Pemerintah dan DPRD Kabupaten Cirebon segera merevisi peta tata ruang daerah yang berlaku 2018-2038. Perubahan tersebut untuk mengakomodasi pembangunan perumahan bersubsidi yang lokasinya dinilai melanggar tata ruang.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·3 menit baca
CIREBON, KOMPAS — Pemerintah dan DPRD Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, segera merevisi peta tata ruang daerah yang berlaku 2018-2038. Perubahan tersebut untuk mengakomodasi pembangunan perumahan bersubsidi yang lokasinya dinilai melanggar tata ruang. Padahal, sejumlah perizinan perumahan tersebut telah terpenuhi.
”Februari sudah harus selesai pembahasannya (revisi peta tata ruang),” ucap anggota DPRD Kabupaten Cirebon Yoga Setiawan, di Cirebon, Minggu (2/2/2020). Peta yang dimaksud merupakan lampiran Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2018 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Cirebon 2018-2038.
Revisi ini merupakan salah satu kesepakatan dalam rapat antara forum koordinasi pimpinan daerah Kabupaten Cirebon, Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Cirebon, dan Forum Komunikasi Pengembang Perumahan Cirebon (FKPPC), Rabu (29/1) petang. Rapat itu bertujuan mencari jalan keluar atas terhambatnya pembangunan ribuan rumah bersubsidi di Cirebon.
Revisi diperlukan karena terdapat penafsiran berbeda terhadap peta tata ruang khusus perumahan antara BPN dan pemerintah setempat.
Menurut Yoga, revisi diperlukan karena terdapat penafsiran berbeda terhadap peta tata ruang khusus perumahan antara BPN dan pemerintah setempat. BPN menilai sejumlah pengembang melanggar Perda No 7/2018. Atas dasar itu, BPN pun menolak areal seluas 481.044 meter persegi yang akan dijadikan lokasi perumahan bersubsidi.
Lokasi perumahan tersebut tumpang tindih dengan lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B) yang dilarang beralih fungsi. Akibatnya, BPN menolak pengajuan pertimbangan teknis pertanahan oleh pengembang. Sertifikat hak guna bangunan (SHGB) pun tidak diterbitkan.
Padahal, pengembang telah mengurus berbagai perizinan selama 6-14 bulan. Pengembang pun sudah mengantongi fatwa lokasi hingga izin mendirikan bangunan dari pemkab. Namun, SHGB belum terbit sehingga proyek itu terbengkalai.
Yoga tidak tahu pasti penyebab perbedaan pandangan itu. Namun, menurut dia, revisi menjadi solusi atas kisruh tersebut. Hal ini berdasarkan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN No 22/2019 tentang Percepatan Perizinan Pemanfaatan Ruang.
Dalam aturan itu, apabila RTRW belum mengakomodasi kepentingan pemodal, bupati bisa mengajukan usulan pemanfaatan ruang kepada gubernur. Jika disepakati, gubernur menerbitkan rekomendasi kesesuaian tata ruang. ”Dengan begitu, kepala daerah berwenang memberikan diskresi,” ucapnya.
Revisi akan berpegang pada regulasi yang ada.
Ketika ditanya apakah revisi peta berpotensi melebar dengan penambahan areal perumahan atau kawasan industri, Yoga mengatakan, ”Revisi akan berpegang pada regulasi yang ada.” Regulasi tersebut termasuk Perda No 7/2018.
Dalam perda itu, luas areal permukiman mencapai 21.194 hektar, terdiri dari 14.992 hektar di pusat perkotaan dan 6.202 hektar di perdesaan. Jumlah ini meningkat dibandingkan dengan RTRW lama, yakni 18.731 hektar.
Bupati Cirebon Imron Rosyadi mengatakan, revisi peta RTRW tidak seperti revisi RTRW yang memakan proses lama. Pihaknya juga bakal mengirim surat kepada Gubernur Jabar Ridwan Kamil untuk menerbitkan rekomendasi kesesuaian tata ruang. ”Kalau tidak ada jawaban selama 40 hari, artinya Pemprov Jabar menyetujui,” ucapnya.
Kepala BPN Kabupaten Cirebon Lutfi Zakaria mengatakan, perubahan peta RTRW menjadi solusi atas kisruh perumahan bersubsidi di Cirebon. ”Ini sudah sesuai regulasi,” katanya.
Ketua FKPPC Yudho Arlianto mengapresiasi langkah pemkab merevisi peta itu. Pihaknya menampik telah melanggar tata ruang Cirebon. Buktinya, mereka mendapatkan izin dari instansi terkait, termasuk rekomendasi alih fungsi lahan.
Pihaknya mencatat, sekitar 4.000 rumah bersubsidi terancam tidak bisa dibangun karena persoalan tersebut. Sementara Real Estate Indonesia Wilayah III Cirebon memperkirakan sekitar 12.000 rumah bersubsidi yang akan dibangun tahun ini dan 2021 bisa mandek karena SHGB belum terbit.
Mandeknya pembangunan rumah bersubsidi, kata Yudho, berpotensi merugikan pengembang sedikitnya Rp 2,5 miliar untuk setiap hektar lahan. Adapun total lahan pengembang yang terdata sekitar 22 hektar.
Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan Kabupaten Cirebon Kuryadi mengaku heran dengan revisi peta RTRW setelah ada pertentangan antara BPN dan pemkab setempat. Revisi itu, katanya, berpotensi mengikis lahan pertanian yang saat ini tersisa sekitar 45.000 hektar. Adapun LP2B dalam RTRW diatur seluas 40.000 hektar.
”Cirebon menjadi pemasok pangan utama ke Kota Cirebon dan daerah lain di Jabar. Tidak mungkin ada ketahanan pangan kalau tidak ada lahan pertanian,” ujarnya.