BKSDA Sulawesi Tenggara menggagas pusat konservasi anoa. Ini akan menjadi yang pertama di Indonesia sekaligus diproyeksikan sebagai rujukan dunia untuk riset anoa.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·3 menit baca
KENDARI, KOMPAS - Ancaman tinggi terhadap keberlangsungan hidup anoa di wilayah Sulawesi Tenggara terus terjadi setiap waktu. Karena itu, Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sulawesi Tenggara menggagas pusat konservasi anoa. Selain pelestarian, fasilitas itu juga menjadi tempat riset, edukasi, dan informasi terkait hewan endemik Sulawesi ini. Pusat konservasi ini akan menjadi yang pertama di Indonesia sekaligus diproyeksikan sebagai rujukan dunia untuk riset anoa.
Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulawesi Tenggara Sakrianto Djawie, Kamis (30/1/2020), menyampaikan, pihaknya telah mengusulkan ke kementerian untuk membangun Pusat Konservasi Anoa (PKA) di Sulawesi Tenggara. Jika disetujui, PKA akan dibangun pada 2021 mendatang di lahan seluas dua hektar dengan bermacam fasilitas penunjang.
Nanti, siapa saja bisa datang untuk melihat dan mempelajari anoa.
“PKA ini sifatnya mengutamakan riset dan konservasi. Seperti kita tahu, anoa merupakan hewan endemik daerah ini selain di wilayah Sulut, Sulteng, dan sedikit di Sulsel. Anoa bahkan menjadi lambang daerah Sulawesi Tenggara, tetapi belum ada tempat pusat konservasi. Nanti, siapa saja bisa datang untuk melihat dan mempelajari anoa,” kata Sakrianto, di Kendari.
Dia melanjutkan, konservasi anoa menjadi benteng terakhir untuk menjaga kelestarian hewan ini. Sebab, sejumlah ancaman terkait perburuan liar dan rusaknya hutan dari pembalakan terus terjadi. Hal itu terjadi tidak hanya di luar kawasan konservasi, tetapi juga di dalam kawasan yang ada saat ini.
Sejumlah tempat yang menjadi habitat alami anoa berada di Suaka Margasatwa (SM) Tanjung Peropa, SM Amolengo, SM Tanjung Batikolo, SM Lambusango, dan SM Buton Utara. “Untuk di luar kawasan, kami bekerja sama dengan pemerintah daerah setempat lewat Kawasan Ekosistem Esensial. Selain diburu untuk diperjualbelikan, anoa juga dimakan oleh masyarakat,” ujar Sakrianto.
Anoa merupakan hewan dilindungi dengan status rentan punah. Hewan ini terdiri atas dua spesies, yaitu anoa dataran tinggi (Bubalus quarlesi) dan anoa dataran rendah (Bubalus depressicornis). Data BKSDA Sultra menunjukkan, populasi anoa di wilayah pemantauan bertambah meski dengan tingkat pertumbuhan sangat minim.
Sejak 2013, pertambahan anoa di wilayah pemantauan hanya sekitar 14 ekor. Basis data pemantauan anoa pada 2013 sejumlah 179 ekor, sementara pada 2018 sejumlah 193 ekor. Pada 2019, jumlah anoa yang dipantau sebanyak 197 ekor. Akan tetapi, sejumlah kasus perburuan membuat anoa terancam. Kasus terakhir, pada Juli lalu, seekor anoa terjerat tali baja dari perangkap warga. Anoa tersebut terpaksa diamputasi dan sampai sekarang masih dirawat di BKSDA Sultra.
Kepala Konservasi Wilayah II BKSDA Sulawesi Tenggara Laode Kaida menuturkan, lokasi PKA diusulkan di SM Amolengo, Konawe Selatan. Selain menjadi habitat endemik anoa, lokasi ini dipilih karena masyarakat sekitar memiliki kesadaran untuk menjaga kelestarian hewan ini. Selain itu, jaraknya tidak begitu jauh dari pusat kota Kendari, ibu kota Sultra.
Kawasan konservasi di area tersebut memiliki luas 604 hektar. Setelah dirawat atau ditangkarkan, anoa akan dilepasliarkan di kawasan konservasi tersebut maupun di kawasan konservasi lain di wilayah Sulawesi Tenggara.
Secara konsep, tutur Kaida, KPA nantinya tidak akan melepaskan sifat liar dari anoa itu sendiri. Model kandang, tempat masuk, hingga kawasan, dibentuk sedemikian rupa sehingga anoa bebas berkeliaran di dalam area. Anoa yang datang atau yang akan dirawat, tidak akan dibius, kecuali memang memerlukan penanganan khusus.
Kami berharap akan menjadi rujukan riset dan edukasi secara nasional, bahkan rujukan dunia.
Di dalam area KPA, Kaida menjelaskan, akan terbagi dalam empat zona, yaitu perawatan satwa, pengembangbiakkan, demplot pakan, dan bangunan pendukung. Fasilitas pendukung terdiri dari kantor pengelola, klinik satwa, ruang edukasi, hingga pusat informasi.
Menurut Kaida, pengusulan KPA ini merupakan kali kedua yang digagas BKSDA Sultra. Tahun sebelumnya, KPA direncanakan di lokasi wisata alam di Kabupaten Kolaka, tetapi ditolak karena tingginya aktivitas manusia.
“Karena itu, kali ini kami ajukan di kawasan suaka margasatwa yang lebih terlindungi dan minim aktivitas manusia. Jika disetujui, ini akan menjadi yang pertama di Indonesia. Kami berharap akan menjadi rujukan riset dan edukasi secara nasional, bahkan rujukan dunia,” ucap Kaida.