Gerakan Wanita Katolik Republik Indonesia memiliki semangat untuk menghadirkan kesejahteraan dalam kehidupan masyarakat. Caranya adalah tak pernah berhenti mengupayakan pemberdayaan kaum perempuan.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·3 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Gerakan wanita Katolik memiliki semangat untuk menghadirkan kesejahteraan dalam kehidupan masyarakat. Caranya adalah tak pernah berhenti mengupayakan pemberdayaan kaum perempuan. Semangat itu perlu terus dijaga mengingat perempuan berperan besar menjamin ketahanan keluarga.
Hal itu dibahas dalam diskusi buku berjudul Wanita Katolik Republik Indonesia: Sekali Layar Terkembang, Pantang Surut ke Belakang yang ditulis oleh Trias Kuncahyono dan Paulus Sulasdi, di Universitas Atma Jaya Yogyakarta, di Yogyakarta, Minggu (26/1/2020).
”Ini gerakan yang bukan berbasis politik. Gerakannya lain dan lebih mengedepankan masyarakat. Lebih membangun masyarakat dengan empowering kaum perempuan. Kita semua tahu peranan perempuan itu sangat vital dalam kehidupan masyarakat. Gerakan ini punya sejarah yang luar biasa,” kata Trias.
Wanita Katolik Republik Indonesia (WKRI) adalah salah satu organisasi perempuan katolik yang telah berdiri, di Yogyakarta, sejak tahun 1924. Awalnya, organisasi itu berdiri dengan nama Poesara Wanita Katholiek, namanya berubah menjadi WKRI pada 1928. Pendirinya adalah Raden Ayu (RA) Maria Soelastri Sastraningrat. Ia merupakan salah satu putri dari Pura Pakualaman dan cicit Pangeran Diponegoro dari pihak ibu.
Ini gerakan yang bukan berbasis politik. Gerakannya lain dan lebih mengedepankan masyarakat. Lebih membangun masyarakat dengan empowering kaum perempuan. Kita semua tahu peranan perempuan itu sangat vital dalam kehidupan masyarakat. Gerakan ini punya sejarah yang luar biasa.
Semangat dari organisasi itu adalah melepaskan kaum perempuan dari ketidakadilan, kebodohan, dan belenggu penindasan. RA Soelastri melihat ketidakadilan itu dialami buruh perempuan di Pabrik Cerutu Negresco di Yogyakarta. Keprihatinan ini melecutnya memperjuangkan kaum perempuan agar berdaya dengan membuka akses bagi mereka terhadap pendidikan hingga keterampilan.
Solidaritas terhadap sesama itu didasari ajaran sosial gereja. Ajaran itu merupakan tanggapan gereja atas persoalan yang dihadapi umat manusia dengan melakukan upaya nyata. Sasarannya mencapai keadilan sosial dan kesejahteraan di tengah masyarakat. Hal itu menjadi pedoman yang dipegang teguh RA Soelastri dan penerus organisasinya hingga kini.
Ketua Presidium WKRI DIY 2019-2024 Gloria Djaja Ing Rana menyatakan, pihaknya akan senantiasa mengupayakan tindakan nyata dalam gerakan wanita itu. Keberadaan buku itu semakin melecut semangatnya dalam mendorong terciptanya kesejahteraan sosial melalui pemberdayaan kaum perempuan.
”Ini semakin melecut semangat kami. Kami terinspirasi karena pendahulu kami begitu hebat. Kami akan lebih konkret berkiprah di masyarakat untuk melayani dan menjadi terang serta garam dunia,” ujar Gloria.
Gloria menjelaskan, dalam konteks kekinian, salah satu bentuk pemberdayaan yang dilakukan organisasinya adalah dengan melakukan pendampingan kewirausahaan. Pihaknya tidak sekadar memberi modal berupa uang, tetapi juga membantu mencarikan pasar yang tepat sehingga usaha yang dirintis mampu memberikan penghasilan tambahan bagi ibu rumah tangga yang didampingi itu.
Sementara itu, YB Wiyanjono, Pakar Tim Penghubung Karya Kerasulan Kemasyarakatan (PK3) Kevikepan DIY, menyatakan, RA Soelastri adalah sosok yang patut dijadikan teladan. Ungkapan syukur yang ditunjukkan tidak hanya sekadar berbagi kebahagiaan, tetapi juga bagaimana memperhatikan serta membantu yang serba kekurangan. Hal ini dinilainya istimewa karena sosok itu berasal dari kalangan bangsawan.
”Beliau bersyukur diciptakan hidup dan diberi kasih Tuhan. Beliau menanggapinya dengan mengasihi sesama. Oleh karena itu, beliau memperjuangkan apa yang menjadi penderitaan dari kaum tertindas,” kata Wiyanjono.