Pembalak Sasar Kayu Premium Kawasan Konservasi Sultra
Kasus pembalakan liar terus terjadi di Sulawesi Tenggara. Bahkan, pembalak juga menyasar kayu kelas satu yang berada di dalam area konservasi dan kawasan suaka margasatwa.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·3 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Kasus pembalakan liar terus terjadi di Sulawesi Tenggara. Bahkan, pembalak juga menyasar kayu kelas satu yang berada di dalam area konservasi dan kawasan suaka margasatwa. Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sulawesi Tenggara menelusuri pemilik modal yang membekingi para pembalak tersebut.
Kasus pembalakan liar kembali diungkap tim Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulawesi Tenggara, akhir pekan lalu. Puluhan batang kayu bayam atau kayu merbau yang bernilai puluhan juta rupiah disita dari sebuah lokasi permukiman warga.
Kami lalu menurunkan tim dan mengecek ke dalam lokasi kawasan konservasi. Sekitar 6 kilometer, ditemukan ada tunggakan pohon.
Kepala Konservasi Wilayah II BKSDA Sulawesi Tenggara Laode Kaida, di Kendari, Selasa (28/1/2020), menyampaikan, tim mendapatkan laporan dari warga terkait adanya aktivitas pengambilan kayu dari kawasan Suaka Margasatwa Tanjung Peropa, Kabupaten Konawe Selatan. Tim lalu melakukan pengecekan awal dan menemukan 89 batang kayu bayam di rumah seorang warga.
”Kami lalu menurunkan tim dan mengecek ke dalam lokasi kawasan konservasi. Sekitar 6 kilometer, ditemukan ada tunggakan pohon. Kami lalu kembali ke rumah warga tersebut, tapi kayunya disembunyikan di semak. Karena kemampuan tim, kayu ditemukan, tetapi hanya 61 batang,” kata Kaida.
Sebanyak 61 batang kayu bayam tersebut, Kaida menambahkan, bernilai sekitar Rp 20 juta. Akan tetapi, dia menambahkan, pembalakan liar bukan sekadar angka, melainkan dampak kerusakan ekosistem yang ditimbulkan di kawasan konservasi.
Kawasan Suaka Marga Satwa Tanjung Peropa memiliki luas sekitar 30.000 hektar. Di kawasan ini, berbagai jenis tanaman bernilai tinggi bagi kekayaan hayati tumbuh subur. Kawasan ini juga menjadi habitat bagi hewan endemik Sulawesi Tenggara, seperti anoa, maleo, dan burung rangkong.
Pembalakan liar, lanjut Kaida, membuat kekayaan hayati berkurang sekaligus mengganggu habitat hewan dilindungi. Oleh karena itu, pembalakan harus ditindak, tidak hanya pelaku penebangan, tetapi juga pemilik modal.
”Kasus ini masih kami telusuri dengan memeriksa dua saksi. Kami akan selidiki hingga bisa membuka pelaku lain, terutama pemilik modal yang menyuruh para pembalak menebang pohon di dalam kawasan. Pelaku diancam hukuman penjara maksimal 10 tahun, sementara pemodal bisa dikenai Pasal 55 KUHP (turut melakukan pidana),” ujar Kaida.
Data BKSDA Sultra, ada sejumlah kasus pembalakan yang ditangani selama 2019. Khusus di Seksi Wilayah II, terdapat dua kasus pembalakan yang ditangani hingga vonis di persidangan. Pembalak mengambil kayu di daerah Suaka Margasatwa Tanjung Batikolo dan Taman Wisata Alam Kepulauan Padamarang. Pada dua kasus ini, pelaku divonis penjara selama satu tahun.
Syamsul, anggota staf bagian keamanan dan perlindungan BKSDA Sultra, menuturkan, selain di dua lokasi tersebut, satu kasus lainnya ditangani di wilayah Kabupaten Buton Utara. Para pelaku telah ditindak sesuai dengan hukum yang berlaku.
”Di luar patroli rutin, ketika mendapat laporan, kami langsung menindak. Setelah itu, tim bagian penegak hukum menindaklanjuti kasus ini hingga selesai,” ucapnya.
Salah satu kendala yang dihadapi dalam upaya penindakan di wilayah ini adalah kurangnya personel. Satu wilayah hanya memiliki tiga personel patroli dengan luas kawasan yang harus diawasi mencapai puluhan ribu hektar.