Banyak keraton dan kerajaan di Indonesia minim kepemilikan dokumen atau catatan tertulis. Kondisi ini rentan memicu sejumlah modus penipuan yang meresahkan masyarakat.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·2 menit baca
MAGELANG, KOMPAS — Banyak keraton dan kerajaan di Indonesia minim kepemilikan dokumen atau catatan tertulis. Kondisi ini rentan memicu sejumlah modus penipuan yang dilakukan sejumlah pihak yang ujung-ujungnya merugikan masyarakat.
Salah satu yang menyita perhatian adalah modus penipuan mengatasnamakan Keraton Agung Sejagat (KAS) di Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Oleh pengikutnya, KAS disebut kerajaan yang muncul sebagai perwujudan perjanjian 500 tahun lalu yang dibuat antara Kerajaan Majapahit dan Portugis. Perjanjian itu dibuat di masa berakhirnya Kerajaan Majapahit pada 1518. Padahal, berdasarkan catatan sejarah, Kerajaan Majapahit runtuh tahun 1478.
Semua kisah itu pada akhirnya hanya isapan jempol. Polisi memastikan aktivitas KAS sebagai modus penipuan. Pimpinan KAS meminta dana hingga puluhan juta rupiah kepada setiap pengikutnya dengan iming-iming jabatan dan imbalan harta melimpah.
”Cukup dengan mengangkat sedikit cerita rakyat yang sudah banyak didengar, kemudian dibumbui imajinasi, maka siapa pun bisa mendeklarasikan dan membuahkan fakta kerajaan baru,” ujar dosen Jurusan Pendidikan Bahasa Jawa Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta, Purwadi, Rabu (5/2/2020).
Menurut dia, keraton yang paling banyak memiliki catatan tertulis atau literasi adalah Keraton Surakarta. Banyak data dan catatan sejarah dari Keraton Surakarta pun bisa ditemukan dengan mudah di internet.
Akan tetapi, catatan sejarah seperti itu belum dimiliki banyak keraton dan kerajaan lain di Tanah Air. Akibatnya, banyak masyarakat tidak mengetahui keberadaan keraton dan sejarahnya yang benar.
Gusti Pangeran Haryo Prabukusumo, atau yang akrab disapa Gusti Prabu, adik Sultan Yogyakarta Hamengku Buwono X, menilai, banyak keraton atau kerajaan saat ini memilih tertutup. Mereka hanya menyelenggarakan tradisi dan acara-acara keraton di lingkup internal. Hal ini terjadi karena banyak keturunannya khawatir tradisi yang dilakukan dengan melibatkan masyarakat luas itu justru dinilai sebagai pemberontakan.
”Karena masih menyelenggarakan tradisi-tradisi kerajaan, mereka khawatir dianggap menolak NKRI,” ujarnya.
Karena masih menyelenggarakan tradisi-tradisi kerajaan, mereka khawatir dianggap menolak NKRI.
Menyikapi kondisi tersebut, Gusti Prabu berharap pemerintah turun tangan. Salah satunya, dukungan dana untuk kelangsungan hidup kerajaan, keluarga, dan orang yang terlibat di antaranya. Hal ini perlu dilakukan sebagai upaya menjaga kerajaan tersebut tetap bertahan menjadi bagian dari kekayaan budaya Indonesia.
Ke depan, ia juga ingin pemerintah mendata kerajaan, kadipaten, kepala suku, serta trah dari keraton dan kerajaan, yang berdiri pada awal mula Indonesia merdeka. Seluruh data tersebut harus didukung dokumen dan bukti kuat yang bisa dipertanggungjawabkan.
”Dengan pendataan dan kemudian memublikasikannya secara luas, harapannya tidak ada lagi yang dengan mudahnya mengaku keturunan kerajaan tertentu,” katanya.