan hasil tambang. Sementara warga Filipina menjual kebutuhan konsumsi sehari-hari, seperti alat pertukangan.
Feliks menilai jenis barang yang diatur perjanjian itu masih relevan dengan kebutuhan warga perbatasan kini. Pihaknya menjaga komunikasi dengan Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea Cukai di Tahuna serta kantor-kantor karantina di Tahuna, ibu kota Kepulauan Sangihe.
Kepala Seksi Kepatuhan Internal dan Penyuluhan Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea Cukai Manado Ari Sugiarto mengatakan, aktivitas perdagangan tradisional lintas batas dari Sangihe dan Talaud masih berlangsung hingga kini. Namun, pihaknya tidak dapat memastikan jumlah perdagangannya.
”Masih ada, tetapi nilainya sangat kecil. Transaksi di atas 250 dollar AS akan dikenai pajak. Semua pencatatan terpusat di pos lintas batas di Marore dan Miangas, tetapi tidak bisa langsung dikirim ke sini karena keterbatasan fasilitas. Kami selalu dapat dalam bentuk laporan hard copy,” kata Ari.
Menurut perjanjian, ada petugas keimigrasian, bea cukai, serta karantina perikanan, pertanian, dan kesehatan yang berjaga di sana. Namun, ia tidak bisa menjamin semua transaksi di wilayah kepulauan dapat tercatat.
”Memang, bea cukai tidak bisa menjaga semua pulau di sana. Ada saja warga yang lewat pelabuhan ’tikus’ di pulau-pulau lain. Akibatnya, ada saja yang kedapatan melanggar oleh penegak hukum,” ujar Ari.
Terakhir, Direktorat Polisi Air dan Udara Sulut menangkap SB (55), warga Kecamatan Nusa Tabukan, karena diduga membawa 59 ekor ayam Filipina dan tiga karung pakan ayam ke Pelabuhan Petta di Pulau Sangihe. Direktur Polairud Sulut Ajun Komisaris Besar Edward Indharmawan mengatakan, SB tidak memiliki dokumen kesehatan hewan dan karantina.
”Pengakuan pelaku, hewan itu selundupan dari Filipina. Pertama dibongkar dulu di Pulau Nusa, kemudian diangkut ke Petta dengan perahu kayu bermesin motor tempel,” kata Edward.
Pelaku diduga melanggar Pasal 31 Angka (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan. Pihaknya tengah berkonsultasi dengan Balai Karantina Pertanian Manado.
Di lain pihak, Kepala Balai Karantina Pertanian Manado Junaedi mengatakan, ayam-ayam itu telah memiliki surat keterangan kesehatan hewan dari dinas terkait di Tahuna beserta dokumen karantina. Anggota stafnya telah memastikan itu dan ayam-ayam SB pun dinilainya sah berada di Indonesia.
Junaedi menekankan, pihaknya bertugas mencegah masuknya hama dan penyakit ke Indonesia. Namun, tidak ada petugas di pos lintas batas Marore dan Miangas sekalipun ada perjanjian dagang dan pelintasan batas antara Indonesia dan Filipina.
”Jika bersifat insidental, kami dapat mengirimkan petugas ke sana. Tetapi, sejauh ini kami tidak pernah melayani perdagangan tradisional lintas batas dengan Filipina karena Marore dan Miangas bukan wilayah pemasukan menurut keputusan menteri,” kata Junaedi.