Kontroversi Tanggul Tsunami di Teluk Palu
Pembangunan tanggul laut untuk meredam tsunami di Teluk Palu, Sulawesi Tengah, menuai kontroversi. Meskipun berfungsi mirip tanggul, nama proyek dibuat berbeda, yakni pelindung pantai dan jalan layang.
Sinar matahari beranjak meredup saat Sibarani berjalan di pesisir Pantai Talise, Palu, Sulawesi Tengah. Pria berusia 61 tahun ini berjalan perlahan menghindari puing-puing bangunan bekas tsunami. Di bibir pantai, dia memeriksa satu per satu perangkap kepiting miliknya.
Dengan wajah rata, Sibarani berbalik membawa karung di tangan kanannya. Karung itu berisi dua kepiting seukuran kepalan tangan hasil tangkapannya. ”Ya, lumayan dapat dua. Ini termasuk sedikit. Kalau lagi banyak, bisa belasan,” katanya Minggu (5/1/2020).
Setiap harinya, dari siang hingga sore, dia selalu berada di sekitar Teluk Palu. Dia memasang umpan berupa ikan kecil ke dalam perangkap. Lalu, perangkap itu ditinggal. Setiap jam, dia kembali untuk memeriksa perangkap tersebut.
Dalam sehari, dia rata-rata mendapatkan Rp 90.000. Kepiting tangkapannya biasa dijual ke pasar. Jika tidak laku, kepiting langsung dimasak sendiri untuk makan keluarganya.
Begitulah pekerjaannya sehari-hari. Keisengan memancing kepiting itu sekarang menjadi lahan utamanya mencari uang. Sebab, pekerjaan lamanya, bekerja sebagai kurir pengantar barang antarprovinsi, sudah kurang menghasilkan.
”Saya memang suka mancing sedari dulu. Lumayan sekali nangkep kepiting di sini bisa untuk nutup kebutuhan sehari-hari. Tidak tahu lagi kalau misalnya ini tidak ada,” ucap pria asli Palu itu.
Baca juga: Pemerintah Diingatkan Membangun Palu Berorientasi Mitigasi
Beberapa ratus meter dari tempat Sibarani memancing kepiting terdapat nelayan yang sedang memarkirkan perahunya. Aminudin (45) bersiap pulang setelah selesai mencari ikan seharian di perairan Teluk Palu.
Setelah tsunami pada 2018, warga Kelurahan Lere ini tetap melaut sehari-hari. Dia menggantungkan hidup menjadi nelayan karena hanya itu kemampuan yang dimilikinya. Pria yang sejak kecil sudah diajarkan melaut ini tidak tahu harus bekerja apa lagi selain sebagai nelayan.
”Habis tsunami, omzet tangkapan saja seperti sebelum tsunami. Untung bersih bisa Rp 400.000 sehari. Di sini yang ditangkap ikan layu, bisa Rp 30.000 sekilonya,” kata Aminuddin.
Kedua warga pesisir ini merupakan cermin dari penduduk sekitar Teluk Palu. Mereka sangat bergantung dari laut. Meski ancaman tsunami begitu besar di teluk itu, mereka tidak melepaskan budaya yang sudah diturunkan sejak nenek moyangnya. Namun, budaya bahari ini berpotensi luntur dengan kehadiran infrastruktur di Teluk Palu.
Tanggul
Sebagai bagian dari upaya mitigasi terhadap tsunami, pemerintah memutuskan mengombinasikan pembangunan struktur keras dan vegetasi di Teluk Palu. Meskipun berfungsi menyerupai tanggul, proyek infrastruktur itu dinamakan berbeda oleh pemerintah, yakni pengaman pantai dan jalan layang.
Berdasarkan Rencana Pengembangan Kawasan Teluk Palu yang disusun Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), terdapat dua proyek infrastruktur mitigasi di Teluk Palu, yakni pelindung pantai (coastal protection) yang dibangun sepanjang 7,2 kilometer dengan tinggi 3 meter dan jalan layang (elevated road) yang dibangun sepanjang 4,1 kilometer setinggi 6,5 meter. Kedua proyek ini memiliki fungsi serupa seperti tanggul, yakni untuk meredam gelombang laut atau mereduksi empasan tsunami.
Jalan layang yang dibangun dengan pinjaman Pemerintah Jepang akan memiliki lebar mencapai 25 meter. Di antara jalan layang dan pengaman pantai akan ditanami mangrove yang diharapkan dapat turut menahan gelombang tsunami. Artinya, terdapat dua proyek tanggul yang dikawinkan dengan mangrove untuk menghadang tsunami. Proyek tersebut menelan biaya lebih dari Rp 500 miliar. Di Jepang, konsep ini dinamakan perlindungan berlapis dari tsunami.
Selama ini, pembangunan tanggul laut itu menuai protes baik dari kalangan ahli tsunami maupun masyarakat lokal Palu. Selain boros anggaran karena menelan biaya hingga ratusan miliar, pembangunan tanggul laut dinilai justru berbahaya karena dapat menimbulkan rasa aman yang palsu serta dapat melunturkan budaya bahari.
Pelaksana Tugas Direktur Pemetaan dan Evaluasi Risiko Bencana Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Abdul Muhari menyatakan, keberadaan elevated road atau jalan layang yang berfungsi sebagai tanggul tsunami itu berpotensi melunturkan budaya bahari di Teluk Palu. ”Bentuknya besar sekali. Itu menghalangi akses sekaligus pandangan ke laut,” katanya yang pernah melihat langsung elevated road di Jepang.
Lulusan Master Teknik Tsunami dari Universitas Tohoku ini menilai, jalan layang akan menjadi tembok pembatas antara masyarakat dengan teluk. Nelayan akan sulit mengakses dan memarkir perahunya. Sementara itu, pemandangan warga sekitar bukan lagi laut, melainkan jalan layang.
Baca juga: Mangrove di Teluk Palu Minimalkan Dampak Tsunami
Menurut Abdul, Indonesia berbeda dengan Jepang. Indonesia merupakan negara dengan dua musim. Hampir setiap hari, sepanjang tahun, warga mengunjungi pantai untuk mencari nafkah atau sekadar bermain. Di sisi lain, di Jepang, masyarakatnya hanya pergi ke pantai saat musim panas atau hanya tiga bulan setahun.
”Ini yang dikhawatirkan. Bagaimana sebuah bangunan bisa mengubah budaya sekitar. Karena budaya bahari mereka sangat kental,” ujar mantan ahli tsunami dan bencana pesisir di Kementerian Kelautan dan Perikanan itu.
Wacana pembangunan tanggul tsunami memang menimbulkan pro dan kontra. Proyek yang direncanakan sejak akhir 2018 ini sempat terhenti pada April 2019. Saat itu, proyek dianggap tidak relevan oleh ahli bencana nasional. Pembangunan juga mendapat penolakan dari elemen masyarakat sipil.
Namun, dengan berbagai pertimbangan, proyek itu akhirnya disepakati terus berjalan pada November 2019. Pemerintah melalui Kementerian PUPR mengubah nama proyek dari tanggul tsunami menjadi jalan layang. Pembangunan jalan layang memakan biaya sekitar Rp 250 miliar akan dimulai pada April 2020. Adapun pembangunan pengaman pantai di pesisir Palu mencapai sekitar Rp 200 miliar.
Tidak relevan
Abdul menambahkan, di Jepang jalan layang tidak ada bedanya dengan tanggul tsunami. Fungsi utama dari bangunan itu sama, yakni sebagai bangunan penghadang tsunami. ”Hanya saja fungsinya ditambahkan, ditaruh jalan di atas tanggul itu. Karena dipikir kalau hanya tanggul akan menjadi bangunan mati,” kata Abdul.
Berdasarkan penelusuran Kompas, jalan layang merupakan konsep tanggul tsunami yang sejak awal direncanakan. Proyek itu sudah tercantum dalam Rencana Induk Pemulihan dan Pembangunan Kembali Wilayah Pascabencana Sulteng yang diresmikan pada Desember 2018.
Abdul tidak setuju dengan keberadaan tanggul tsunami atau dengan konsep jalan layang. Berdasarkan kajian Abdul, tinggi tsunami Palu pada 28 September 2018 maksimal 2,5 meter dengan jarak ke daratan mencapai 150 meter. Untuk itu, penanaman vegetasi yang diikuti penataan ruang wilayah pantai merupakan solusi terbaik untuk Teluk Palu. Sebab, tsunami di bawah 5 meter masih mampu direduksi dengan perpaduan vegetasi di pantai.
Kombinasi tanaman vegetasi bisa melindungi pantai hingga 400 tahun. Dari segi biaya juga lebih murah. Di sisi lain, vegetasi justru akan semakin menguatkan budaya pesisir Teluk Palu. Akses dan pemandangan ke teluk tidak terganggu. ”Keselamatan warga juga terjamin karena pembangunan vegetasi harus diikuti dengan penerapan tata ruang berbasis mitigasi. Makanya, warga tidak boleh membuat hunian sampai 200 meter dari garis pantai,” kata Abdul.
Sebagai perbandingan, Jepang, yang dilanda tsunami hebat pada 2011, tidak gegabah memulai pembangunan struktur keras. Mereka melakukan riset dan penelitian terhadap dampak tsunami di masa mendatang.
Mitigasi mereka mengutamakan pembenahan tata ruang dengan merelokasi warganya dari area pantai. Pembangunan struktur keras untuk mitigasi, seperti jalan layang, baru dilakukan setelah relokasi rampung, tujuh tahun setelah tsunami.
Ketua Umum Ikatan Ahli Tsunami Indonesia (IATsI) Gegar S Prasetya mengatakan, tsunami tidak bisa ditahan oleh struktur keras, termasuk tanggul sekalipun. Sebab, tsunami membawa panjang gelombang bukan tinggi gelombang seperti ombak pantai pada umumnya. Dengan demikian, IATsI tidak merekomendasikan tanggul tsunami.
Selain mahal dan tidak efektif menahan tsunami, keberadaan tanggul justru bisa menimbulkan efek psikologis yang salah dalam mitigasi bencana. Potensi korban bisa semakin banyak ketika tsunami terjadi di masa mendatang.
”Mau setinggi apa tanggulnya? Lihat saja kejadian tsunami di Sendai, Jepang. Sudah ada tanggul belasan meter. Justru masyarakat di belakang tanggul banyak yang meninggal terkena tsunami karena percaya pada tanggul dan tidak mau evakuasi,” kata Gegar.
Proyek pembangunan pengaman pantai menelan biaya sekitar Rp 200 miliar, tetapi ketahanannya hanya 30-50 tahun. Padahal, menurut Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Danny Hilman Natawidjaja, peristiwa tsunami di tempat yang sama baru berpotensi terulang setelah 75-100 tahun.
”Karena energinya, kan, sudah dirilis. Butuh waktu sampai 100 tahun. Masalahnya di sini, tanggul semakin lama semakin rapuh. Bisa jadi sekarang kita bikin tanggul, ternyata pas kejadian tsunami sudah rusak tanggulnya,” ujar Dani.
Beda dengan Abdul Muhari, ahli tsunami di IATsI mengkritik pembangunan pengaman pantai yang berfungsi menyerupai tanggul tsunami, tetapi tidak keberatan dengan keberadaan jalan layang karena dapat berfungsi sebagai jalur logistik.
Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Daryono menyatakan, mitigasi tsunami terbaik, selain penataan ruang, adalah pendidikan evakuasi terhadap warga. Warga harus diajarkan evakuasi mandiri setelah terjadinya gempa besar.
”Ajarkan penduduk. Menjadikan gempa kuat sebagai peringatan. Setelah gempa langsung lari. Ini sangat penting karena secara historis dan potensi, Teluk Palu sangat berpotensi tsunami. Jangan mengulangi kesalahan sebelumnya,” kata Daryono.
Gabungan lembaga swadaya masyarakat untuk pengawasan pascagempa Sulteng, Pasigala Centre, juga mengkritik pembangunan tanggul. Menurut Sekretaris Pasigala Centre Andika, biaya pembangunan tanggul dari utang tersebut lebih baik dipakai untuk program rekonstruksi Palu.
Akses nelayan
Wali Kota Palu Hidayat mengatakan, pertimbangan budaya bahari sudah diutamakan pemerintah daerah untuk pembangunan tanggul. Pemda telah meminta kepada Kementerian PUPR untuk memudahkan akses nelayan.
”Seperti tempat menaruh perahu mereka itu harus ada. Kami minta satu tempat khusus. Bahkan, nanti direncanakan di daerah situ juga akan dibuat tempat pelelangan ikannya,” ucap Hidayat.
Bagi pemda, keberadaan tanggul tsunami sudah tepat untuk mengurangi risiko dan dampak tsunami berikutnya. Sebab, mereka tidak bisa merelokasi warga yang berjarak sampai 200 meter dari garis pantai. Selain karena membutuhkan biaya besar, faktor sosial juga dipertimbangkan.
Kepala Dinas Bina Marga dan Penataan Ruang Sulawesi Tengah Syaifullah Djafar menjelaskan, kawasan pesisir Teluk Palu sudah ditetapkan sebagai kawasan tangguh bencana. Karena itu, di kawasan tersebut akan dibangun beberapa infrastruktur yang sifatnya mitigasi bencana.
”Jadi (elevated road) untuk mengembalikan jalur logistik yang selama ini utama dari Donggala-Palu dan wilayah lain. Khusus untuk jalan cumi-cumi itu diberi peninggian, dengan maksud supaya apabila jalan ini jadi, dia juga di samping berfungsi sebagai jalur logistik tapi juga bangunan mitigasi tsunami,” katanya.
Kepala Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Sulteng Kementerian PUPR Arie Setiadi Moerwanto menjelaskan, pihaknya hanya menerjemahkan perintah Presiden. Bahwa Teluk Palu harus diselamatkan dan digerakkan lagi. Terutama, ekonominya harus bergerak lagi.
”Apa salahnya jika elevated road bisa sekaligus mengurangi dampak tsunami. Orang selalu bilang saya mau bangun tanggul tsunami. Enggak. Tsunami tingginya 6 meter, ya, lewat. Saya jelaskan lagi, ya. Kita perlu bikin jalan, kan, kalau jalur logistik itu traveling time-nya lebih rendah. Bisa menghemat Rp 10 miliar per tahun,” ucap Arie.
Baca juga: Pemulihan Sulteng Masih Tersendat
Kementerian PUPR menyadari tsunami tidak bisa diredam sepenuhnya. Namun, mereka melihat keberadaan jalan layang mampu meredam sedikit energi pukul dari gelombang tsunami. ”Karena kita sudah investasi di sini, jangan rugi dong. Sekalian saja untuk meredam kekuatan tsunami,” kata Arie.
Menurut Arie, pembangunan jalan layang dibutuhkan sebagai mitigasi tsunami karena tidak semua area bisa ditanam mangrove. Ada beberapa area di timur Teluk Palu yang lautnya langsung dalam. Karena itu dibutuhkan pemaduan struktur keras dan penanaman mangrove.
”Selain itu juga, kami sudah tanyakan ke daerah, bisa tidak mereka merelokasi sampai 200 meter dari garis pantai. Mereka angkat tangan, katakan tidak sanggup. Jadi ini solusi terbaik,” ungkap Arie.
Direktur Pengairan dan Irigasi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Abdul Malik Sadat Idris mengatakan, konsep jalan layang sesuai dengan hasil kesepakatan diskusi bersama ahli tsunami. Rekomendasi final ahli nasional itu dikeluarkan pada Agustus 2019.
”Karena menurut ahli, tanggul dapat memunculkan false safety (keamanan palsu). Banyak yang berpikir nanti sudah ada tanggul sudah aman, padahal tanggul itu masih bisa dilewati (tsunami). Dari segi awareness, lebih baik gunakan elevated road,” ucap Abdul Malik.