Gus Sholah dan Kesetiaan Menjaga Tali Rekonsiliasi
Kepergian Salahuddin Wahid (77) atau yang akrab disapa Gus Sholah meninggalkan sejuta kenangan bagi para murid dan kerabatnya.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kepergian Salahuddin Wahid (77) atau yang akrab disapa Gus Sholah meninggalkan sejuta kenangan bagi para murid dan kerabatnya. Semasa hidup, Gus Sholah tak pernah berhenti melantangkan rekonsiliasi di tengah konflik yang melanda bangsa Indonesia. Bahkan, hingga akhir hayatnya pun dia tetap berpesan agar Nahdlatul Ulama bisa ikut menjaga tali rekonsiliasi itu.
Pelayat datang berbondong-bondong membawa doa dan hati yang sedih di hadapan jenazah Gus Sholah, yang disemayamkan di rumah duka, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, Senin (3/2/2020) dini hari. Gema selawatan yang tak putus-putus menemani perjalanan Gus Sholah ke surgawi.
Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, itu meninggal dunia di Rumah Sakit Harapan Kita, Jakarta Barat, Minggu (2/2/2020) pukul 20.55. Gus Sholah dimakamkan Senin sore di kompleks pemakaman Pondok Pesantren Tebuireng, tepat di samping makam kakaknya, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, Presiden ke-4 RI.
Staf Khusus Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila Benny Susetyo tak pernah bisa melupakan awal perjumpaannya dengan Gus Sholah pada tahun 1996 saat terjadi pembakaran gereja-gereja dalam kerusuhan di Situbondo, Jawa Timur.
Dari kasus itu, Benny menjadi saksi ide dan tindakan Gus Sholah yang konsisten memperjuangkan keberagaman di Indonesia. ”Banyak visi yang sama. Beragama untuk kemanusiaan dan keadilan,” kata Benny.
Kisah menjaga kesetaraan bagi bangsa Indonesia ini berlanjut hingga ke tanah Papua—yang ketika itu masih disebut Irian Jaya—pada 1999. Saat itu, Gus Dur baru menjabat presiden.
Benny dan Gus Sholah dipercaya Presiden untuk membangun rekonsiliasi di tanah Papua yang kala itu ramai dengan gerakan Papua merdeka. Solusi yang dicetuskan adalah rancangan untuk membangun tanah Papua damai.
Benny pun mengajak Gus Sholah bertemu dengan para uskup Papua untuk mencari solusi perdamaian bagi ”Bumi Cenderawasih” di Wisma Konferensi Waligereja Indonesia. Sejak saat itu, Gus Sholah memiliki hubungan baik dengan Uskup Jayapura Leo Laba Ladjar.
”Kami berdiskusi bagaimana membangun pendekatan kultural budaya sehingga Papua menjadi tanah damai dengan pendekatan budaya itu. Akhirnya, terjadilah rekonsiliasi sehingga Gus Dur datang ke Papua,” ucap Benny.
Tak berhenti di Papua, perjumpaan Benny dan Gus Sholah berlanjut intensif mengatasi konflik Ambon (Maluku) dan Poso (Sulawesi Tengah). Mereka pun menginisiasi pertemuan tim lintas agama.
”Saya belajar dari Gus Sholah dari pengalaman-pengalaman konflik ini. Pentingnya membangun rekonsiliasi dan persaudaraan,” ujar Benny.
Konsistensi idealisme Gus Sholah terus terjaga, bahkan sampai gelaran Pemilu Presiden 2019, yang mencampurkan kepentingan politik dan agama. Menjelang Pilpres 2019, Benny ingat betul Gus Sholah menyempatkan diri untuk berdialog di Pondok Pesantren Tebuireng.
Gus Sholah dan Benny berdiskusi mengenai masa depan demokrasi Indonesia. Yang utama adalah menyelamatkan demokrasi Indonesia dari politik identitas.
”Gus Sholah berharap bagaimana kita waktu itu menjaga keindonesiaan, Bhinneka Tunggal Ika, keberagaman, dan mengedepankan rekonsiliasi. Waktu itu Gus Sholah ngomong, kalau benturan seperti ini terus, kapan kita membangun? Maka, harus ada rekonsiliasi supaya energi kita tidak terpecah dan tidak konflik terus,” tutur Benny, seraya mengenang waktu bersama Gus Sholah.
Menteri Agama (2014-2019) Lukman Hakim Saifuddin pun melihat sosok Gus Sholah sebagai tokoh nasional yang sangat peduli dengan ajaran Islam yang moderat dan Islam yang mampu mengayomi seluruh anak bangsa.
”Meskipun kita berbeda-beda, beliau mampu mengatakan bahwa pada hakikatnya kita diikat oleh tali persaudaraan,” kata Lukman.
Masa depan NU
Kecintaan Gus Sholah kepada bangsa terefleksi pada ajaran-ajaran yang ia tanamkan di Nahdlatul Ulama (NU).
Lukman menyampaikan, Gus Sholah sangat peduli dengan masa depan NU. Di hari-hari terakhir, Gus Sholah selalu menanyakan kondisi NU dan pengembangan pondok pesantren secara keseluruhan di Indonesia.
”Obsesi beliau bagaimana pesantren bisa semakin berkembang dan NU sebagai ormas (organisasi masyarakat) Isam di Indonesia juga semakin nyata memberikan kontribusi dalam ikut menjaga keindonesiaan,” ucap Lukman.
Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun pun sependapat bahwa Gus Sholah memiliki perhatian yang besar terhadap NU.
Cak Nun masih ingat betul pesan yang disampaikan Gus Sholah kepada dirinya pada 1 November 2019. Gus Sholah sebenarnya masih berkeinginan menghadiri Muktamar Ke-34 NU yang akan digelar pada 22-27 Oktober 2020 di Lampung.
Gus Sholah ingin Muktamar NU berlangsung bersih sebagaimana Khitah NU. ”Cita-cita terakhirnya sebelum wafat adalah ingin mengawal Muktamar NU berikutnya, diusahakan supaya bebas dari money politics (politik uang),” kata Cak Nun.
Cak Nun menilai Gus Sholah adalah seorang ulama yang modern. Jika kakaknya, Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, adalah lulusan Universitas Al Azhar, Kairo, Gus Sholah adalah seorang insinyur lulusan Institut Teknologi Bandung.
”Jadi, beliau ini belajarnya modern sehingga berusaha merasionalkan semuanya,” ungkap Cak Nun.
Pemikiran rasional itu, lanjut Cak Nun, juga ditunjukkan oleh Gus Sholah saat Pilpres 2019. Menurut Cak Nun, pandangan Gus Sholah cenderung agak berbeda dengan ulama lain.
”Beliau lebih rasional dan lebih punya pilihan yang jernih. Beliau tidak bisa dikooptasi, diseret, dan diganggu hal-hal yang sifatnya non-nilai, seperti uang dan jabatan. Beliau, insya Allah, orang yang konsisten terhadap itu,” ujar Cak Nun.
Kini, Gus Sholah telah pergi. Namun, nilai-nilai yang ia tanamkan tentu tak akan mudah mati apabila kita ikut menjaga tali rekonsiliasi yang telah ia ikatkan di negeri ini. Terima kasih dan selamat jalan, Gus Sholah!