Banyak kelompok secara terorganisir berkedok wartawan, lembaga swadaya masyarakat, dan aparat keamanan mendatangi desa-desa untuk memeras kepala desa yang kini mengelolah dana desa hingga miliaran rupiah.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·4 menit baca
AMBON, KOMPAS - Banyak kelompok secara terorganisir berkedok wartawan, lembaga swadaya masyarakat, dan aparat keamanan mendatangi desa-desa untuk memeras kepala desa yang kini mengelolah dana desa hingga miliaran rupiah. Mereka menyasar desa-desa terpencil dan terisolir di Maluku. Aparat desa yang minim informasi dan pengetahuan terpaksa membayar uang hingga puluhan juta. Kejahatan terorganisir semacam ini segera dihentikan.
Menurut informasi yang dihimpun Kompas, komplotan pemeras itu berbagi peran. Pemeran wartawan datang ke desa lalu memeriksa proyek infrastruktur yang dibangun menggunakan dana desa. Mereka mencari-cari kesalahan dalam proyek itu. Setelah menemukannya, mereka mendatangi kepala desa dan mengancam akan memberitakan masalah tersebut lewat media.
Selanjutnya, datang rekan mereka yang mengaku sebagai anggota lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang diberi peran oleh negara untuk mengawasi dana desa. Pemeran LSM ini meminta kepala desa membuka laporan pertanggungjawaban serta bukti-bukti transaksi penggunaan dana desa. Seperti halnya auditor, mereka memeriksa laporan tersebut sambil mencari-cari kesalahan. Mereka lalu mengancam akan melaporkan kepala desa kepada penegak hukum.
Mereka biasanya datang malam-malam. Mereka ganti-ganti orang (Dance Latumutuani)
Berselang beberapa saat kemudian, datang rekan mereka yang lain dengan peran sebagai aparat penegak hukum bagian intelijen. Aparat gadungan itu mengancam akan menyeret kepala desa ke penjara. Untuk meyakinkan kepala desa, komplotan itu menunjukan kartu identitas dan surat keterangan penugasan palsu. Dalam kondisi tertekan, kepala desa menuruti kemauan dengan membayar sejumlah uang yang mereka minta.
"Mereka biasanya datang malam-malam. Mereka ganti-ganti orang," kata Kepala Urusan Keuangan Desa Piliana, Kecamatan Tehoru, Kabupaten Maluku Tengah, Dance Latumutuani dihubungi Kompas di Ambon pada Senin (27/1/2020). Suatu malam pada tahun 2019 lalu, Dance pernah menelpon Kompas dan menyampaikan ihwal kedatangan komplotan tersebut.
Piliana merupakan desa terpencil di kaki Gunung Binaiya. Desa itu berjarak sekitar 130 kilometer dari Masohi, ibu kota kabupaten. Sepanjang jarak tempuh itu, sejauh 122 kilometer jalanan aspal mulus dan sisanya jalan rusak berat serta tanjakan tajam dengan risiko kecelakaan tinggi. Aparatur desa itu rata-rata lulusan sekolah dasar. "Mungkin mereka merasa bahwa desa kami terpencil ini bodoh sehingga mudah dibohongi," kata Dance.
Jadi tersangka
Aksi salah satu komplotan itu tertangkap di Pulau Moa, Kabupaten Maluku Barat Daya pada Jumat (24/1/2019). Komplotan dimaksud memeras sejumlah desa di pulau perbatasan Australia itu. Mereka diciduk setelah seorang kepala desa berani melaporkan ke polisi setempat. Dari hasil pemerasan, mereka telah mendapat uang Rp 10 juta dari Kepala Desa Kaiwatu, Rp 1 juta dari Kepala Desa Tounwawan, Rp 10 juta dari Kepala Desa Wakarleli, Rp 8 juta dari Kepala Desa Werwaru, dan Rp 10 juta dari Kepala Desa Moain.
Kepala Bidang Humas Polda Maluku Komisaris Besar M Roem Ohoirat menuturkan, komplotan itu terdiri atas empat orang, yakni Abraham Edwin Sahetapy berperan sebagai wartawan dan Jantie Frans berperan sebagai aparat intelijen pemberantasan korupsi di Maluku. Mereka dibantu oleh Septtan Irwanto dan Onisimus Wala, warga setempat yang membantu menekan para kepala desa. Uang hasil kejahatan itu dibagi bersama.
"Kepada kepala desa, mereka mengatakan telah terjadi penyanggunaan dana desa. Mereka lalu meminta sejumlah uang tutup mulut. Ini bentuk penipuan dan pemerasan," ujar Roem. Menurut Roem, polisi sudah menetapkan status tersangka pada keempat orang tersebut. Mereka dijerat dengan pasal 368 dan 378 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Kepada kepala desa, mereka mengatakan telah terjadi penyanggunaan dana desa. Mereka lalu meminta sejumlah uang tutup mulut. Ini bentuk penipuan dan pemerasan (Roem Ohoirat)
Roem meminta para kepala desa agar berani melaporkan kasus tersebut kepada polisi. Aparat kepolisi yang bertugas di kecamatan hingga desa telah diminta untuk mendampingi kepala desa dalam pengelolaan dana desa. Disadari, banyak desa belum berhasil mengelolah dana desa dan berpotensi terjadi penyalahgunaan. "Aparat kami diminta ikut memberi masukan. Tapi kalau ada temuan bahwa aparat kami juga ikut memeras, laporkan saja," katanya.
Pengawasan
Ketua Lumbung Infomasi Rakyat Maluku Yan Sariwating meminta aparat penegak hukum agar mengawasi penggunaan dana desa. Diduga banyak penyelewengan dana desa yang belum ditindak aparat. Menurut catatan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Ambon, tahun 2019 sebanyak 17 perkara dana desa yang disidangkan di pengadilan tersebut. Jumlah itu meningkat dua kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya.
"Dana desa terus ditambah tapi kemiskinan di desa tetap tinggi," kata Yan. Sejak tahun 2015, dana desa yang mengalir ke Maluku sebanyak Rp 5,3 triliun. Menurut laporan Badan Pusat Statistik, jumlah penduduk miskin di Provinsi Maluku dari 317.690 orang pada Maret 2019 menjadi 319.510 September 2019 orang. Sebagian besar penduduk miskin berada di perdesaan, yakni 271.370 jiwa sedangkan di wilayah perkotaan sebanyak 48.150 jiwa.
Sebagai gambaran di Provinsi Maluku terdapat 1.198 desa, sehingga total dana desa untuk provinsi ini 2015-2020 mencapai Rp 5,3 trliun. Dari seluruh desa antara lain 376 desa tertinggal dan 145 desa yang sangat tertinggal. Korupsi dana desa terjadi di 19 desa.